SAYA teringat pengalaman hidup ketika sekali waktu saya menjadi novis Ordo Karmelit di Novisiat Karmelit di Batu, Jatim – tidak jauh dari Kota Malang.
Selama dua tahun, kami -para Novis Karmelit- senantiasa digembleng mengembangkan sikap dasar hidup yang berpusat pada Allah dalam hadirat-Nya.
Dipraktikkan melalui kontemplasi sekaligus mengembangkan sikap dasar persaudaraan dalam semangat Maria dan Elia – dua tokoh yang merupakan teladan dan inspirasi bagi setiap anggota Ordo Karmel.
Tiga hal penting
Intinya ada tiga hal penting dalam hidup ini menurut inti spiritualitas Karmelit.
- Pertama adalah unsur-unsur utama spiritualitas yang terdiri dari kontemplasi dan persaudaraan.
- Kedua adalah tindakan mengikuti Yesus.
- Ketiga dan yang terakhir adalah keteladanan Maria dan Nabi Elia.
Magister dan magisterium
Masa novisiat kami di bawah bimbingan seorang magister.
Istilah “magister” di dalam Gereja Katolik ini berasal dari kata “magisterium” merujuk pada pihak berwenang Gereja dalam urusan pengajaran ajaran Gereja.
Kalau gampangnya, magister adalah pendidik, guru atau dosen.
Dua tahun pertama hidup sebagai novis di Novisiat Karmelit di Batu tahun 1983-1985 yang lampau itu sugguh terasa sekali betapa perang penting seorang magister di dalam kehidupan spritualitas.
Saat itu, yang berperan menjadi pater magister kami waktu itu adalah adalah Romo Joseph Sahadat Pandoyoputro O.Carm (alm.) yang di kemudian hari malah diangkat Vatikan menjadi Uskup Keuskupan Malang. Guna menggantikan posisi dan tanggungjawab Mgr. FX Hadisumarta O.Carm (alm.) sebagai Uskup Keuskupan Malang, namun sejak tahun 1988 telah diminta oleh Vatikan agar bersedia “digeser” dari Keuskupan Malang dan kemudian menjadi Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong di Papua Barat.
Sosok Karmelit jadi figur ideal
Bagaimana wujud kongkritnya? Romo Pandoyoputro mengatakan, lihat saja para Karmelit yang ada.
Dari sekian banyak karmelit yang beliau jadikan referensi itu, waktu itu saya langsung menemukan sosok ideal.
Baik di dalam kehidupan rohani dan karya pastoral dengan semangat kontemplasi, juga sangat mumpuni di dalam keilmuan terutama studi Kitab suci dan juga sangat tekun pelayanan pastoral.
Sosok imam Karmelit itu adalah Uskup Emeritus Mgr. FX Sudartanta Hadisumarta O.Carm. Beliau bukan saja sekedar sosok religius ideal, tapi menjadi sosok yang suci sekaligus saleh melalui laku hidup dan keteladanannya.
Menurut definisi awam, orang religius adalah orang yang agamis, rajin ibadah. Terkadang dari penampilannya terlihat (sengaja diperlihatkan).
Suci adalah orang yang baik. Bukan hanya dalam menjalankan perintah agama saja di tempat ibadah saja. Tapi ia baik dimana pun berada.
Hal ini terasa kental ada dan sangat terlihat di dalam sosok diri Uskup Emeritus almarhum Mgr. FX Sudartanta Hadisumarta O.Carm.
Imam berkualitas dan baik dalam segala hal
Almarhum Uskup Emeritus Mgr. Hadisumarta O.Carm bagi kami sungguh menjadi teladan nyata. Yakni, bahwa menjadi imam atau awam sama sekali tidak atau belum mencukupi, kalau hanya aktif dan bagus di dalam urusan ibadah saja.
Menjadi imam pada dasarnya harus mampu menjadi sosok pribadi orang yang baik di dalam semua urusan, karena menganggap semua urusan adalah ibadah.
Tanpa dasar spiritualitas yang baik, ibadah yang dilakukan hanya menjadi aktivitas ritual semata. Ritual agama diperlukan, tapi harus dilakukan dengan kesadaran dan cinta kepada Tuhan.
Bedanya religius dan spiritual
Biasanya orang religius adalah orang yang hanya mementingkan simbol-simbol agama dan ritual agama saja.
Beda sekali dengan orang spiritual adalah orang melakukan ibadahnya dan mempraktikkan keagamaannya di mana pun dan kapan pun melalui keteladanannya.
Misalnya. saya pernah dengar almarhum Uskup Emeritus Mgr. Hadisumarta di masa tuanya sebenarnya juga ingin tinggal di Malang. Tapi beliau menahan diri tetap tinggal di Jakarta saja, agar jangan ada terkesan dua uskup di Malang.
Begitu pula ketaatan beliau saat menjadi uskup Keuskupan Manokwari-Sorong, Papua Barat.
Menjadi suci
Kehadiran dan kenangan saya atas sosok pribadi Uskup Emeritus Mgr. FX Hadisumarta O.Carm kini membawa pesan kekinian kepada semua orang.
Setidaknya bagi kami -para mantan Karmelit- kenangan itu membuktikan pentingnya semua orang agar kami bisa menjadi pribadi suci yang baik.
- Menjadi suci memiliki makna lebih dari sekedar tanpa dosa. Orang suci itu mengisi hidupnya dengan cinta kepada Allah dan sesama. Mereka bertahan, ketika cintanya diuji.
- Menjadi suci bisa diperoleh lewat hidup sehari-hari di tengah kesibukan dan pekerjaan yang dipersembahkan kepada Tuhan; di luar rumah ibadah.
- Jalan kesucian yang paling sulit adalah dengan mengerjakan pekerjaan yang ada pada kita dan membuatnya sebagai persembahan yang indah bagi pencipta alam semesta.
- Menjadi suci di mana pun kami berada.
Itulah pesan yang saya terima saat pamit keluar dari Ordo Karmelit.
Janji inilah yg terasa abadi sampai saat ini.
Selamat Jalan Bapak Uskup Mgr. FX Sudartanta Hadisumarta O.Carm.
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam.
Mgr. Hadisumarto OCarm adalah sosok yang bersahaja.
Beliau ditahbiskan sebagai Imam Karmelit 12 Juli 1959 bersama-sama dengan alm. Rm Djanardono Poespowardojo OCarm dan alm. Rm Siswanto Poespowardojo OCarm. Saling meneguhkan sampai akhir. Saat Misa Requiem untuk Rm Djanar OCarm beliau menyampaikan dalam homili bahwa di hari sebelumnya beliau menemui dan kedua teman setahbisan tsb masih sempat berbincang di Biara St Elia Bukit Dieng di Malang. Homilinya saat itu antara lain menyebutkan Injil: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup…”
Selamat jalan Bapa Uskup Hadisumarto OCarm.
Terimakasih Pak Indradi atas informasinya.