SALAH satu hobi saya sejak SMP sampai sekarang adalah menulis. Saya suka menulis apa saja.
Kalau satu hari sampai tidak sempat menulis, maka hal itu saya rasakan seperti rasa ada yang kurang dalam hidup keseharian saya. Malah merasa badan ini mulai pegal-pegal.
Ini cerita saya sehubungan dengan kegiatan tulis-menulis.
Berhenti menulis karena tiada komputer
Saya tinggal di salah satu kampung di Manado yang namanya Rumengkor. Sekitar tahun 2003 silam, Pastor Melki sempat bertemu saya di Biara MSC Karombasan dan langsung tanya dengan logat khas Manado.
“Felix, kiapa ngana pe cirita-cirita nyanda dapa lia di Majalah Hati Baru dang?”
Artinya. “Kenapa tulisanmu tidak terlihat di Majalah Hati Baru lagi?”
Saya menjawabnya. “Tak punya komputer untuk menulis… Ini lagi coba kumpul-kumpul uang, tetapi belum cukup harga komputer.”
Dan Pastor Melky sambung: “Besok ngana ke mol Matahari lantai satu, ada toko komputer di situ… Nanti kita hubungi Cici yang punya toko… ngana ambe jo komputer satu ne… nanti kita bayar akang.”
Artinya: “Besok kamu ke Mal Matahari lantai satu. Ada toko komputer di situ… Saya akan hubungi Cici yang punya toko… Kamu ambil satu set komputer… Nanti saya bayar.”
Benar, besoknya saya ke Mal Matahari dan ambil satu set komputer. Ternyata Cici itu juga pembaca setia ceritaku di Majalah Hati Baru, maka cerita menjadi tersambung.
Walaupun kelihatan pengalaman sederhana, tetapi ini menarik bagi saya pribadi. Karena merasa bahwa Pastor Melki pernah telah mendukung saya.
Terutama mendukung apa yang kita bisa lakukan untuk kepentingan banyak orang.
Saya waktu itu untuk pertama kalinya bisa memiliki komputer pribadi. Dan itu merupakan pemberian almarhum.
Selamat jalan pastor, terimakasih atas kebaikan terhadapku. Istirahatlah dalam damai abadi, dan doakan kami selalu.
Amin.
PS: Penulis adalah pastor Tarekat MSC berasal dari Merauke, Papua.
