Home BERITA In Finem Omnia, Semua Menuju Garis Akhir

In Finem Omnia, Semua Menuju Garis Akhir

0
Ilustrasi - Paus Fransiskus memberkati calon pengantin. (America Magazine)

INI pengakuan Hen.

Belum pernah aku kenal; apa lagi bertemu dengannya. Aku hanya dapat nomor telepon. Lalu, aku kontak, menyapa dan dibalas, “Hallo.”

Begitu jawaban “Halloo.” sampai di telingaku, jantungku berdebar hebat. Nada suaramu luar biasa, keibuan. Ingin rasa hatiku segera menemuinya. Melihat wajahnya.

Kami membuat janji untuk bertemu. Berjumpa bukan di tempat untuk makan, nonton, atau hang out seperti anak muda lainnya. Kami ketemu di gereja untuk misa.

Mulai saat itu, aku rajin ke gereja bersama dia. Well, aku dibaptis dalam Gereja Katolik saat kelas VI SD. Pernah dididik para Yesuit dan imam diosesan Keuskupan Semarang dan, sekarang, bergabung dengan Paguyuban Brayat Minulya.

Tanpa mikir terlalu panjang dan hanya berharap pada perlindungan Bunda Maria, aku langsung tanya, “Maukah kamu jadi isteriku?”

Jawabannya yang positif, menuntun kami memutuskan untuk segera menikah. Aku tak mau seperti temanku yang pacaran selama 9 tahun dan bubar.

Setelah hidup bersama, baru kusadari kalau isteriku adalah pribadi perfeksionis. Semua harus sempurna. Kalau meminta sesuatu dan yang kuberikan tak sesuai keinginannya, ya, gitu deh, mulailah terdengar celotehan yang kurang asyik.

Kuakui, isteriku juga pribadi yang ulet luar biasa. Keuletan yang disertai talenta yang tinggi membuat aku kadang sulit mengimbanginya. Rumah kami, misalnya, dia rancang sendiri hingga detail terkecil.

Melalui banyak tahun, isteriku amat sibuk dan aku ke gereja sendirian. Lupa mengatur kesehatan dan, terutama, Tuhan. Hingga suatu kali stroke menyerangnya. “Tubuh bagian kiri tidak bisa digerakkan dengan mudah. Ikuti saran kami supaya Ibu lekas pulih,” kata dokter.

Momentum ini menjadi titik balik. Ia mulai rajin ke gereja lagi. Bahkan, saking inginnya dekat dengan Tuhan, tiap kegiatan yang diselenggarakan paroki diikutinya.

Awalnya, kami dengar pengumuman tentang Emaus Journey  di gereja. Tanpa pikir panjang, “Pa, aku daftar. Mau ikut,” kata isteriku tanpa tahu apa dan tujuan EJ.

Setelah dua kali pertemuan dia tahu bahwa tahu Emaus Journey bermaksud memperdalam pengenalan akan Tuhan dari Kitab Suci. Untung, kalau ada tugas tentang Kitab Suci, aku bisa bantu. Kemudian, menyusul pengumuman di gereja tentang Week-end Marriage Encounter. Isteri langsung bilang, “Yuk, kita ikut.”

Dalam week-end, aku menemukan dan menyegarkan kembali tujuan dan komitmen perkawinan Katolik yang kami hayati. Kebetulan saat di seminari aku ikut dalam tim inti bola basket. Seluruh tim olahraga menghayati semboyan In Finem Omnia, semua menuju garis akhir.

Menghayati perkawinan Katolik tidak mudah. Walau jatuh bangun, diterjang badai masalah, tiap pribadi suami-isteri tetap memegang janji nikah. Setia pada belahan jiwa, Gereja dan Kristus, tidak berpaling hingga dipisahkan maut.

Seluruh hidup suami-isetri dalam perkawinan Katolik dicurahkan untuk mencapai garis akhir, In Finem Omnia. Mungkin motto ini layak dipertimbangkan tak hanya menjadi motto gerakan ini, tetapi juga tiap pasutri Katolik.

  • Dikisahkan oleh Hen
  • Ditulis ulang oleh eko wahyono

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version