Home BERITA In Memoriam Hartoni Ashali: Si Tampan dari Girisonta (3)

In Memoriam Hartoni Ashali: Si Tampan dari Girisonta (3)

0
In Memoriam Hartoni "Toni" Ashali. (Dok. keluarga)

PERTEMANAN saya dengan almarhum Hartoni “Toni” Ashali yang sangat intensif justru tidak pernah terjadi di Seminari Mertoyudan. Kami hanya selisih satu tahun saja. Namun karena di seminari waktu itu dikesankan “tidak boleh menyeberang” ke kampus lain, maka kami berdua memang saling kenal, tapi juga tidak pernah bertegur sapa lazimnya teman sama-sama di bawah satu atap asrama yang sama.

Toni masuk Seminari Mertoyudan tahun 1977. Setahun kemudian barulah, saya masuk seminari yang sama.  

Dipertemukan di Novisiat SJ Girisonta Ungaran

Sungguh, barulah di Novisiat Jesuit – Kolese Stanislaus Girisonta, Toni dan saya seperti “dipertemukan” sebagai satu saudara dalam sebuah keluarga besar Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia. Meski kami berdua tahu betul dan sadar benar bahwa kami berdua bersama puluhan novis itu masih menyandang status sebagai calon Jesuit. Belum Jesuit beneran.

Persahabatan saya dengan almarhum Hartoni Ashali itu terjadi melalui beberapa kali peristiwa penting di rumah pendidikan dan pembinaan para frater calon Jesuit ini.

Pertama terjadi di Stasi Tegal Melik, sebuah permukiman penduduk di bawah kaki Gunung Ungaran.

Saya tak menyangka, bidel stasi malah “menjodohkan” saya dan almarhum Toni dalam satu tugas pengutusan yang sama: menjadi “rasul” untuk Stasi Tegal Melik di kaki lereng Gunung Ungaran ini. Setiap Senin petang sampai malam, para frater novis SJ selalu ditugaskan untuk pergi ke sejumlah stasi untuk memberikan program pengajaran agama kepada umat Katolik setempat. Dan kami berdua mendapat jatah tugas merasul di Stasi Tegal Melik.

Tentu saja, perasaan saya jadi campur aduk. Antara minder dan bangga.

Minder karena mitra tugas kerasulan pengajaran agama di Tegal Melik ini adalah sosok “favorit” di Seminari Mertoyudan dan juga di Novisiat Jesuit Girisonta. Dan orang itu adalah Hartoni Ashali.

Hartoni Ashali sewaktu masih muda. (Dok. Keluarga)

Toni dalam banyak hal tentu saja jauh lebih unggul dibanding saya. Ia sungguh pintar, ramah, cekatan, hangat, dan juga sangat dan terlalu tampan untuk ukuran seorang “calon imam”. Menghadapi banyak “keunggulan” yang sangat melekat dalam diri Toni ini, sebagai anak desa saya terbuai diri menjadi sedikit minder.

Sisi lainnya adalah rasa bangga. Saya sekarang telah “dijodohkan” dengan Toni di mana saya nantinya bisa belajar banyak dari “frater tampan orang kota” ini. Dan benar saja, almarhum Toni banyak mengajari saya bagaimana mengajar remaja dan orangtua di Stasi Tegal Melik.

Meski saya jauh lebih lancar berbahasa Jawa dibanding Toni, namun Hartoni justru lebih banyak mengajari saya kiat-kiat “merebut hati” orang-orang di Stasi Tegal Melik ini agar pelajaran agama bisa berlangsung lancar.

Dan benar saja, gara-gara “ketampanan” Hartoni Ashali dan keluwesan almarhum bergaul, maka dengan cepat pula saya bisa beradaptasi dengan umat di Stasi Tegal Melik ini.

Belajar diskresi sederhana

Salah satu hal yang menarik dalam diri Toni di sini adalah dia selalu membiarkan saya “memilih” lokasi di mana nantinya kami berdua mesti mengajar.

Terjadi demikian, karena di Stasi Tegal Melik ini ada tiga tempat dan audiens pendengar yang mesti kami kunjungi:

  • Pengajaran kepada kaum remaja dan anak-anak biasanya terjadi di rumah milik sebuah karyawan perkebunan yang dulu biasa disebut Pak Sinder.
  • Pengajaran kepada ibu-ibu muda dan tetua di sebuah lokasi pedesaan yang sedikit agak jauh dari desa di mana kami biasa bertemu dengan warga umat setempat. Lokasinya sedikit agak jauh dan harus melewati persawahan yang sepi. Kadang saya dirundung rasa takut karena benar-benar gelap dan kami hanya “bermodalkan” senter.
  • Pengajaran kepada sejumlah orangtua di sebuah rumah penduduk tidak jauh dari “gerbang” desa.

Yang menarik dari episode pengalaman mengajar ini adalah gara-gara “ketampanan” Frater Hartoni “Toni” Ashali, maka sambutan hangat warga umat setempat kepada saya juga terjadi. Tentu saja, dengan frater lain yang mungkin tidak setampan almarhum Toni, hal sama juga pasti akan terjadi.

Tapi berkat Hartoni yang memang super tampan, situasinya menjadi berbeda. Toni benar-benar menjadi “incaran” emosi simpati warga umat setempat.

