SEBUAH imbauan menyeruak di jalur medsos melalui WA. Intinya mengajak umat katolik di Keuskupan Agung Jakarta agar bersikap teliti dan berhati-hati, ketika minta tolong kepada para imam (pastor) dari luar KAJ untuk berbagai keperluan pelayanan sakramen dan sakramentali.
Imbauan ini keluar, setelah beredar kabar –masih di jalur medsos WA– bahwa ada seorang mantan pastor yang sudah resmi terkena hukuman suspensi (dicabut kuasa imamatnya dan fungsi kepemimpinan gerejani), namun mantan pastor tersebut masih ‘berkeliaran’ di KAJ dan memberikan pelayanan sakramen dan sakramentali.
Pelayanan memberi sakramen dan sakramentali terjadi, tentu saja karena memang ada permintaan dari umat, kelompok non parokial, dan keluarga.
“Biasanya terjadi untuk keperluan pelayanan sakramen di luar lingkup teritorial paroki seperti pelayanan sakramen perminyakan suci, ibadat atau misa pemakaman, dan beberapa kesempatan lain,” tutur seorang imam KAJ yang berkarya di Gedung Karya Pastoral Keuskupan Agung Jakarta menjawab Sesawi.Net.
Ketika dimintai konfirmasinya, Vikjen KAJ Romo Samuel Pangestu Pr membenarkannya. “Aslinya memang bernama AL, namun beredar dengan memakai nama Pastor Agustinus Palar dari Keuskupan Amboina,” tuturnya menjawab Sesawi.Net, Rabu siang tanggal 24 Maret 2016.
Dokumen KAJ tahun 2013
Sebuah dokumen lawas berkenaan dengan kabar tersebut juga muncul di jalur medsos WA. Dokumen terbitan 23 Agustus 2013 keluaran KAJ melalui Sekretaris Uskup yakni Romo Y. Purbo Tamtomo Pr itu telah resmi dikirimkan ke seluruh paroki dan rumah-rumah biara di seantero KAJ.
Intinya, dokumen lawas keluaran Keuskupan Agung Jakarta dan ditandatangani oleh Sekretaris Uskup Keuskupan Jakarta (Romo Y. Purbo Tamtomo Pr) itu mengatakan beberapa hal berikut ini:
- KAJ ingin menindaklanjuti keputusan Uskup Keuskupan Amboina (Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC) terhadap salah satu pastor diosesannya yang bernama AL.
- KAJ lalu mengutip isi maklumat keputusan Uskup Keuskupan Amboina tertanggal 25 Juni 2003 dan sebelumnya tertanggal 15 Mei 2003 serta surat keputusan lainnya tertanggal 15 Mei 2007 yang menyatakan bahwa Pastor AL telah resmi diberhentikan statusnya sebagai imam (pastor) yang sebelumnya telah berinkardinasi di (baca: menjadi anggota) Keuskupan Amboina. Surat KAJ tersebut tidak menyebutkan alasan pemberhentian Pastor AL dari status imamatnya.
- Keuskupan Amboina juga telah resmi mencabut semua kuasa tahbisan Pastor AL untuk pelayanan sakramen dan sakramentali baik secara pribadi maupun di hadapan publik.
- Keuskupan Amboina juga telah mencabut kuasa kepemimpinannya sebagai pejabat Gereja berdasarkan tahbisan imamatnya.
- Berdasarkan fakta-fakta keputusan Keuskupan Amboina tersebut, surat edaran KAJ itu dengan jelas menyebutkan bahwa Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo juga telah resmi melarang mantan Pastor AL melakukan pelayanan sakramen dan sakramentali di wilayah gerejani KAJ.
- Surat edaran KAJ terbitan tahun 2013 itu juga mengimbau agar para pastor paroki secara bijaksana menindaklanjuti keputusan Uskup Agung Jakarta perihal pelarangan tersebut dan mengumumkan imbauan larangan itu kepada umat.
Mengapa kabar mengenai “berita lawas” ini kemudian muncul lagi?
Menjawab pertanyaan Sesawi.Net, seorang imam yang berkarya di KAJ dengan gamblang menjelaskan bahwa mantan Pastor AL ini baru-baru ini sering muncul di berbagai wilayah di KAJ dan memberikan pelayanan sakramen dan sakramentali.
