
KANTOR Menko Polkam di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, selalu menjadi ajang pertemuan antara penulis dengan almarhum Pipit Prahoro.
Bukan lagi dalam relasi guru dan murid. Kini, kami berdua menjadi teman sejawat. Sama-sama berprofesi sebagai wartawan yang bekerja di dunia industri pers.
Penulis bergerak di media cetak Harian Kompas.
Pipit masih “malu-malu” mengaku kepada mantan gurunya bahwa sekarang ia sudah “naik daun” karena bekerja di jaringan televisi internasional.
Sebelumnya, dia malah suka ngider sebagai tukang video untuk pesta-pesta kawinan.
Tahun 1995-an, mungkin saja pada waktu itu almarhum Pipit sudah mengampu diri sebagai cameramen untuk jaringan Fuji TV dari Jepang atau malah sudah bergabung dengan Reuters TV.
Bawa kamero video, taruhannya nyawa
Yang pasti, setiap kali bertemu di Jl. Medan Merdeka Barat itu, kami berdua suka dan sering pamer “senjata” kerja masing-masing.
Penulis membawa kamera DLSR Nikon dengan lensa panjang Nikkor, sementara almarhum Pipit dengan gagahnya menenteng satu unit kamera video ukuran besar yang biasa dia panggul di pundaknya.
Konon katanya waktu itu, harga satu buah kamera video dengan berat hampir 7-8 kg itu senilai dua atau tiga kali harga mobil minivan Kijang.
“Jadi, tanggungjawabku besar Mas. Ibarat kata, kamera videoku ini nyawaku di lapangan,” paparnya waktu itu.
Itu belum cukup. Karena juga harus membawa tripod besar untuk menyangga kamera video kalau melakukan syuting konferensi pers dengan Pak SBY -waktu itu Menteri Polhukam- dan kemudian Pak Agum Gumelar dan lalu Pak SBY lagi sebagai Menteri Polhukam.
Juga cadangan tiga baterei kamera yang ukurannya gede-gede.
Sungguh cocok untuk Pipit yang postur tubuhnya kekar, besar, dan lumayan tinggi untuk menggapai angle pengambilan video saat syuting di lapangan.
Saat-saat itu, kami tidak sempat banyak bicara.
Karena masing-masing harus fokus pada konten konferensi pers. Pipit fokus pada gambar, sementara penulis fokus pada konten omongan pemberi materi konferensi pers.
Mati-matian dapatkan gambar
Barulah setelah 18 tahun kemudian, rona-rona pengalaman membawa beban berat kamera video itu sempat diutarakan almarhum Pipit.
Terjadi saat kami bersama dalam satu tim AsiaNews.It dari Eropa -tempat penulis bekerja sampai saat ini– untuk melakukan perjalanan liputan tentang kondisi gereja-gereja pinggiran di wilayah Keuskupan Agung Pontianak dan Keuskupan Sanggau, Juli 2018.
Untuk keperluan itulah, penulis menjawil mengajak serta Sr. Maria Seba SFIC dan Sr. Laura SFIC -dua suster yunior dari Pontianak- agar mau berlatih meliput peristiwa di lapangan.
Syukurlah bahwa Provinsial Kongregasi Suster SFIC Sr. Irene berkenan mengizinkan dua suster muda itu kami “bawa” blusukan masuk Balai Karangan, Entikong, Kuala Dua, Sanggau, PT Erna kurang lebih selama satu pekan lamanya.
Juga ikut serta dalam tim ini adalah Dimas dari Pontianak yang kami tugasi untuk membuat dokumentasi foto.
Sudah pada waktu perhelatan SEKAMI di Keuskupan Agung Pontianak, menjadi jelas bagi semua pihak bahwa rekaman visual gambar itu penting.
Dan bagi Pipit sebagai seorang cameraman, gambar visual gerak adalah segalanya. Makanya, dia akan berusaha mati-matian untuk mengejar gambar itu.
