TELEPON berdering pagi ini -Sabtu, 12 Februari 2022- ketika saya masih berbaring di tempat tidur. Seorang teman memberitahu bahwa Mgr. Hadisumarta telah menghadap Bapa di surga. ]
Meskipun tidak terlalu kaget mengingat usia dan penyakit yang selama ini diderita beliau, toh hati saya terhenyak.
Banyak sekali kenangan yang tergores di hati bersama almarhum Mgr. Hadi. Dari tangan beliaulah, saya menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan imam.
Masih terngiang di telinga saya akan homili beliau waktu itu yang mengacu pada tulisan Paulus:
“Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Flp 4:8).
Ketika saya kemudian diangkat menjadi Sekretaris Keuskupan Malang, saya benar merasakan monsinyur adalah sosok yang teduh, rendah hati, dan penuh pengertian.
Saya pernah terkaget kaget pada suatu hari Sabtu, beliau meminta teks persiapan homili saya untuk digunakan sebagai bahan homili beliau di hari Minggu di Katedral.
Padahal beliau adalah seorang dosen Kitab Suci dan saya imam ahbisan baru.
Surat kaleng
Beberapa kali, beliau menerima surat, baik dari imam maupun awam, yang isinya memojokkan; bahkan mencaci-maki beliau.
Tetapi tidak terbersit sedikit pun wajah emosional atau pun kecewa yang saya lihat.
Beliau “menelan” semuanya itu sebagai pil pahit yang harus ditanggungnya sebagai seorang uskup.
Nrimo ing pandum
Ini berlaku juga dalam hal makanan. Ia tidak neko-neko. Nrimo ing pandum, menerima sebagai anugerah Tuhan.
Misalnya, ketika menu makanan yang disajikan ya hanya “itu-itu saja”, maka beliau berkomentar :“Kita makan secara rasional saja, yah,” kata beliau sambil tersenyum.
Pada suatu hari saya memasak menu mie instan dengan microwave. Mie instan dan microwave itu sungguh barang baru di paroki. Pada tahun 1990-an, mie instan itu tersebut bolehlah dibilang masih menu makanan “asing” di pastoran.
Monsinyur masuk ke ruang makan dan melihat saya sedang mengeluarkan semangkuk mie instant dari microwave.
“Kuwi apa, Romo?” tanya beliau.
“Indomie, Monsinyur. Kerso (mau)?” jawab saya.
Beliau mengangguk. Langsung mangkok mie instan itu saya sodorkan ke beliau.
Ketika mencicipinya, tampak wajahnya sangat sumringah. Wajah ceria yang tak terlupakan, hanya gara-gara menikmati enaknya semangkuk mie instan.
Protes ibunda saat pindah ke Sorong, Papua
Mgr. Hadisumarta kemudian pindah ke Keuskupan Manokwari-Sorong yang sekarang masuk wilayah Provinsi Papua Barat. Kebetulan saya ikut mengantar beliau sampai Sorong.
Banyak orang tercengang atas kesediaan beliau untuk mau melayani Keuskupan Manokwari-Sorong, Papua Barat. Dan ini tentu saja termasuk “protes” ibunda monsinyur.
Saya masih ingat beliau bercerita soal keberatan sang ibunda.
Saat itu pula, kata monsinyur kepada penulis, ibunda langsung bertanya kepada beliau dengan nada ingin tahu sekali:
“Kamu di Sorong itu nantinya akan berapa tahun lamanya?” tanya sang ibu.
Pertanyaan tersebut diajukan kepada almarhum Mgr. Hadisumarta O.Carm, karena tempat lokasi Keuskupan Manokwari-Sorong di wilayah Papua Barat itu tentu sangat jauh dari jangkauan sang ibu. Manakala ia ingin datang mengunjungi anaknya yang jadi uskup.
Lalu, monsinyur pun menjawab, “Ya ampai pensiun, Bu.”
Sebuah jawaban yang tentu membuat ibunda trenyuh. Monsinyur memahaminya, namun beliau mantap menyediakan diri justru di tempat di mana yang lain serta-merta langsung menolaknya ketika ada “tawaran” berkarya di Papua.
Ketika saya akhirnya meninggalkan imamat, saya berhasil menemui beliau ketika sedang berlibur di rumah ibunya di Magelang.
Ia menerima saya dengan wajah yang sejuk.
Banyak nasihat yang beliau sampaikan. Tidak ada satu pun nasihat yang sifatnya menghakimi, menyalahkan, atau pun memojokkan.
Hadiah terindah untuk saya dan keluarga
Kembali kenangan pribadi atas paparan homili beliau pada hari tahbisan saya yang masih saja selalu terngiang di telinga sampai hari ini.
Setelah itu, lama sekali saya tidak lagi berhubungan dengan beliau.
Saya bertemu dengan beliau lagi, ketika Mgr. Hadi sudah pensiun sebagai uskup Keuskupan Manokwari-Sorong.
Ketika itu, beliau baru saja memberikan Sakramen Krisma di paroki bersama Mgr. Ignatius Suharyo. Sehabis misa, saya bersama isteri dan anak menghampiri beliau dan kemudian mencium tangannya.
Beliau menatap dalam-dalam wajah saya, dan sambil tersenyum beliau berkata “Berkah Dalem.”
Tak lupa beliau memberkati dahi anak saya.
Hubungan dengan beliau terjalin lebih intens, setelah saya mengirim buku saya Pengajaran Iman Katolik yang di dalamnya saya menyebut nama beliau.
Ia menulis dalam email: “Terima kasih. Saya mendapat hadiah”.
Setelah itu, setiap minggu beliau pasti mengirimkan homili mingguannya ke email saya.
Ketika saya mengirim buku kedua Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik, romo Paroki MBK bercerita: “Buku Bapak sering disebut-sebut oleh monsinyur.”
Sayang sekali, saya tidak bisa lagi bertemu dengan beliau. Seandainya bisa bertemu, saya mau mengatakan berikut ini.
“Monsinyur, monsinyurlah yang menjadi hadiah bagi saya dan kehidupan saya. Lewat monsinyur. saya tidak hanya menerima rahmat Allah. Tetapi juga arti kerendahan hati pengampunan, kesetiaan, kerelaan untuk menderita, dan kasih sejati. Juga, mohon maaf, saya telah mengewakan hati monsinyur.”
Bagi saya, Mgr. FX. Hadisumarto memang sosok yang teduh dan menyejukkan.
Sugeng tindak monsinyur. Nyuwun tambahing pangestu.