TULISAN ini untuk mengenang refleksi almarhum Romo Agustinus Suryo Nugroho Pr
Pada tahun 1998, di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta, di siang yang panas, seorang diri ia bersujud dan berdoa sambil menahan salib di pundak.
Salib itu telah dipanggulnya dari Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, menyusuri jalanan Jogja, sebagai aksi protes atas penculikan beberapa aktivis pro demokrasi pada masa itu.
Pada balok kayu salib yang ia panggul, tertulis nama-nama para aktivis gerakan yang hilang dan diduga diculik oleh aparat rezim Orde Baru.
Ini adalah tindakan simbolis yang ia pilih untuk menyampaikan keprihatinan dan keberpihakan terhadap nilai yang pantas dijunjung tinggi, yakni kebebasan dan kemandirian untuk menyampaikan kritik profetis atas praktik bernegara.
Di Taman Makam Pahlawan yang panas siang itu, seorang diri, Suryo Nugroho dikepung oleh lusinan aparat bersenjata lengkap dengan berbagai kendaraan taktis. Sungguh tak masuk akal.
Hanya seorang Suryo Nugroho yang berkeliling memanggul salib, harus dihadapi oleh lusinan aparat bersenjata lengkap dengan beragam kendaraan.
Di Taman Makam Pahlawan itu pulalah, seorang diri, ia harus mengambil keputusan, melakukan discretio, atas pilihan yang ditawarkan oleh aparat, yakni melepaskan seluruh atribut dan dapat melanjutkan perjalanan, atau tetap mempertahankan seluruh atribut, namun harus ditangkap serta ditahan oleh pihak keamanan.
Karena berpuasa bicara, dua orang teman yang mengikutinya sambil bersepeda akhirnya berperan sebagai perantara untuk berbicara dengan aparat.
Tak tahu apa yang menjadi pertimbangannya, melalui bahasa-bahasa isyarat yang singkat dan tenang, Suryonugroho memberikan tanda bahwa ia rela melepaskan seluruh atribut agar dapat melanjutkan perjalanan.
Maka, salib besar yang telah dipanggulnya sejak dari Seminari Tinggi Kentungan itu ditinggalkannya, lalu diangkut oleh aparat. Lalu, tanpa salib, ia melanjutkan perjalanan kembali ke Seminari Tinggi Kentungan.
Perjalanan yang dilakukannya itu menjadi lebih lambat. Ia berjalan lebih pelan dan gontai. Padahal saat salib yang berat itu masih dipanggulnya, ia berjalan lebih gagah dan penuh semangat.
“Ternyata, justru setelah salib itu ditanggalkan, perjalananku terasa menjadi lebih berat…,”kata Suryonugroho setelah sampai di Kentungan dan menyelesaikan puasa bicaranya.
Keterbukaan untuk merumuskan makna baru
Pengalaman rohani dasyat yang dialami oleh almarhum Romo Suryo Nugroho Pr bahwa tanpa salib, perjalanan menjadi lebih berat, saya baca sebagai sebuah pengalaman keterputusan dan kehilangan atas makna perjuangan sekaligus atas kehadiran Yesus yang ia rasakan dalam tindakan memanggul salib.
Dalam penghayatannya, salib adalah tanda yang memberi kerangka pemaknaan tentang keprihatinan, komitmen, pergulatan, perjuangan, kesulitan, risiko, belarasa (compassion), keberpihakan serta keberanian untuk menyatakan pilihan nilai.
Salib dengan demikian menjadi tanda sekaligus sarana baginya untuk menyatukan diri ke dalam seluruh pengalaman Yesus. Dalam tindakan memanggul salib, ia mengalami kehadiran Yesus yang dihayatinya sebagai teladan.
Ketika salib yang berat itu direbut dari dirinya, maka ia mengalami apa yang disebut sebagai tercerabut dari seluruh kerangka pemaknaan pengalaman hidup. Tanpa salib, ia kehilangan landasan dan pegangan.
Maka, perjalanan selanjutnya terasa hampa, kosong, lunglai, dan goyah. Pengalaman kekosongan, ketercerabutan dari akar pemaknaan, adalah pengalaman yang berat bagi siapa pun.
Namun, di sisi lain, keputusan untuk menanggalkan salib dan menyerahkannya kepada aparat, adalah sebuah pilihan yang berani sekaligus menjadi tanda tentang keterbukaan dirinya.
- untuk memasuki hidup yang baru, untuk memasuki kehampaan yang menantang;
- untuk memasuki pengalaman melepaskan seluruh jaminan pemaknaan;
- lalu perlahan-lahan menyusun kerangka pemaknaan baru tentang arti dari sebuah komitmen, belarasa, perjuangan, keberpihakan, dan sebagainya.
Sekaligus, ini merupakan tanda keterbukaan untuk merumuskan makna kehadiran Yesus dalam pengalaman hidup secara baru.
Tanpa simbol identitas, ternyata seorang Suryo Nugroho tetap dapat menyusun makna baru tentang bagaimana mengalami kehadiran Yesus dalam hidupnya. Juga bagaimana menghidupi nilai-nilai yang telah diperjuangakan oleh teladan hidupnya itu.
Dengan melepas seluruh atribut, ia telah berani memasuki hidup dan perjuangan dalam otentisitasnya.
Ia berani memilih menjadi pribadi yang merekah dari kedalaman, dari kesunyian, dari kekosongan dan dari seluruh pengalaman yang oleh orang pada umumnya dianggap sebagai ketakbermaknaan.
Ini adalah sebuah pilihan keterbukaan yang radikal.
Sampai akhirnya ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, kehadiran Romo Agustinus Suryo Nugroho Pr dalam seluruh pengalaman kesehariannya, telah menunjukkan dan membuktikan bahwa ia memang pribadi yang memiliki keterbukaan radikal untuk terus membangun makna baru dan tiada henti untuk berani belajar.
Bahkan, saat Tuhan memanggilnya, Romo Agustinus Suryonugroho, sedang menjalani proses belajar lanjut untuk menyelesaikan studi S3.
Ia memang pribadi yang berani, terbuka dan pembelajar.
Selamat jalan sahabat. Semoga kasih sayang Tuhan yang besar menghangatkan jiwamu.
Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam.