Home BERITA In Memoriam Romo FX Wirjapranata SJ, Tukang Pos dari Pastoran Klepu, Godean

In Memoriam Romo FX Wirjapranata SJ, Tukang Pos dari Pastoran Klepu, Godean

0
RIP Romo FX Wirjapranata SJ (Foto hasil jepretan Juni 2010 di Wisma Emmaus Girisonta by Mathias Hariyadi)

SAYA pertama kali mengenal almarhum Romo FX Wirjapranata SJ, ketika saya diterima sebagai “Bocah Pastoran” di Gereja Paroki Klepu, Godean, DIY.

Waktu itu, saya masih di kelas I SMP Sanjaya. Itu terjadi tahun 1976. Tak lama berselang, Romo Wir lalu memindahkan saya sekolah ke SMP Kanisius Klepu,  karena pertimbangan  jarak. Pagi sekolah, sore hari saya membantu Rama Wir.

Sebagai ‘bocah pastoran’,  saya diberi tugas serabutan termasuk menerima tamu.

Tulisan ini merupakan kesaksian saya selama dua tahun menjadi “bocah pastoran” di Gereja Paroki Klepu, Godean, DIY.

Romo Tukang Pos

Waktu itu, satu-satunya cara umat Katolik Paroki Klepu bisa berkomunikasi dengan saudara-saudarainya di tanah rantau adalah dengan surat-menyurat. Setiap usai dhahar siang (makan siang), Romo Wir dengan sepeda motor Honda CB 125 CC meluncur ke Kantor Pos Godean yang berjarak sekitar 3 km dari pastoran.

Sampai di pastoran, Romo Wir sudah langsung ditunggui siswa-siswi SPG St. Albertus Godean.

Ritme belajar di  SPG St. Albertus waktu itu berjalan sebagai berikut. Para murid belajar dari siang sampai petang  hari. Sekolah ini menggunakan gedung SD Kanisius Klepu.

Satu demi satu, nama penerima surat dibacakan oleh Romo Wir. Dan tak sampai 10 menit, semua surat hasil pengambilan dari Kantor Pos itu sudah habis terbagi.

Kemudian Romo Wir bergegas masuk kamar dan kemudian menandatangani dan mengecap wesel, kiriman uang. Sementara itu, beberapa anak dengan sabarnya tetap menunggu di luar. Wesel diberikan kepada para penerima.

Pagi harinya anak-anak itu pergi ke Kantor Pos Godean sendiri ambil uangnya. Cepat sekali. Bandingkan kalau wesel dikirim melalui alamat dusun, penerima harus pergi ke kantor kelurahan dan kecamatan minta tandatangan dan cap Pak Lurah dan Pak Camat. Bisa dibayangkan berapa lama harus antri dan mungkin juga harus memberikan sejumlah uang.

Sopir Katekis

Saat itu, di Klepu hanya ada sekitar sembilan orang katekis relawan. Mungkin mengikuti prinsip “tidak ada nabi yang dihormati di tempat asalnya,” maka Romo  Wir minta para katekis itu mengajar di kring/lingkungan yang jauh dari rumahnya. Caranya, setiap Selasa dan Kamis, para katekis itu berkumpul di pastoran pukul 18.30 malam. Kemudian mereka diantar ke tempat tugas masing-masing.

Saat para katekis mengajar, Romo Wir lalu melakukan kunjungan umat. Mobil kodok Citroen akan kembali menderu sekitar pukul 21.30, ketika Romo Wir memarkir mobil kodok di garasi dan langsung menyalakan  genset diesel. Mak byaar pastoran menjadi terang. Para katekis segera nylengkrak sepeda onthelnya dan kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Guru les Inggris

Di Klepu, Godean, DIY, bahasa Inggris saat itu ibarat  “bahasa dari dunia lain”. Sama sekali asing. Guru bahasa Inggris pun tak lancar berbicara bahasa Inggris.

Romo Wir meneruskan program les bahasa Inggris gratis yang pernah diampu oleh imam paroki sebelumnya yakni Romo H. Taks SJ, imam Jesuit  Belanda. Les bahasa Inggris ini diperuntukkan para siswa SMP kelas I dan II.

Dari interaksi intensif kaum remaja dengan kedua pastor inilah kemudian lahirlah kader-kader Mudika Katolik militan dari Klepu. Kebanyakan dari mereka tersebar sebagai guru SD di berbagai pelosok Indonesia. Dari situ pulalah,  Paroki Klepu selalu mengirim calon seminaris ke Seminari Menengah Mertoyudan.

