Home BERITA Hukuman Kebiri, Saatnya Dokter Katolik dan Pastor Bicara

Hukuman Kebiri, Saatnya Dokter Katolik dan Pastor Bicara

0
Ilustrasi

SEPANJANG dua pekan lalu, jagad media Indonesia lagi hingar-bingar dengan pemberitaan mengenai hukuman kebiri secara kimiawi untuk para ‘penjahat kelamin’. Yang masuk kategori mereka yang pantas dikebiri ini adalah para pemerkosa, kaum pedofilia dengan target korban anak-anak.

Hukuman kebiri mengemuka, setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyetujui gagasan diberlakukannya Perppu (Peraturan Pengganti Undang-undang) Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32/2002 tentang Perlindungan Anak. Dikeluarkannya Perppu No 1/2016 ini berlatarbelakang banyaknya kasus perkosaan dan pelecehan seksual oleh para ‘predator seks’ dengan korban kaum perempuan dan anak-anak, utamanya perempuan.

Semua ini terjadi karena para pria pelaku kekerasan seksual ini tidak kuasa menahan nafsu seksualnya. Saking banyaknya kasus ini terjadi, lalu orang secara latah kemudian beramai-ramai menyebut Indonesia kini sudah memasuki “Masa Darurat Kekerasan Seksual”.

Menanggapi isu yang tengah marak diperbicangkan masyarakat tersebut di atas, Redaksi Sesawi.Net lalu mewancarai tiga narasumber katolik untuk memberikan wawasan mengenai  seluk-beluk praktik pengebirian (kastrasi) secara klinis, dampak psikologiknya kalau dilakukan pengebirian dan daya gunanya, serta bagaimana kasus ini dilihat dalam perspektif teologis dari kacamata hirarki Gereja Katolik Indonesia.

Tiga narasumber

Ketiga narasumber Sesawi.Net di bawah ini kami anggap para ahli dalam bidangnya masing-masing serta mewakili lembaga gerejani yang tengah dia ampu sebagai eksekutif (pelaksana) kantor/lembaga gerejani di KWI. Mereka itu adalah:

  • Dr. Nugroho Setiawan Sp.And, ahli seksologi dan disfungsi ereksi, dokter spesialis andrologi (fertilitas pria) dari RSUP Fatmawati Jakarta. Dokter Nugroho adalah alumnus SMA Kolese de Britto Yogyakarta, FK UNS,  dan kemudian UNAIR Surabaya yang dididik langsung oleh perintis studi spesialisasi andrologi di Indonesia: Prof Dr. dr. Arief Adimoelja M.Sc. Sp.And.
  • Dr. Eunice Pingkan Najoan Sp.PKJ, dokter spesialis ahli penyakit jiwa (psikiatri) dari RSAL dr. Mintoharjo Jakarta.
  • Romo Siswantoko Pr, imam diosesan Keuskupan Purwokerto dan kini Sekretaris Eksekutif Komisi Justice & Peace dan Pastoral Migran Perantau KWI.

Berikut ini petikan wawancara kami pekan lalu di Jakarta.

Dr Nugroho Setiawan Sp. And, dokter ahli seksologi dan spesialis andrologi (fertilitas pria) dari RSUP Fatmawati Jakarta

Dr. Nugroho Setiawan Sp.And — RSUP Fatmawati Jakarta

Tanya:  Metode kebiri kimiawi itu sebenarnya apa dan bagaimana?

Jawab:  Metode umumnya yang terjadi adalah dengan dilakukannya suntik. Praktik medik ini dilakukan dengan harapan bisa menurunkan kadar testosterone yang dianggap pegang peranan dalam memainkan fungsi seksual manusia.

T: Apa yang hilang dari orang yang telah dikebiri secara kimiawi: hormon atau libidonya?

J: Harapannya adalah bisa terjadi agar kadar testosterone bisa menurun dan itu  juga menyebabkan terjadinya turunnya libido. Fungsi ereksi ikut terpengaruhi dan turun.

T: Apakah kebiri kimiawi itu bisa mengurangi libido atau malah membuat orang tidak punya selera seks lagi?

J:  Perlu diketahui  secara umum bahwa yang pegang peran libido itu bukan hanya testosterone tunggal. Ada faktor lainnya yang bisa ikut mempengaruhi ‘kinerja’ libido yakni pengalaman-pengalaman seksual sebelumnya. Kebugaran tubuh serta perkosaan tidak hanya bisa dilakukan dengan penis saja, tetapi bisa juga dengan alat-alat bantu seks (sex toys). Juga bisa dengan tangan atau yang lainnya.

T: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sudah menolak ide hukuman dengan cara pengebirian tersebut karena hal itu bertentangan dengan etika medik. Tetapi, mengapa  IDI sampai bisa berpandangan berbeda dengan pemerintah yang berniat memberlakukan hukuman ini?

