KAPAN orang-orang kita, generasi muda kita dilatih, dididik untuk memberi dari kekurangan mereka?
Apakah orang kita sendiri bisa menjadi penderma? Sangat bisa.
Di Kampung saya, Wukir, selalu ada pesta sekolah. Itu adalah fundraising, kegiatan pengumpulan dana. Dan banyak anak tertolong melalui pesta sekolah ini, sampai menyelesaikan pendidikan sarjana mereka.
Mengapa itu bisa? Mengapa kegiatan yang sama tidak bisa untuk Gereja?
Yang diperlukan adalah merubah mentalitas dari masyarakat yang “lebih senang membuka tangan” menuju mentalitas “mau memberi”. Termasuk untuk kebutuhan Gereja.
Gereja dan umat bisa mandiri, jika mulai dari sekarang melatih diri dalam tingkatan profesionalitas kerja, transparansi dan manajemen ditata dengan baik dan benar.
Juga peranan dari pemerintah, terkhusus pemerintah daerah, harus nyata dalam kehidupan harian masyarakat.
Kehadiran negara untuk NTT daerah termiskin
Kenapa daerah NTT yang mayoritas Kristiani ini selalu selalu menjadi daerah tertinggal dan termiskin dalam statistik perekomian dan sumber daya?
Pertama, setidaknya menurut pengamatan penulis, karena adanya mentalitas “membuka tangan” yang begitu tinggi.
Kita selalu berharap pada sumbangan luar. Kita senang berjejer untuk menerima hadiah sembako. Prinsipnya: tahan malu.
Padahal di sana eksistensi pribadi setiap orang, harga diri setiap individu itu dipertaruhkan.
Dalam kehidupan menggereja, hal ini menjadi soal, ketika Gereja dituntut untuk mandiri dan pemerintah lebih senang memikirkan dirinya sendiri dan kroni-kroninya.
Akibatnya, umat menjadi belum siap dan pembangunan menjadi sekedar utopia; hanya menjadi bahan “garapan” sasaran aksi kampanye menjelang pemilu.
Kedua, Pemerintah Daerah tidak berani mengambil kebijakan politis untuk mendukung karya Pastoral Gereja.
Karya para misionaris
Gereja di NTT sering berjuang sendirian untuk umatnya. Para Pastor, Bruder dan Suster dalam banyak hal tidak didukung oleh negara, untuk kebanyakan karya pastoral mereka. Apa ada pesangon untuk para Pastor, para Bruder dan Suster?.
Pemerintah harus akui, betapa besar sumbangsih Gereja, melalui kehadiran dan karya para Pastor, Suster, dan Bruder untuk NTT.
Dalam banyak kisah, terpaksa mereka mencari dana sendiri-sendiri untuk mendukung karya pastoral mereka.
Mereka mesti mencari “minyak-tanah” sehingga dapur mereka di pastoran, di biara-biara tetap berasap.
Mereka mengemis kemana-mana bahkan dicap “Simonia” demi pulsa dan bensin mereka terisi sehingga kunjungan mereka ke umat menjadi mungkin.
Saya teringat betapa susahnya Pastor Paroki Wukir untuk mengunjungi umatnya di stasi-stasi. Tugas pemerintah menyediakan sarana transportasi saja tidak terpenuhi. Kalau beliau sakit, harus keluar uang dari sakunya.
Apa negara tidak bisa bantu? Apakah tidak bisa dicetus Perda untuk mendukung secara finansial karya mereka?
Biarkan sejarah membentuk NTT hari esok
Pemerintah di Bumi Flobamora, pada hemat saya, dan ini sangat menyedihkan. Boleh dikata menutup mata terhadap karya para pejuang kemanusiaan, para perintis karya misi di Bumi Flobamora.
Apakah sudah ada jalan, bangunan dan monumen dengan nama Piet Noyen, Arnold Verstraelen, Heinrich Leven, dll, di Ibukota Propinsi atau pun kota-kota kabupaten?
Padahal mereka ah pejuang untuk membuka isolasi NTT.
Mereka berjuang untuk pendidikan, pembangunan dan sebagainya. Juga para Suster, para Bruder dari banyak Kongregasi telah membentuk wajah Propinsi NTT hari ini.
Di Ruteng, mungkin satu-satunya, ada jalan van Bekkum, itu pun bukan di jalan utama.
Di Bumi Flobamora, banyak jalan yang “berpatron” pahlawan Indonesia, yang berjuang di level nasional. Tapi adakah ruang bagi para misionaris yang berjuang di daerah lokal yang membuka daerah-daerah isolasi?
Jangan sampai masyarakat kita, terlebih pemerintah, sampai lupa sejarah. Jangan sampai Gereja Lokal sekarang lupa tentang bagaimana perjuangan pahit manisnya, suka dukanya para imam-bruder misionaris SVD, para suster SSpS dalam karyanya untuk dan demi membangun NTT sejak 1913-1914 dan banyak Kongregasi lainnya.
Mereka semua telah berpeluh demi kemajuan orang NTT.
Sebuah video lawas menggambarkan kenangan orang akan almarhum Pater Stanis Ogabrek SVD dalam tautan di bawah ini:
Semoga dengan kematian Pater Stanis Ograbek SVD, ada satu nama jalan atau monumen di tengah kota Ruteng, untuk mengabadikan namanya, karyanya dan kecintaannya kepada orang Manggarai.
Dan semoga tak lama lagi, nama-nama para misionaris yang menjadi pondasi kemajuan masyarakat Flobamora suatu hari kelak bisa menjadi nama jalan, nama bangungan, nama monumen di bumi yang mereka dedikasikan 100% semasa hidupnya.
Untuk Tuang (Pater) Stanis Ograbek: Selamat jalan Sang Juru Selamat kedua, begitu orang menyapamu. Semoga menjadi pendoa untuk kami. (Selesai)