Gadis-gadis remaja yang biasa berkumpul di rumah Pak Sinder itu selalu senang kalau Fr. Toni Ashali yang mengajar. Juga kaum ibu-ibu muda dan tua yang tinggal di seberang dusun di mana saya selalu “ditempatkan” di situ. Selalu saja ada yang bertanya, “Frater Toni di mana, kok tidak ke sini?”

Saya tahu betul ada beberapa ibu muda dan remaja puteri di stasi ini sungguh sering jatuh hati kepada Frater Toni Ashali. Tentu saja, Toni dengan sangat pintar juga ingin saya sajalah yang mengajar kepada mereka agar godaan ini tidak “berlanjut”.

Para frater novis calon Jesuit ketika menerima penjubahan. Ki-ka: Irwan Setiabudi dari Cirebon, almarhum Ermilindo Cofitalana dari Oekusi Timor Leste, Api Sulistyo dari Nglarang Kebonarum Klaten, dan almarhum Hartoni “Toni” Ashali dari Gereja Bunda Hati Kudus Paroki Kemakmuran di Jakarta Barat. (Dok. Irwan Setiabudi)

Dikenal di tempat lain

Ketampanan Frater Hartoni Ashali itu pula yang membuat kami berdua ikut dikenal di Stasi Langensari di mana waktu itu menjadi ranah reksa rohani Frater Eduard Ratu Dopo -kini Kepsek SMA Kanisius Jakarta- dan Fr. Stanislaus Sunardi – kini dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Stasi Langensari di mana mereka berdua bertugas ada “di bawah” lokasi kami. Sementara, Stasi Tegal Melik lokasinya masih sedikit lebih jauh; kira-kira masih jalan 3 km lagi naik ke atas. Sementara stasi di mana Nardi dan Edu bertugas teksturnya sangat landai.

Untuk menuju kedua stasi di Ungaran Selatan ini, kami berempat biasa nyegat bus antarkota atau angkot Izuzu. Dengan berjubah, kami biasanya naik angkutan umum ini dan kemudian turun di sebuah titik di depan gapura masuk ke jalan akses utama menuju Gunung Ungaran.

Sementara banyak frater lain memanfaatkan sepeda onthel untuk menjangkau wilayah berbeda, maka kami berempat mengandalkan kekuatan kaki untuk mencapai lokasi-lokasi di bawah kaki Gunung Ungaran ini.

Fr. Edu Dopo dan Fr. Nardi yang fisiknya jauh lebih sempurna daripada saya malah mendapat tempat yang landai. Sementara Toni dan saya mendapat jatah lokasi lebih jauh dan juga butuh sedikit upaya tambahan: olahraga kaki karena harus melewati jalan menanjak dan berbatu-batu.

Yang menarik, kami berdua -saya dan Toni- selalu “dicegat” umat yang dilayani oleh Fr. Edu Dopo dan Fr. St. Sunardi. Agar kami berdua bisa mampir sedikit mampir di rumah Ibu Maryam yang lokasi rumahnya di tepi jalan dan selalu kami lewati saat berangkat dan pulang.

Karena Toni jauh lebih “tampan”, tentu saja yang selalu dipanggil untuk masuk adalah “Frater Toni”. Kadang kala, kami mampir sebentar untuk minum di rumah keluarga Ibu Maryam ini. Baru kemudian kami pamit pulang. Saat kami mampir ini, baik Fr. Edu dan Fr. Sunardi sudah pergi pulang meninggalkan lokasi pengajaran ini sehingga kami berdua merasa sedikit “bebas” dijamu oleh umat stasi “milik” mereka.

Hal yang sama juga terjadi di sebuah keluarga Pak Margana yang rumahnya ada di sebuah gang kecil di tepi jalan raya Ungaran.

Keluarga Margana ini -kalau tidak salah ingat- punya tiga anak puteri semua. Pak Margana bekerja sebagai karyawan di Pabrik Biskuit Nissin yang lokasinya hanya selemparan batu dari rumah mereka – lokasi di mana Fr. Edu dan Fr. Nardi mengajar. Selalu saja mereka senang apabila Toni dan saya mau mampir ke rumah keluarga ini.

Novisiat Jesuit – Kolese St. Stanislaus Girisonta di Karangjati, Ungaran Selatan. (Mathias Hariyadi)

Namun, Toni selalu membisik sesuatu ke saya untuk belajar “diskresi” sederhana.

“Lokasi pengutusan kita adalah Stasi Tegal Melik dan bukan di Langensari. Maka, ya tidak boleh keterusan menikmati kebaikan orang di tempat lain,” begitulah kira-kira “nasihat” Toni kepada saya -frater yuniornya di Novisiat SJ Girisonta dan sebelumnya di Seminari Mertoyudan.

Ketika Hartoni “Toni” Ashali kemudian mengucapkan kaul pertama sebagai Jesuit tanggal 8 Juli 1983 dan kemudian diutus belajar filsafat di STF Driyarkara Jakarta dan kemudian tinggal di Frateran Unit Kramat VII Jakarta Pusat, maka dinamika batin saya sebagai rasul di Tegal Melik juga langsung berubah.

Kali ini, kolega saya adalah Agung Iriantoko yang waktu itu sudah berganti nama menjadi Hari Cahyadi.

Atas pengalaman bergaul dengan dua frater calon Jesuit dengan dua karakter yang berbeda ini, saya mendapatkan banyak hal berharga untuk belajar banyak tentang kehidupan. (Berlanjut)

Baca juga: In Memoriam Hartoni Ashali: Musik Paul Mauriat dari Studio Seminari Mertoyudan (2)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version