KEMARIN sahabat saya, Romo Simon Tjahyadi Pr, mengirim kabar duka via WA. Isinya: Romo Hary Wernet SJ, mantan Pamong Seminari Mertoyudan, meninggal dunia di Jerman.
Selain berita duka dalam bahasa Jerman dari Komunitas Jesuit di Munchen, Romo Simon menyertakan pula foto Romo Wernet yang sedang duduk bersama 6 rekannya para Romo yang sudah sepuh. Para Romo Jerman yang sudah purna karya itu, tinggal di Wisma Jesuit, Unterhaching München.
Berita meninggalnya Romo Wernet segera menyebar di kalangan para alumni Seminari Mertoyudan dan Seminari Tinggi Yogyakarta. WA Grup, Facebook dan medsos alumni pelbagai angkatan, dipenuhi ucapan duka, doa dan kenangan bagi Romo Wernet. Sehari kemarin, sudah tak terhitung ucapan duka dan doa yang dilambungkan bagi Romo Wernet.
Pembimbing Rohani dan Bapa Pengakuan yang baik
Sebagian besar alumni mengenang Romo Wernet sebagai bapak pengakuan dan pembimbing rohani yang baik.
Rusharyanto, teman angkatan kami Merto-73 yang sudah mualaf dan jadi ustaz kondang di daerah Gunung Kidul menulis: “Selamat jalan bapa rohani dan bapak pengakuanku. Bahagia abadi menantimu”.
Seperti banyak seminaris yang lain, Rusharyanto memang “anak rohani” Romo Wernet. Reksa rohani, dalam formasi para calon imam di Seminari, tentu menduduki tempat yang utama.
Romo Wernet, selama bertahun-tahun menjalankan peran itu dengan tekun dan setia. Dari kamarnya yang terasa sempit dipenuhi buku, Romo Wernet mendengarkan apa saja yang dirasakan dan dikatakan para seminaris.
Begitu pintu kamarnya terbuka, senyumnya yang lebar dan tulus menyambut seminaris yang datang. Nasihat-nasihatnya terasa menyejukkan.
Karena bimbingan pribadi Romo Wernet, mengaku dosa sebulan sekali, tidak terasa jadi beban dan kewajiban. Para seminaris merasa nyaman. Bisa jadi, sampai hari ini Romo Wernet memegang juara umum sebagai pembimbing rohani dan bapak pengakuan paling laris sepanjang sejarah Seminari Mertoyudan.
Sudah bukan rahasia lagi, di manapun, termasuk di Seminari, Romo “bule” lebih laris menjadi bapak pengakuan dibanding romo pribumi.
Untuk kami, alumni Seminari Menengah Mertoyudan angkatan masuk 1973 dan sekitarnya, Romo Wernet meninggalkan banyak kenangan. Beliau tinggi besar. Konon tingginya 2 meter lebih. Kalau malam hari memeriksa anak-anak di dormitori sudah tidur atau belum, orang bisa kaget. Ada makhluk tinggi besar malam-malam jalan kaki tanpa suara, siapa tidak kaget.
Kalau lagi “inspeksi” begitu, Niki anjing setianya, kok ya bisa ikut-ikutan tidak bersuara seperti tuannya.
Romo Wernet tahun 1973 itu tidak menjadi Pamong kami. Pamong kami waktu itu adalah Romo J. Udyasusanto SJ. Sub pamongnya, Frater J. Trilaksyanto Pujasumarta Pr, yang kemudian menjadi Uskup Keuskupan Bandung dan Semarang.
Walau tidak menjadi pamong, Romo Wernet menjadi pembimbing rohani sebagian besar dari kami. Romo Wernet kami kenal sebagai pribadi yang hangat dan murah senyum. Jauh dari penampilannya yang tinggi besar dan mengesankan galak.
Guru Bahasa Inggris yang ampuh
Romo Andi Wibowo Pr, imam diosesan Keuskupan Malang, doktor filsafat alumnus Mertoyudan, menulis begini dalam laman Facebooknya: “Selamat jalan Romo Wernet SJ. Beliau, walaupun bertubuh besar dan tinggi, adalah guru yang sederhana dan murah senyum. Seorang pemain piano yang handal. Rutin brevir sambil jalan di halaman depan Seminari Menengah Mertoyudan Magelang.
