ISU-isu teologi bertebaran di mana-mana. Bahkan juga ramai jadi isu menarik di panggung medsos. Tak terkecuali masalah-masalah teologis Katolik.
Model diskusinya pun macam-macam. Ada yang serius. Ada pula yang asal nylekop alias asbun.
Yang memberi paparan pencerahan pun macam-macam. Ada imam dan kaum religius yang suka membahasnya.
Juga ada tokoh awam yang merasa diri pernah belajar teologi dan juga merasa “tahu”, maka dia juga lalu merasa “berhak” bicara.
Yang pastor, frater, suster, dan bruder pun macam-macam. Ada yang benar-benar punya “lisensi” mengajar teologi dan benar-benar paham ajaran iman Katolik.
Tapi ada juga yang cuma icip-icip teologi.
Karena panggung medsos itu “liar” alias siapa saja boleh nylekop, maka kini muncullah banyak “pengajar-pengajar” iman Katolik dadakan.
Motivasinya pun macam-macam. Ingin eksis, ingin dapat penghasilan tambahan dengan menjadi “YouTuber”. Atau mengisi “kesepian”, karena tugas pastoral sebagai imam terkendali karena badai pandemi covid-19.
Harapan kita semua, kiranya keberadaan Ikatan Alumni IFT/FTW USD Jogja nantinya juga bisa ikut “bermain” di ranah publik ini. Memberi penerangan dan pencerahan atas isu-isu filsafat dan teologi -termasuk ajaran iman kristiani khas Katolik – namun dengan paparan berkualitas.
Tidak hanya karena harus “seirama” dengan magisterium (ajaran resmi Gereja). Tapi juga diharapkan harus sungguh tahu dan paham akan sejarah panjang yang melatarbelakangi munculnya ajaran-ajaran iman kristiani dan berbagai dokumen resmi yang dirilis oleh Gereja c.q. Tahta Suci Vatikan.
Traditiones Custodes
Dalam konteks besar dan strategis inilah, Ikatan Alumni IFT/FTW USD Jogja lalu menggelar diskusi webinar bertema “Motu Proprio ‘Traditionis Custodes’ dan Tata Perayaan Ekaristi 2020”.
Untuk keperluan ini, Ikatan Alumni IFT/FTW USD Jogja lalu mengundang Romo Prof. Dr. Emanuel Pranawa Dhatu Martasudjita Pr menjadi narasumber diskusi.
Tentu karena kapasitasnya sebagai dosen teologi Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kepakarannya di bidang isu-isu teologi sangat mumpuni. Juga tahu banyak sejarah latar belakang historis di balik isu-isu teologi itu.
Peran pentingnya
Keberadaan ikatan alumni itu penting. Antara lain diharapkan bisa berkontribusi memberi pencerahan dan pengayaan terhadap isu-isu penting yang layak diketahui oleh alma mater-nya. Tentang keberadaan ikatan alumni inilah yang sekali waktu juga pernah direkomendasikan oleh Romo Agustinus Purnama MSF selaku asessor saat itu kepada FTW USD.
Ini sangat diamini Romo Martasudjita Pr yang visioner. Yakni, bahwa keberadaan ikatan alumni ini pada akhirnya juga akan mendatangkan banyak “kebaikan” bagi Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma sebagai penerima manfaat terbesarnya.
Dalam konteks webinar 22 Agustus 2021 lalu, desain kerjasama antara alumni dan FTW USD tampil mewujud berupa kontribusi kedua belah pihak dalam upaya bersama bisa memberi pencerahan kepada publik. Atas isu-isu teologis-liturgis yang bulan-bulan ini baru kenceng menjadi sorotan, bahan pembicaraan, dan juga pergunjingan. Di antara para klerus, kaum religius, dan tentu saja umat Katolik secara umum.
Semuanya jadi sangat berkepentingan. Lantaran telah terbit buku baru Tata Perayaan Ekaristi 2020 produksi Komisi Liturgi KWI.