Buahnya nyata. Hampir setiap tahun, Paroki Klepu merayakan misa perdana imam baru asal Paroki Klepu.

Klepu pun dikenal sebagai salah satu paroki penyumbang imam dan rohaniwan-rohaniwati terbanyak di Keuskupan Agung Semarang.

Romo pengemis

Seperti pastor paroki di lain tempat, Romo Wir menggantungkan hidupnya dari kemurahan hari pemberian umat.

Romo Wir selalu wanti-wanti kepada kami. Koster, pegawai rumah tangga, termasuk alm. Br. Tirto SJ untuk tidak memuji dan apalagi mencela makanan dari umat.

Makanan dari umat itu beragam sekali rasanya. Ada yang lezat sekali, ada yang manis banget, ada yang asin banget, ada yang gosong.

Saya tidak pernah menyaksikan sekali pun, Romo Wir pernah mengeluhkan soal mutu makanan. Porsinya pun sama.

Beberapa kali kejadian bahawa  tidak ada umat yang mengirim makanan ke pastoran. Romo Wir juga tidak mengeluh sedikit pun.

Romo  Wir lalu memasak mie plus telur untuk kami semua. Kami diajari terus untuk memasak mie dan telur tetapi tidak pernah disuruh memasak sendiri. Sambil memasak mie dan telur itu, Romo Wir selalu mengingatkan kami untuk tidak mencela atau pun nggrundel soal makanan.

Lé” – begitulah beliau memanggil saya- “awake dhéwé kudu siap koyo wong ngemis. Ora entuk lan ora isa ngarani panganan (Anakku, kita harus siap jadi pengemis. Kita tidak boleh menyebut minta makanan yang kita maui).”

Lama setelah saya baca tentang kaul para biarawan, baru saya tahu itulah penghayatan Kaul Kemiskinan Romo Wir.

Mandi dua menit

Romo Wir menjadi Pastor Paroki Klepu seorang diri. Tidak ada Sekretaris Paroki. Segala urusan administrasi paroki ditangani sendiri. Pukul 11.00 siang hari, Romo Wir masuk kamar dan segera terdengar sura tik tak tok, suara mesin ketik, dan suara radio siaran BBC yang kadang hilang sinyal.

Pukul 02.00 dini hari, romo biasa keluar kamar dan pergi ke garasi mematikan genset.

Romo Wir harus misa harian pukul 06.00 pagi. Maka ia bangun pukul 5.55. Waktu lima menit dipakai untuk mandi, – kamar mandi di luar- mengenakan jubah, dan berdandan, dan berjalan menuju gereja di seberang pastoran.

Mungkin karena begitu sedikitnya waktu tidur, kami dipesan untuk tidak membangunkan beliau saat beliau tidur siang pukul 3-4 sore, kecuali permintaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Namun beberapa kali kami langgar karena ibu beliau datang bersama keluarganya dari Magelang.

Kalau ibunya dan keluarganya datang, suasana jadi kemrecek ramai riuh sekitar satu jam. Romo Wir tidak jadi tidur siang, tetapi wajahnya jadi sumringah. Ibu dan keluarganya biasanya tidak lama-lama berada di pastoran; mungkin hanya satu jam. Mungkin mereka sudah diberitahu bahwa jadwal Romo Wir padat sekali.

Setelah tamu istimewa itu kondur, kami-kami jadi sumringah karena oleh-oleh dari ibu dan keluarganya itu langsung dibagi-bagi ke kami. Ada gethuk lindri dan buntil lompong.

Romo Wir segera melanjutkan aktifitas rutin sore harinya: menerima tamu/umat.

Saya merasa sangat senang bisa menjadi ‘bocah pastoran’. Saya menyaksikan langsung hidup seorang imam Jesuit yang hidup secara ugahari, suci, dan ‘biasa saja’.

Banyak inspirasi hidup almarhum Romo Wir yang tetap bisa saya kenang. Banyak pelajaran tentang pola hidup baik yang hingga kini masih tetap saya ugémi (pegang).

Matur Nuwun Romo Wir. Sugeng tindak sowan Gusti.

Paulus Tupan, ‘bocah Pastoran’ Klepu 1976-1977

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version