Pelajaran Bahasa Inggrisnya ampuh. Tiap hari para muridnya diminta menghafalkan kosa kata di Kamus Inggris sebanyak 4 halaman dan diuji. Terima kasih atas bimbingannya Romo”.
Andal dan ampuh, predikat yang diberikan Romo Andi pada Romo Wernet tidaklah berlebihan. Romo Wernet tidak hanya pemain piano yang andal. Beliau juga penggesek cello yang jempolan.
Tentang keampuhan Romo Wernet yang disebut Romo Andi dalam mengajar bahasa Inggris, tentu tidak bisa dinilai dengan metode pembelajaran bahasa Inggris yang lebih visual dan modern sekarang ini.
Dari Romo Wernet, kami dulu mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris yang “tradisional”. Grammar mendapat porsi yang banyak. Menghafalkan kosa kata dari kamus seperti yang diceritakan Romo Andi, benar ditekankan. Keseriusan dan keampuhan Romo Wernet dalam mengajar bahasa Inggris, jelas kami rasakan di awal-awal formatio kami di Seminari Mertoyudan.
Pelajaran Bahasa Inggris yang kami dapat di SMP terasa “ngga ada apa-apanya”dibanding pelajaran yang diberikan Romo Wernet.
Tradisi “English Night” dan pelatihan bahasa Inggris (dan Perancis) dalam majalah dinding Cocorico, membuat kami sungguh merasa maju dalam bahasa internasional yang penting ini.
Pencinta bola dan ekskul seminaris
Untuk para pemain sepakbola, terutama yang masuk tim inti IFO, Romo Wernet meninggalkan kenangan teramat manis. Beliaulah yang memberi kami hadiah sepatu Puma buatan Jerman untuk IFO.
Tahun 70-an itu, kesebelasan PSIS Semarang saja mungkin tidak punya sepatu sebagus yang dipakai IFO Seminari Mertoyudan.
Adik kelas saya Trias Kuncahyono, wartawan senior Kompas itu, masih menyimpan sepatu kenangan dari Romo Wernet itu. Kapan itu di WA kami, ia mengupload sepatu bola warisan sejarah itu.
Tahun 70an itu, nama Adidas dan Puma cuma ada di negara-negara kaya. Nama Nike, Reebok, Converse malah belum lahir.
Zaman itu, sepatu bola yang ada ya cuma sepatu dengan paku-paku kulit yang kasar. Kalau lagi main bola, berapa kali saja kami “celaka” kena gampar paku sepatu yang suka copot sendiri.
Selain sepatu bagus dari Jerman, Romo Wernet juga memberi tim sepakbola Seminari Mertoyudan seragam warna merah yang mentereng. Bukan hanya sepatu, bola, dan kaos yang diimpor dari Jerman.
Bahkan “klebet” untuk penjaga garis saja juga ada. Karena didandani begitu mentereng, anak-anak IFO jadi berkobar-kobar semangatnya kalau di lapangan. Tim bola Seminari Mertoyudan selalu menjadi pusat perhatian para cewek kalau lagi main di Magelang, Muntilan, Klaten, Salatiga, Purworejo atau Semarang.
Prestasi sepakbola kami tahun-tahun itu juga bagus.
Beberapa kali IFO menjadi juara pelajar tingkat Kabupaten Magelang dan menjadi finalis tingkat Propinsi Jawa Tengah. Saya lupa persisnya, kapan Romo Wernet mendandani kami dengan sepatu, seragam dan bola keren “made-in” Jerman itu.
Kalau tidak keliru ketika Romo Wernet cuti pulang ke Jerman, setelah gelaran final Piala Dunia Sepakbola tahun 1974. Konon, di negara asalnya Jerman, Romo Wernet punya keluarga dekat yang menjadi petinggi Adidas dan Puma.
Saya ingat, kami menonton final Piala Dunia Sepakbola tahun 1974 itu di aula MM (Medan Madya). TV hitam putih dipasang Bruder Harjo SJ di aula yang penuh sesak.
Romo Wernet duduk dekat dengan Romo Helsloot di kursi rotan. Romo Suradibrata dan Romo Darminta duduk di antara mereka.
Sudah jelas, Romo Wernet menjagokan Jerman, Romo Helsloot menjadi “tifoso” Belanda. Kalau sampai terjadi “perang” antara Jerman dan Belanda, ada Romo Suro dan Romo Darminta dari Indonesia itu yang akan memisahkan.
