SEPANJANG penulis kenal, almarhum Albertus Trias Dwi Nugroho alias Dinuk (1960-2020) termasuk sosok pribadi periang.
Apa-apa saja bisa “dipelintir” untuk dijadikan bahan guyonan. Lalu, bersama almarhum Frans Borgias Gunadi -mantan imam MSC asal Brosot di Bantul- hal-hal itu kemudian sengaja “diplesetkan”. Untuk maksud dan tujuan macam-macam.
Antara lain untuk mengejek teman angkatan yang mereka anggap “aneh” (freaky) atau pembimbing yang kelewat “norak” dalam berperilaku.
Dan sejurus kemudian, suasana gerr berkepanjangan langsung meletup kuat di sudut-sudut gang Seminari Mertoyudan kurun waktu tahun 1978-1982.
Bahkan untuk hal-hal yang sangat serius pun, kedua almarhum teman seangkatan kami itu mampu “meredam” ketegangan batin dan kemudian menjadikannya sebagai bahan lelucon – sekadar geguyonan bersama teman-teman angkatan.
Dari Selo Boyolali, naik truk bak terbuka
Termasuk ketika sebagai frater OMI, almarhum Trias dikirim ke Kalbar -antara lain di Tumbang Titi, Keuskupan Ketapang- untuk menjalani Tahun Orientasi Pastoral sebagai calon imam Oblat Maria Imakulata.
Tahun 1985-an, sudah pasti moda transportasi dari Jateng melalui Semarang ke Kalbar ditempuh dengan naik kapal barang. Lalu, begitu mendarat di Ketapang atau Pontianak, jalan menuju kawasan pedalaman sudah pasti belum sebaik seperti sekarang ini.
Tentang suka-duka berkelana selalu dikisahkan dengan sukacita. Termasuk ketika sekali waktu usai turun dari pendakian naik Gunung Merapi bersama almarhum Budi Setiawan alias Wawan dari Solo dan satu teman lainnya, mereka bertiga “nekad” numpang mobil truk bak terbuka – bekas mengangkut hewan – tentu saja masih menyisakan aroma bau-bau-an tahi binatang.
Pada masa itu, kisah-kisah avonturir semacam ini menjadi kisah “menyeramkan” sekaligus “menakjubkan” bagi para murid Seminari Mertoyudan. Lantaran, pada umumnya kami semua tidak punya modal “bonek”. Sekaligus juga, kami tidak punya duit untuk berani melakukan eksperimen-eksperimen perjalanan seperti itu.
Benjolan nakal, karena tak mempan oleh kemoterapi
Semangat hidup yang dijiwai oleh sikap positif dan antusiasme menjadi ciri khas pribadi almarhum Albertus Trias Dwi Nugroho alias Dinuk.
Namun, dalam perjumpaan terakhir penulis dengan almarhum bersama isteri Ny. Sri dan Ovy -anak mereka semata wayang- kiranya semangat hidup itu sudah mulai memudar.
Tentu, karena hati Trias “gelisah” karena efek kemoterapi yang dia alami sampai ke-4 kalinya rupanya “mental” alias tidak mempan untuk menjinakkan sel-sel kanker getah bening di bagian lehernya.
“Kali ini, benjolannya cukup nakal,” kata almarhum Dinuk menirukan dokter spesialis yang merawatnya.
Ia katakan lelucon itu kepada Enang Raharjanto, isterinya, penulis, dan kakak kandung penulis, di hari Sabtu siang yang panas tanggal 16 April 2022 lalu.
Optimisme dan antusiasme
Optimisme dan antuasiasme itu juga masih menjadi aura hidupnya saat di awal bulan November 2021 lalu, almarhum mendampingi dan memfasilitasi perjalanan jurnalistik ke Cilacap untuk serangkaian wawancara.
Senyum khas dan warna optimisme itu juga terasakan saat-saat di bulan-bulan pertama – mulai Desember 2021- mulai menjalani rawat inap dan pengobatan untuk menjinakkan sel-sel kanker getah beningnya. Mula-mula di Cilacap dan baru kemudian di Yogyakarta.
Kepada teman-teman alumni Seminari Mertoyudan 1978 yang sempat mengunjunginya, aura semangat itu sangat terasa. Terlihat dari beberapa foto hasil jepretan teman-teman.
Senyum mahal di akhir hidupnya
Kepada penulis, Ovy -anak kandung almarhum Trias dengan Ny. Sri- mendadak hari Senin tanggal 2 Mei lalu kirim info bungah kepada penulis.
Seperti ini bunyinya.
“Om, selamat malam. Aku mau cerita dong. Akhirnya hari Senin malam ini. aku lihat bapakku (bisa) tersenyum kembali, setelah menjalani kemo ke-5 dilanjut dengan radioterapi. Itu yang berhasil membuat leher bapak berangsur mengecil.
Terimakasih banyak atas doa-doa Om untuk bapakku, ibu, dan aku.
Trims sudah saling berbagi kasih dan tawa, ikut menguatkan bapak & keluargaku. Juga sudah luangkan waktu menjenguk kami di Seminari Tinggi “Wisma de Mazenod” OMI di Concat, Yogyakarta.
Bapak kali ini sungguh terlihat sumringah. Aku seneng bangettt.” — dengan tiga “t”.
Kalimat manja di atas itu ditulis Ovy, alumnus SMA Regina Pacis Solo dan kemudian lulus dari sebuah perguruan tinggi di Taiwan.
Ref: https://www.youtube.com/shorts/9XH4GSw10l8
Mendadak ngedrop
Kisah ini sangat riil. Dan itu baru terjadi dan penulis baca hari Senin malam awal pekan di bulan Mei 2022.
Hari ini adalah Rabu tanggal 4 Mei 2022.
Baru dua hari -Senin malam lalu- muncul “kabar bungah” bahwa benjolan-benjolan di leher Trias mulai kingsep (mengecil) dan hilang.
Tapi, hari Rabu siang ini, tiba-tiba saja kawan seangkatan kami -Primar- kirim info mendebarkan: “Trias alami saturasinya rendah.”
Tak kuasa menahan “rasa ingin tahu”, maka saya kontak telepon dengan Primar; ingin tahu di angka berapa tingkat saturasinya itu.
Rupanya, kabar sedih itu berlanjut dengan berita kematian Trias Dinuk. Tidak lebih dari dua jam berselang.
Senyum indah yang tersungging di hari Senin malam lalu itu kini menjadi kenangan indah bagi kami semua -teman-teman seangkatan di Mertoyudan dan di OMI.
REf: https://www.youtube.com/shorts/9XH4GSw10l8
Mungkinkah senyum indah yang disebut Ovy sebagai “hadiah paling menggemaskan” selama lima bulan terakhir ini menjadi yang terakhir bagi Trias?
Kita tidak tahu apa “isi hati” Trias ketika di ujung bibirnya itu tiba-tiba tersungging senyuman manismya hari Senin malam lalu. Sekarang ini, saya masih menebak-nebak dan ingin tahu soal itu – nanti ketika tiba waktunya bisa ketemu Ny. Sri dan Ovy.
Senyum indah di ujung akhir hidup. Senyum yang sama juga masih tersungging di bibir Albertus Trias Dwi Nugroho, ketika jasadnya sudah berada di peti mati. (Berlanjut)