Home BERITA In Memoriam Romo Antonius Gustawan SJ: Jangan Jadi Imam, Malah Setia Sebagai...

In Memoriam Romo Antonius Gustawan SJ: Jangan Jadi Imam, Malah Setia Sebagai Imam Sampai Mati (2)

0
RIP Romo Antonius Gustawan SJ by T. Adisusila

MARILAH kita berdoa untuk mengucap syukur atas karunia hidup yang diberikan Tuhan kepada Romo Antonius Gustawan SJ, yang telah dipanggil Tuhan pada Kamis, 14 Mei 2020, pukul 19.05 WIB di Rumah Sakit St. Eli­sabeth, Semarang. Ia yang lahir pada tanggal 16 Juli 1956, ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 31 Juli 1987, diberi anugerah oleh Tuhan umur 64 tahun.

Semoga dia beristirahat dalam damai.

Tanggungjawab besar

Pada suatu hari, Romo Gustawan, saat menjadi Rektor Seminari Mertoyudan, mengajak saya untuk berjalan-jalan mengelilingi kompleks Seminari. Berangkat dari Do­mus Patrum (rumah para Romo), kami berjalan-jalan menyusuri gang-gang, sambil ngobrol.

“Ini adalah tem­pat pendidikan bagi para calon imam, diwariskan oleh para pen­dahulu kita, dari ge­nerasi ke generasi. Tempat ini sungguh hadiah istimewa dari Tuhan, yang sangat ber­harga, yang harus kita rawat, kita jaga kelestariannya dan kita kem­bangkan. Di tempat inilah benih-benih panggilan imamat itu tumbuh, dan dari tempat ini telah lahir banyak imam, yang bisa menyumbangkan tenaga untuk karya pelayanan Gereja,” katanya.

“Meskipun secara finansial, dalam kondisinya yang sekarang, karya ini cukup berat, tetapi pendidikan calon imam ini harus tetap jalan, dan eksistensinya terus menerus perlu diperjuangkan,” tambahnya Romo Gustawan waktu itu.

“Tempat ini adalah milik Tuhan. Hidup saya akan berarti, jika saya diperbolehkan untuk ambil bagian dalam karya perutusan pendampingan para siswa seminari, membantu mereka untuk bertumbuh menjadi pribadi unggul, dan berani mengembangkan hidup dan menanggapi panggilan imamat-Nya.”

Tekun dan setia sebagai imam

Romo Gustawan, memang seorang pribadi yang setia pada penegasan pribadinya untuk hidup dan menekuni panggilan imamat-Nya. Ia tekun membina diri, dan tidak pernah mengeluh dalam mengurus hidup dan pekerjaannya. Setiap karya perutusan yang dia emban dijalankannya dengan penuh semangat dan kerja keras.

Seorang teman Yesuit sebayanya, Romo Martinus Hadisiswoyo SJ, pernah mengatakan sebagai berikut:

“Romo Gusta­wan itu orangnya sungguh taat kepada pimpinan. Mudah menerima apa saja yang dipe­rintahkan oleh pembesar. Disponible. Dipindah kesana kemari ya manut waé, pancen ndemenakaké. Semua tugas pengutusan, formation, dijalaninya dengan ringan tangan, dan hati gembira.”

Romo Gustawan SJ memang sejak umur muda sudah menyadari perihal panggilan hidup dan pekerjaan di masa yang akan datang sebagai bagian dari ikut ambil bagian dalam karya perutusan Yesus sendiri, yakni: njembaraken Kraton Dalem.

Disuruh mundur

Waktu pendidikan Seminari Menengah hampir selesai, setiap siswa harus menim­bang dalam retret, untuk menentukan pilihan mau terus atau tidak. Ketika colloquium (per­cakapan rohani) dengan pembimbing, disarankan agar dirinya sebaiknya mengun­dur­kan diri dan tidak usah melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Menanggapi saran yang menantang itu, si kecil Romo Gustawan yang gondrong dan kriting itu, men­jawab dengan tegas sebagai berikut:

Lha wong saya ini sejak dulu mau menjadi imam kok tidak boleh. Saya tetap ingin menjadi Romo dan saya akan berjuang untuk bisa ikut njembaraken Kraton Dalem. Dan saya memastikan untuk mendaftarkan dan memilih masuk ke Serikat Yesus,” begitu reaksi tegas si muda belia Romo Gustawan.

Merawat panggilan

Ketegasan menentukan pilihan panggilan hidup itu sungguh ditepati dan dijalani dengan tekun dan setia. Maka, dalam sebuah reuni dengan teman-teman seangkatan pen­­didikan di Seminari Mertoyudan (Merto73), dan di hadapan beberapa teman Yesuit seangkatan, Romo Gustawan dalam misa di rumah Eddy Sumarjo, Paulan, Sura­karta, memberikan renungan dalam homilinya:

“Kita semua sudah tahu bahwa kita dipanggil oleh Tuhan untuk mengasihi Tuhan dan untuk mengasihi sesama satu sama lain. Tetapi pertanyaannya adalah apakah kita setia untuk saling mengasihi? Apakah kita setia me­nindak-lanjuti ajakan perintah itu?”

Kesetiaan bagi Romo Gustawan adalah kesetiaan mengikuti ajakan-Nya, menghi­dupi dan menjalani panggilan-Nya. Maka, ketika sadar bahwa sakitnya makin meng­gerogoti badannya, menjadi kurus dan lemah, berbaring di tempat tidur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, ia mengatakan:

“Keadaannya sudah lemah seperti ini. Para tenaga medis sudah kesulitan. Dalam doa, saya sudah berpasrah pada Tuhan. Hanya Dia yang bisa membantu saya. Saya bersyukur bahwa saya bisa melalui semuanya dengan gembira.”

Karena mendapat tugas baru, Romo Gustawan pindah tempat tinggal di Kolese Loyola, dan karena sakitnya, beberapa kali dia masuk untuk perawatan di RS St. Elisabeth Se­marang.

Kata-kata Romo Gustawan yang terakhir saya dengar mengingatkan saya akan Sabda Tuhan Yesus yang penuh penghiburan: “Pikullah kuk yang Ku-pasang. Be­lajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati. Kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (bdk. Mat 11: 29).

St. Augustinus pun juga pernah me­nga­takan: “Ubi amatur, non laboratur; aut si laboratur, labor amatur”. Di mana ada cinta, di situ tidak ada beban. Tapi, jika memang beban itu ada, beban itu pun dicintai.

Selamat jalan, sahabatku. Selamat menikmati kegembiraan bersama Tuhan yang mulia.

Yogyakarta, 15 Mei 2020

T. Adi Susila

http://www.sesawi.net/in-memoriam-romo-a-gustawan-sj-mantan-rektor-seminari-mertoyudan-dan-kolese-de-britto/

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version