Apa pun risikonya.
Beban berat
Sekali waktu, ia pernah nyarter ojek motor di Probolinggo -kalau tidak salah ingat- untuk merekam aksi penebangan pohon-pohon di jalanan oleh rakyat yang marah karena Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dilengserkan.
Dengan membonceng tukang ojek, ia panggul kamera berat berikut kaset-kaset VHS Betamax recorder-nya plus baterei cadangan.
Bisa jadi, beban itu bisa melebihi 15 kg.
Dengan amat antusias, ia berkisah soal pengalaman sebagai seorang cameraman TV. Betapa susahnya bagi seorang cameraman waktu itu, harus berjibaku sekadar hanya untuk bisa memperoleh gambar visual ketika sebuah peristiwa insiden terjadi.
Hukumnya jelas, ia harus berada dan melihat sendiri peristiwa itu di depan matanya. Tidak boleh “pinjam mata” (baca: kamera video) orang lain.
Harus dapatkan gambar sendiri secara otentik.
Yang pasti, untuk hal seperti itu, almarhum Pipit selalu bergeming.
Ia akan mencari segala akal dan cara agar bisa “melihat” dengan mata kepala sendiri dan menyaksikan semua peristiwa itu di depan matanya.
Usai bekerja maraton dan upaya maksimal seperti itu, ia masih harus mengedit gambar.
Waktu itu, teknologi visual digital belum terlalu populer. Sehingga hasil rekaman video liputan itu masih tersimpan di kaset-kaset video Betamax yang ukurannya lumayan besar itu.
Beda di lapangan dan saat lainnya
Itulah almarhum Pipit.
Di lapangan liputan, ia sosok wartawan lapangan yang memilih ajur ajer dengan profesinya mengulik gambar visual agar materi beritanya orisinil.
Di luar lapangan pemberitaan, sosok Pipit Prahoro sangat bertolak belakang dengan penampilannya yang terkadang terkesan sangat kasar dan sangar.
Padahal sebenarnya, ia sama sekali tidak seperti itu.
Ia adalah sosok pribadi yang punya hati dan semangat belarasa besar terhadap sesamanya yang tersisihkan dan menderita.
Ia sangat santun dalam bicara, terutama ketika bicara tentang kemanusiaan.
SAGKI V tahun 2015
Almarhum Pipit Prahoro adalah sosok orang yang sungguh peduli dengan orang lain.
Bahkan setiap kali dimintai tolong untuk liputan pro bono pun, ia akan dengan sangat cepat menjawab: “Ya Mas, aku mau ikut serta.”
Ia melakukan kegiatan-kegiatan sosial macam itu dengan sangat serius. Ingin hasilnya sempurna dan tuntas.
Saya mengalami etos kerja Pipit Prahoro macam itu.
Bersama almarhum Pipit Prahoro, kami menjadi tim dokumentasi dan liputan Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI) V di Wisma Renata, Puncak, tahun 2015 silam.
Kami berdua bersama sejumlah teman lainnya terlibat di panggung KWI atas ajakan dan undangan Romo FX Adisusanto SJ selaku Kepala Dokpen KWI waktu itu.
Pipit mendapat job penting sebagai koordinator liputan visual.
Ia menggandeng tim video Unika Atma Jaya dan tim internal Dokpen KWI untuk keperluan syuting sejumlah angle pengambilan gambar visual.
Sementara penulis bertanggungjawab pada konten isi liputan untuk keperluan newsletter harian dan pemberitaan pada umumnya.
Kami berdua bersama anggota tim lainnya merasa puas bisa berkiprah mendokumentasikan SAGKI V tahun 2015 itu dalam bentuk visual gambar dan berita.
Karena sejak itu, Dokpen KWI lalu sering menjawil kami untuk program pemberitaan lainnya seperti di 7th Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta. (Berlanjut)