Sebuah foto yang dikirimkan pastor KAJ ini dengan jelas juga menunjukkan bahwa mantan Pastor AL ini masih begitu pede-nya memakai kolar (kerah khusus untuk imam) dengan kalung salib besar tergantung di lehernya, sementara seorang ibu yang juga kenalan baik sang pastor KAJ itu berdiri di samping sang mantan pastor ini.
Pada konteks inilah, lalu muncul imbauan dari beberapa imam KAJ agar umat bersikap teliti dan hati-hati “memilih” pastor. Terutama minta pelayanan sakramen kepada mereka yang termasuk bukan ‘pastor reguler’ berkarya di paroki-paroki KAJ atau tugas perutusan khusus non parokial namun berkarya di lembaga-lembaga lain di KAJ.
Imamat abadi
Lalu muncul pertanyaan dari umat, bagaimana dengan tahbisan imamatnya yang sifatnya abadi? Pertanyaan ini menarik disimak, karena memang benarlah bahwa sekali seorang frater itu menerima tahbisan diakonat dan kemudian tahbisan imamatnya, maka untuk selamanya pihak penerima tahbisan diakonat dan kemudian tahbisan imamat itu “menjadi” imam seumur hidup.
Namun, harus diingat pula bahwa menjadi seorang pastor (imam) tidak bisa berdiri sendiri. Imamatnya “terikat” pada tugas kegembalaan yang diemban oleh Uskup setempat. Dengan demikian, fungsi imamatnya menjadi efektif kalau “terikat” dengan Uskup dimana sang imam tersebut mengikatkan dirinya sebagai anggotanya.
Kalau pastor tersebut bukan imam diosesan (praja) melainkan imam religius, maka inkardinasinya ‘menempel’ pada Ordo atau Kongregasi religius dengan mana imam tersebut berkaul ketaatan, kemiskinan, dan keperawanan dan resmi menjadi anggotanya. Untuk bisa menjalankan fungsi imamatnya di sebuah keuskupan tertentu, para imam religius itu pun harus mendapat ‘lampu hijau’ dan mandat penugasan dari Bapak Uskup dimana dia ditugaskan oleh Ordo atau Kongregasi religiusnya untuk berkarya di wilayah gerejani tertentu.
Persis pada hari-hari inilah, ketika berlangsung Misa Krisma menjelang Kamis Putih, para imam –baik diosesan maupun religius—diundang oleh Uskup untuk hadir pada misa khusus itu guna memperbaharui janji imamatnya di hadapan Pejabat Gereja di tingkal lokal (diosis) yakni Uskup. Pada kesempatan itu, selain dilakukan pemberkatan atas sejumlah minyak untuk pembabtisan dan lainnya, para imam juga diajak untuk memperbaharui komitmen mereka sebagai imam untuk taat kepada pemimpin Gerejani lokal yakni Uskup dalam hal reksa pastoral dan penggembalaan umat.
Nah, kalau sampai terjadi Keuskupan mencabut status imamatnya pastor diosesan atau Ordo/Kongregasi religius memutuskan imamnya tidak lagi menjadi anggotanya, maka dengan demikian fungsi-fungsi imamatnya “dibekukan”. Hak-haknya sebagai imam dan pejabat Gereja dengan demikian juga ‘dimandulkan’, meski pilihan kata ini kurang pas.
Imam yang telah mundur dari imamatnya harus mengurus proses laikalisasi (menjadi awam kembali) ke Vatikan agar statusnya bisa kembali menjadi awam.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
Tiap imam memiliki identitas yg dinamai Litterae Commendatitiae, sering disebut celebret, yg dikeluarkan ordinarisnya masing-masing.
Maka unt memastikan tak salah kalau kelompok umat meminta imamnyg blm dikenalnya unt menunjukkan ID Card tersebut.
Setuju Romo Agus Surianto. Umat harus diajarkan untuk membiasakan diri meminta kartu identitas resmi imam. Kalau ragu-ragu bisa mengecek ke paroki/keuskupan/kongregasi ybs.