YANG paling menonjol pada sosok almarhum Ignatius Henri Sontani adalah brengos-nya. Juga perawakan badannya yang tinggi, bongsor, dan gempal.
Saya mengenal Henri sebagai sosok pribadi yang hangat dan ramah. Itu terjadi di kisaran tahun 1979, ketika remaja dari Paroki Pasar Minggu di Jakarta Selatan ini masuk Seminari Mertoyudan.
Henri adalah adik kelas. Rupanya ia masuk seminari, lantaran terkesan dengan sosok almarhum Romo Martinus Soenarwidjaja SJ, pastor asal Bayat yang pernah mengampu karya pastoral di Gereja Keluarga Kudus Paroki Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Kakak kandung seorang pilot
Kepada penulis, almarhum Henri sering berkisah tentang keluarga besarnya. Termasuk kakak kandungnya yang waktu itu sudah menjadi pilot senior di Maskapai Garuda Indonesia.
Henri sering “memamerkan” sejumlah oleh-oleh dari Bandara Internasional Haneda di Jepang hasil pemberian kakaknya sang pilot tersebut. Wujudnya macam-macam. Seperti pen bolpoin, kertas surat dengan kop yang artistik khas Jepang.
Oleh-oleh macam itu jelas sangat “menggiurkan” bagi seorang seminaris asal desa seperti saya. Rasanya ingin memiliki barang-barang seperti itu, karena zaman itu penulis sudah sangat aktif menjalin relasi dengan banyak orang di LN melalui jalur penpal. Hanya sekedar ingin mempraktikan latihan menulis bahasa Inggris dengan teman-teman puteri dari benua Eropa dan Amerika.
Maka, pameran kertas surat made in Japan dari Henri Sontani itu seperti pemanis kencang untuk memacu keinginan penulis bisa berkorespondensi dengan beberapa kawan di luar negeri. Kali ini, bukan kertas surat hasil sobekan buku tulis pelajaran yang bergaris-garis.
Juga bukan kertas surat murahan hasil beli di toko pojok persis di ujung gang dekat kampus seminari. Tapi, kali ini dari Henri Sontani, penulis bisa sedikit “berbangga hati” menyuguhkan kertas surat bermutu dari Jepang kepada kawan-kawan di benua sana.
Dari urusan soal oleh-oleh dari Jepang inilah, pertemanan saya dengan almarhum Ignatius Henri Sontani terjalin akrab. Meski saya hanyalah orang desa, sementara Henri orang asal Jakarta dari Pasar Minggu. Juga dari kalangan berada, karena ayahnya dulu pernah bekerja di Kementerian Pertanian sehingga rumah keluarga besar Henri juga ada di sebuah jalan besar -meski bukan jalan utama- di sebuah kompleks perumahan karyawan Kementerian Pertanian.
IFO Seminari
Sekali waktu, saya memang pernah berkunjung ke rumah Henri di kawasan Pasar Minggu tersebut. Disambut hangat oleh ibu kandung Henri. Juga makan enak di situ -sesuatu yang jarang bisa saya makan sebagai orang desa.
Di Seminari Mertoyudan itu pula, almarhum Henri Sontani aktif di grup pemain sepak bola. Bisa jadi Henri ikut kelompok IFO (in finem omnia) – kelompok inti tim anggota “klub” sepak bola Seminari Mertoyudan.
Henri selalu tampil gagah gembira setiap kali bermanuver di lapangan bola. Lengkap dengan sepatu bola yang tampak mengkilat dan mencorot warna corek merah hitam. Jangan-jangan, sepatu bola itu juga hasil kiriman dari kakak kandungnya – seorang pilot yang sering melayani jalur penerbangan internasional; termasuk ke Jepang.
Tinggal kelas
Pertemanan saya dengan Henri agak tersendat karena jarak kelas. Karena Henri pernah tidak naik kelas, maka selisih jarak kelas menjadi lebih “renggang”. Kalau dulu hanya setahun, maka sekarang menjadi dua tahun.
Saya naik kelas tiga dan Henri tetap duduk di kelas satu. Karena jarak lokasi “komunitas” Medan Utama (MU) dengan Medan Madya (MM) 1 menjadi jauh, maka kami jarang berkomunikasi lagi.
Komunikasi intensif baru terjadi ketika Henri masuk STF Driyarkara dan kemudian tinggal menetap di Frateran SJ Kampung Ambon di Jakarta Timur. Sebelumnya, di Novisiat SJ Girisonta kami hampir tidak bisa berkomunikasi intensif. Saya bersama 11 kawan lulus novisiat tahun 1984, Henri dan kawan-kawan alumnus Mertoyudan tahun 1984 malah baru masuk Kolese Stanislaus Girisonta.
Pernah alumni Jesuit di Sine Wente Bandungan
Pertemuan intensif dengan almarhum Henri terjadi, ketika berlangsung pertemuan nasional (pernas) para mantan Jesuit di Wisma Sine Wente Bandungan, Ambarawa, tanggal 26 Juni 2010 lalu. Saat itu, Henri Sontani tidak terlalu berubah banyak. Penampilannya masih sangat cakrak, gagah; juga masih berhias diri dengan kumisnya yang tebal.
Namun penampilan Henri sudah berubah drastik sekali, ketika kemudian kami bertemu lagi di sebuah acara para alumni Jesuit di Ciawi, Jabar. Almarhum Henri sudah mulai banyak berubah. Rambut memutih dan badan tetap bongsor gemuk tapi tidak sehat.
Barulah belakangan, saya sadar bahwa penyakit ginjal dan diabetes sudah mulai menggerogoti “Werkudara” dari Pasar Minggu ini. Beberapa tahun terakhir ini, Henri sering curhat tentang kondisi kesehatannya yang mulai ringkih didera dua penyakit tersebut.
Kondisi almarhum Henri Sontani merosot drastis sejak dua bulan terakhir ini, ketika dia harus mengalami tindakan medis yang tidak kita inginkan terjadi: amputasi jari kaki. Terkena dampak luka basah karena diabetes. Tahun-tahun sebelumnya, Henri selalu harus masuk RS karena perlu menjalani cuci darah.
Henri, kini penderitaanmu sudah berakhir. Jalan saja ke tempat yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Requiescat in pace et vivat ad aeternam.
Baca juga: RIP Henri Sontani, Alumnus Seminari Mertoyudan 79 dan Mantan Frater Jesuit (1)