TAHUN 2002 silam adalah masa kelam bagi mayoritas warga Jakarta. Banyak lokasi perumahan dihantam banjir bandang dan tak terkecuali kompleks perumahan Frans di Ciledug.
Tak tahu harus kemana, Frans pun mengontak Sesawi.
Kepada beberapa anggota paguyuban mantan frater dan romo Jesuit ini, Frans bisa kesampaian berkeluh kesah: “Tolonglah saya agar bisa makan dan minum”.
“Rumahku adalah istanaku”
Beberapa teman Sesawi akhirnya menyempatkan diri mendatangi rumah Frans yang masih porak-poranda terkena hantaman banjir Sungai Pesanggrahan.
Becek dimana-mana dan lumpur menggenangi setiap sudut rumahnya. Namun senyum tetap mengembang dan tersungging lebar di sudut bibir Frans.
Kata seorang teman Sesawi kepada Frans waktu itu, “Rumahmu ini terlalu besar untuk kamu seorang diri. Sebaiknya dijual saja dan pindah ke rumah lain yang lebih mungil dan bebas banjir.”
Imbauan Setiabudi ternyata tak mampu membuat Frans berubah pikiran. Bahkan semakin bergeming.
Kepada Setiabudi, almarhum Frans malah bersikukuh tidak akan menjual rumah bercat coklat yang sudah sangat lusuh itu sampai kapan pun.
Ternyata, di balik kehendak kuatnya mau mempertahankan rumah lusuh itu, Frans punya harapan sangat-sangat besar untuk sekali waktu bisa “menemukan kembali” masa-masa bahagia di masa silam saat mana bangunan keluarganya masih utuh.
“Bertahun-tahun telah lewat dan sekarang saya menjadi ingat, kenapa Frans sampai mau bersikukuh tidak ingin menjual rumah ini,” kata Setiabudi mewakili keluarga Sesawi saat memberi sambutan pada layatan Frans, Senin lalu.
“Ternyata almarhum Frans masih punya kehendak sangat kuat untuk sekali waktu menyaksikan anak-anak dan istrinya bisa kembali ke rumah ini,” terang Setiabudi dengan suara terbata-bata.
“Kalau saya akhirnya menjual rumah ini dan harus pindah ke tempat lain, bagaimana bisa sekali waktu istri dan kedua anak saya bisa menemukan saya kembali? Rumah ini menjadi penanda paling otentik atas kedirian saya dan sejarah hidup saya,” kata Setiabudi mengulangi pernyataan almarhum Frans yang dia ucapakan tak kurang 10 tahun lalu.
Di depan peti mati
Tapi syukurlah. Saat Frans sudah telanjur membujur kaku menjadi jasad, harapan lama itu pun seakan mendapat jawaban dari seberang pulau nun jauh di sana.
“Dari bbm tadi, saya mendapat kepastian kalau dari Kalimantan Timur istri dan anaknya yang bungsu sudah terbang ke Cengkareng menuju ke Ciledug,” kata Madya, teman sekaligus tetangga dekat Frans.
“Tapi kami menyarankan mereka sebaiknya langsung ke Yogya saja, karena siang ini jenazah Frans akan segera dibawa pulang untuk dimakamkan di dusun kelahirannya di Somohitan, Turi, Sleman, DIY,” terang Madya.
“Istri dan anaknya setuju kalau langsung terbang ke Yogya. Sementara, anak sulungnya yang sudah kuliah di Yogya akan segera menyusul kemudian,” tandas Madya.
Tak terasa, ternyata air mata sudah bercucuran deras mengaliri pipi para pelayat. Terutama ibu-ibu tetangga dekat dan sejumlah anggota Sesawi yang tahu kisah masa silam Frans yang penuh duka.
Jumpa terakhir
Harapan Frans sekali waktu akan bisa bertemu kembali dengan anak dan istrinya akhirnya terpenuhi sudah.
Dari dalam kotak peti matinya sendiri, Frans yang sudah sudah terbujur kaku menjadi jasad dengan senang hati bisa melihat kembali kedua anaknya dan istinya datang dari jauh mengunjunginya untuk yang terakhir kali.
Saya hanya bisa membayangkan, tentu setelah 15 tahun berpisah, perjumpaan singkat di depan peti mati itu pastilah merupakan momen dramatik yang sangat mengharukan. Namun siapa tahu kalau almarhum Frans malah merasakan degup jantung berbeda.
Pertemuan singkat mengharukan itu justru merupakan sebuah kebahagian sejati yang membuncah bungah. Kalau saja Frans ini masih diberi umur panjang oleh Tuhan, sudah barang tentu perjumpaan di depan peti mati itu akan disambutnya dengan senyum lebar tersungging di bibirnya.
Ya, Frans yang semasa hidupnya banyak menderita memang dikenal teman-teman Sesawi sebagai manusia tangguh yang sanggup menahan derita batin yang teramat panjang itu sendirian.
Saya ikut menyaksikan bagaimana di ujung bibirnya yang tebal itu memang selalu tersungging senyuman manis, setiap kali Frans berjumpa dengan teman-teman Sesawi. Dengan senyuman itu seakan Frans mau mengatakan dirinya sudah pasrah menerima hidup ini apa adanya.
Andaikan saja Frans itu masih hidup.
Bisa jadi yunior saya di Novisiat SJ Girisonta ini akan memaknai perdamaian di depan peti matinya sendiri itu sebagai “rahmat terbesar kedua” setelah rahmat kehidupan fana yang telah dia jalani selama 49 tahun terakhir ini hingga akhirnya ajal sampai menjemputnya pada hari Senin dinihari lalu.
Frans … carissimi amicus meus, reqiescas in pace …. Sobatku yang terkasih Frans, semoga engkau beristirahat dalam damai. (Bersambung)
……mengharukan sekali. Makasih Mas Mathias yang telah menuliskannya dengan sangat bagus….. aku hanya bisa membayangkan gimana sebagai laki-laki dan ayah dari anak-anak yang berpisah lama….. tentu tidak mudah…
Mas AYP, kita ini hanyalah debu yang rapuh.
terima kasih atas sharing ini…Untuk saudara terkasih Frans yang memberikan teladan kesabaran yang luar biasa, semoga berbahagia di surga
cerita pengalaman hidupnya sangat menyentuh sekali. semoga alm Frans ditempatkan si tempat terindah disisi Tuhan.
salam kenal grace!
mas dan tim,
saya perhatikan kalau ada cerita bersambung (misal ttg hantu, mas frans dll) selalu susah menemukan cara utk menuju ke lanjutannya. di web cerita lain, kl ada sambungannya, di ujung bawah cerita selalu ada link menuju ke cerita ssambungannya. tidak perlu kembali ke halaman sebelumnya, dan mencari (mengira-ngira) lagi judul lanjutannya.
mungkin bisa dicarikan caranya mas dan tim?
sukses,
wur
Saya tidak mengenal langsung alm Frans, tapi dr teman, saya mendengar kisahnya Amat mengharukan, bagaimana kasih sayang pada keluarga dan keinginan untuk berkumpul kembali membuat beliau rela menderita. Untuk Anak anaknya, semoga ini menjadi cerminan betapa kasih sayang orangtua tidak mengenal batas waktu.