J: Sebagai seorang dokter, saya berpandangan bahwa IDI menolak gagasan tersebut karena dokter itu berkarya untuk menyembuhkan orang sakit bukan membuat orang jadi sakit. Para teman sejawat baik para dokter sipil dan dokter kepolisian yang harus menjalankan praktik kebiri sebagai kepanjangan tangan jaksa (prosecutor) berarti melanggar Kodeki Ps. 1 tentang Sumpah Dokter, Psl. 2 tentang Standar Kedokteran yang Baik, Ps. 3 tentang Kemandirian Profesi, Ps. 5 tentang Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik, Ps. 8 tentang Profesionalisme, Ps. 11 tentang Perlindungan atas Kehidupan. Semua pelanggaran atas hal-hal ini masuk kategori perbuatan tercela.

T:  Adakah efek perubahan tingkah laku bila orang dikebiri kimiawi dan apa saja efek negatifnya?

J:  Menurunnya kadar testosterone dan itu terlihat antara lain dengan gejala fisik tubuh  menjadi  loyo, kurang bertenaga. Gairah seksualnya juga turun. Massa tulang menurun. Massa dan kekuatan otot menurun. Orang jadi mudah mengantuk. Risiko penyakit metabolik seperti hipertensi, kencing manis tipe 2.

Juga bisa muncul gangguan lemak berisiko penyakit pembuluh darah seperti stroke,  enyakit jantung koroner, dst.

T:  Adakah jaminan bila sudah dikebiri orang tidak akan punya kecenderungan melakukan kekerasan seksual pada korban?

J: Sama sekali tidak ada jaminan. Juga harus diketahui bahwa praktik pengebirian secara kimiawi itu memerlukan  pemberian obat kimia secara periodik dan itu mahal harganya.

———————-

Dr. Eunice Pingkan Najoan Sp.KJ –RSAL dr. Mintohardjo Jakarta

Dr. Eunice Pingkan Najoan Sp. KJ, dokter spesialis ahli penyakit jiwa dari RSAL dr, Mintohardjo Jakarta.

Menurut dokter spesialis ahli penyakit kejiwaan yang sehari-hari berdinas di RSAL dr. Mintohardjo Jakarta ini, hukuman kebiri tidak bisa menjamin pelaku kejahatan seksual ini tidak akan melakukan tindakan buruk lagi. Mungkin korbannya tidak sama, melainkan menyasar kepada orang lain.

Katrasi kimiawi ini, kata dokter yang pernah berdinas di RSAL dr. Ramelan Surabaya ini,  bersifat temporer (sementara). Efek psikologisnya adalah orang akan marah dan kemarahan itu disalurkan kepada sesama manusia atau benda. Apalagi kemarahan itu dipicu oleh penolakan yang bersangkutan untuk dikastrasi, sekalipun dengan suntikan obat.

Mereka yang ingin ‘bertobat’, mungkin sekali dampak positifnya akan menjadi baik kembali ‘ke jalan yang benar”.

————————

RD Siswantoko — Komisi Justice & Peace, Migrant Care KWI

RD Siswantoko, Sekretaris Eksekutif Komisi Justice & Peace, Pastoral untuk Migran Perantau KWI

Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau KWI mengapresiasi sikap pemerintah yang ingin hadir untuk mengatasi masalah kekerasan seksual terhadap anak yang sudah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa. Tetapi kehadiran negara lewat Perppu No.1 tahun 2016  sebagai perubahan dari UU No.2 Tahun 2002 tentang perlindungan anak harus dikritisi.

Menurut Romo Siswantoko, itu karena ada dua hal-hal  yang kurang tepat, jika ditempatkan dalam konteks negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM.

  • Pertama, Perppu itu  sebenarnya tidak perlu ada. Itu karena sudah ada UU perlindungan Anak dan tinggal memberdayakan UU itu dan aparat penegak hukum agar lebih konsisten menjalankan UU.
  • Kedua, logika yang harus diubah. Kekerasan seksual itu bukan pada organ seksnya, tetapi pada pikiran dan ketidakmampuan orang dalam mengendalikan diri. Jadi, solusinya jangan secara gegap  gempita langsung melakukan kebiri sebagaimana suda sering diwacanakan.  Melainkan, perlu adanya  pendidikan dan pendampingan oleh negara terhadap masyarakat agar lebih dewasa, berbudaya dan beradab dalam mengelola dirinya

Jadi, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau KWI memandang praktik pemberian hukuman dengan cara kebiri dan bahkan memasangkan chip dalam tubuh seseorang itu sangat merendahkan martabat manusia. Manusia diperlakukan seperti barang atau robot  yang ddapat dipantau setiap waktu.

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version