Munculnya buku TPE edisi tahun 2020 -sekalipun baru terbit dan naik cetak tahun 2021- dengan sendirinya akan “memaksa” Gereja Katolik Indonesia -baik klerus, kaum religius, dan umat- harus segera membeli buku baru ini. Karena buku ini merupakan acuan babon bagi liturgi Perayaan Ekaristi.
Buku TPE 2005 lama sudah harus ditinggalkan. Karena Komisi Liturgi KWI telah “ketok palu”: buku TPE 2020 sudah resmi berlaku mulai Juli 2021. Maka tak ada kata lain, semuanya ya harus segera beli dan beli.
Motu proprio Paus Fransiskus
Tapi sebelum urusan harus beli dan beli TPE 2020, Romo Martasudjita ingin membahas terlebih dahulu apa itu “motu proprio” berjudul Traditionis Custodes. Pada hemat penulis, catatan sejarah ini penting disimak untuk tahu “konteks gagasan” yang lebih luas daripada hanya sekedar diskusi tentang perlu-tidaknya buku baru TPE 2020.
Antara Motu Proprio Tradisionis Custodes Paus Fransiskus dan buku Tata Perayaan Ekaristi 2020 produksi “Indonesia” (Baca: Komlit KWI), demikian introduksi Romo Martasudjita Pr, sebenarnya tidak ada “korelasi” hubungannya.
“Kalau pun dipaksa harus bisa dihubung-hubungkan, maka kaitannya terletak hanya pada isu liturgi Perayaan Ekaristi. Jadi hubungannya ya baik-baik saja,” ungkap imam diosesan Keuskupan Agung Semarang asal Paroki Bantul, Yogyakarta ini.
Ada tiga pokok gagasan besar yang telah disinggung oleh imam teolog FTW USD alumnus Innsbruck, Austria, dalam webinar 22 Agustus 2021 lalu, yakni:
- Apa dan bagaimana itu motu proprio “Traditionis Custodes” yang dirilis oleh Paus Fransiskus.
- Buku TPE 2020.
- Tantangan liturgi di Indonesia dan ajakan untuk terus bergiat melakukan praktik liturgi inkulturatif.
Tradisionalisme dan modernisme dalam Gereja Katolik
Dalam agama mana pun –bahkan sejak agama itu muncul di komunitas masyarakat yang telah “melahirkannya”—selalu saja ada dua kubu saling “berhadapan”. Antara mereka yang konservatif-tradisionalis vs. mereka yang berpikiran progresif-modern. Ketegangan itu muncul karena berbeda “cara pandang” dan acuan aturan yang menjadi pegangan beriman dan beribadat.
- Yang konservatif selalu mau mengacu pada aturan dan ajaran lama yang dianggap warisan tradisi yang harus dipertahankan – apa pun “ongkos” dan risikonya.
- Yang berpikiran progresif-modern ingin berderik maju berdasarkan ajaran dan pemikiran terbaru agar bisa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan dunia modern.
“Akar masalah dalam dokumen Traditionis Custodes adalah munculnya tradisionalisme di dalam Gereja Katolik. Kiranya mirip-mirip dengan radikalisme yang selalu ada di dalam setiap masyarakat dan agama,” demikian Romo Martasudjita Pr ini mengawali paparannya.
Ia juga mengiyakan bahwa kelompok-kelompok radikal fundamentalis itu juga eksis di dalam komunitas umat Katolik.
Dan menariknya, kata pastor alumnus Kolese de Britto Yogyakarta tahun 1980 ini, problematika tentang radikalisme, fundamentalisme dan konservatisme bidang liturgi gerejani ini umurnya juga sama setua dengan sejarah Gereja Katolik itu sendiri.
“Sejak zaman Yesus, problem itu sudah muncul. Ketegangan muncul karena paham ingin menjaga dan melestarikan otentisitas perwujudan iman yang harus sesuai dengan tradisi para Rasul. Lalu, orang mulai bertanya manakah yang sesuai dengan tradisi zaman Para Rasul? Maka, yang sesuai itulah yang kiranya akan mereka pegang sebagai acuannya,” paparnya.
Maka dari itu, jelas Romo Martosudjita, tidak mengherankan, kalau akhirnya muncul babak-babak sejarah penting berikut:
- Demi bisa menjaga orisinalitas Katolisitas, maka Santo Antonius dari Antiokhia sampai berujar: “Janganlah ada seorang pun boleh melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Gereja, tapi tanpa Uskup.”
- Santo Hipolitus malah merilis Traditio Apostolica untuk memotret praktik liturgi Gereja Roma. “Dokumen itu ditulis, karena telah muncul badai kegelisahan di kalangan umat. Mengapa di sana sini sampai bisa muncul praktik liturgi berbeda-beda? Padahal semestinya, perwujudan iman dalam liturgi itu tetap harus berkiblat pada (liturgi) Gereja di Roma,” kata Romo Marta tentang latar belakang sejarah di balik munculnya Traditio Apostolica.
Eksperimen liturgi mulai Abad Pertengahan
Menurut Romo E. Martasudjita Pr, di Eropa sejak Abad Pertengahan (kurun masa Abad V-XV) mulai banyak eksperimen liturgi. Efek sosialnya, umat jadi bingung mau mengikuti yang mana.
Merespon itu, Kaisar Karolus Agung lalu memberlakukan ritus liturgi Romawi secara wajib di seluruh Gereja Barat. Ini terjadi sejak Abad VIII.
“Langkah konsolidasi internal dalam hirarki Gereja sepanjang masa Abad XI semakin diperkokoh dengan kebijakan pastoral Paus Gregorius VII. Ini sebenarnya langkah strategis bernuansa politik. Yakni, ambisi Roma untuk bisa kembali menyatukan umat Katolik karena derasnya pengaruh Protestantisme,” jelas Romo Martasudjita Pr.
Konsekuensinya, langkah Paus Gregorius VII ini langsung “mematikan” ritus-ritus lokal yang dulunya sempat bermunculan, sebelum akhirnya “diketok palu” tidak boleh muncul lagi.
“Yang berhak dan kemudian boleh hidup hanyalah ritus liturgi Romawi saja. Semua praktik liturgi itu pun harus mendapat pengakuan dan persetujuan dari Roma. Aturan ini dikumandangkan oleh Roma pada Abad XI oleh Paus Gregorius VII,” kata Romo Marta.
“Bahkan konservatisme pro Roma ini masih tetap bertahan sampai Abad XX dan XXI. Dan poin inilah yang kemudian ingin diperbarui oleh Paus Fransiskus melalui motu proprio Traditionis Custodes,” jelas Romo Marta.
Reformasi, Konsili Trente dan Misa Latin “Tridentina”
Berhadapan dengan gelombang Reformasi yang semula digaungkan oleh imam Augustinian Martin Luther, Roma punya misi mempersatukan diri. Lalu, pasang badan dan membentengi diri dengan menyelenggarakan Konsili Trente (1545-1563) di Trente, kota di wilayah Italia utara.
Karena istilah Latinnya adalah Concilium Tridentium, maka upaya liturgi berupa rumus Perayaan Ekaristi dengan tujuan ingin “mempersatukan” umat Katolik dari gempuran pengaruh Protestantisme itu lalu dinamai “Misa Tridentin(a)”.
Corak ragam Misa Tridentin ini sudah pasti memakai bahasa Latin dan corak liturgi Romawi. Resmi diketok oleh Paus Pius V tahun 1570.
Setelah dipraktikkan selama beberapa abad lamanya, maka corak liturgi Misa Tridentin made by Paus Pius V kemudian diperbarui sana-sini sedikit-sedikit oleh banyak Paus. Dan terakhir “diedit” lagi oleh Paus Johannes XXIII tahun 1962.
“Kalau ada umat Katolik di Indonesia yang suka merayakan Misa Tridentin, maka coraknya pasti akan mengikuti pola umum Misa Tridentin besutan Paus Pius V (1570) yang kemudian diperbarui lagi oleh Paus Johannes XXIII (1962),” jelas Romo Marta. (Berlanjut)