Final Piala Dunia Sepakbola tahun 1974 antara Jerman dan Belanda itu, diadakan pada Stadion Olimpiade München, pada 7 Juli. Hari-hari itu kami tidak libur sekolah dan masih bisa nonton rame-rame di asrama.
Ketika itu masa sekolah kami adalah Januari sampai Desember, tidak Juni sampai Juli seperti sekarang. Kapten kesebelasan Jerman Barat pada final itu adalah Franz Beckenbauer. Sementara Belanda dipimpin oleh Johan Cruijff, bintang sepakbola dunia yang lagi bersinar terang.
Gaya “total football” kesebelasan Belada lagi mencuri perhatian dan menjadi pembicaraan di mana-mana. Pasar taruhan menjagokan Belanda memenangi Piala Dunia 1974 itu.
Di Indonesia pun, tentu saja mayoritas penonton juga menjagokan Belanda. Pertandingan sempat tertunda, karena staf stadion lupa memasang kembali bendera pojok yang telah dicabut untuk keperluan upacara penutupan.
Baru beberapa menit kick off, Cruijff melakukan solo run ke kotak penalti Jerman (Barat) sebelum dijatuhkan Uli Hoeneß. Penalti untuk Belanda pada menit kedua. Belanda unggul satu gol lewat tendangan penalti Johan Neeskens bahkan sebelum pemain-pemain Jerbar sempat menguasai bola. Jerman berjuang menyamakan kedudukan.
Mereka juga mendapatkan penalti di menit ke-25 setelah Bernd Hölzenbein dilanggar di kotak penalti Belanda. Paul Breitner mengambil tendangan dan berhasil mencetak gol. Ini adalah dua penalti pertama yang terjadi di Final Piala Dunia.
Setelah gol tersebut, Jerman menguasai pertandingan. Sepanjang sisa permainan, Johan Cruijff praktis ‘dimatikan’ oleh Beckenbauer. Pada menit ke-43, Gerd Müller mencetak gol kemenangan untuk kesebelasan Jerman.
Buku bagus, perpustakaan lengkap, jasa Romo Wernet
Tahun 1973 sampai tahun 1976, ketika angkatan kami menikmati pendidikan di Seminari Mertoyudan, kami sungguh merasa beruntung. Waktu itu, kami mendapat kemewahan yang luar biasa dari buku-buku dan perpustakaan yang disediakan seminari.
Entah sekarang, ketika buku-buku berbahasa asing menjadi barang langka dan mahal harganya begini. Meja belajar kami dipenuhi dengan buku-buku tak hanya bahasa Indonesia, tetapi juga buku-buku dalam bahasa Latin, Inggris dan Perancis. Dan semua buku itu asli, tidak fotocopy-an.
Zaman itu, mesin fotocopy belum dikenal.
Saya yakin, dalam pengadaan buku-buku dan perpustakaan seminari, Romo Wernet punya jasa yang besar. Selama 3 tahun penuh, dari kelas 1 sampai kelas 3 habis BCP, saya diminta membantu Romo Wernet mengurus perpustaan DP (Domus Patrum).
Perpustakaan DP di sebelah Refter DP itu adalah perpustakaan khusus untuk para imam dan staf seminari. Bukan untuk para seminaris. Salah satu tugas saya dari Romo Wernet waktu itu adalah mencatat buku-buku baru yang masuk di perpustaan DP.
Dengan meninggalnya Romo Wernet, saya lalu tersadar betapa para Romo karena cintanya pada ilmu dan pendidikan, selalu menganggarkan pengadaan buku-buku yang begitu mahal. Sebagai asisten Romo Wernet di perpustakaan DP selama 3 tahun berturut-turut, saya jadi ikut-ikutan kecipratan bisa membaca buku-buku langka yang di perpustakaan siswa tidak ada.
Buku-bukunya Pramudya Ananta Toer misalnya. Zaman itu, pemerintahan Presiden Soeharto mengharamkan buku-bukunya Pramudya Ananta Toer karena dianggap produk penulis komunis.
Saya tidak peduli dengan larangan itu. Bagi saya, buku-bukunya Pramudya sangat mengasyikkan untuk dibaca. Tugas akhir saya dengan Pak Naryo guru Bahasa Indonesia, adalah membedah buku Perburuan karya Pramudya Ananta Toer itu.
Hati yang besar untuk pendidikan orang muda Indonesia
4 Juli tahun 1984, Mgr Leo Soekoto, Uskup Agung Jakarta waktu itu, memberikan tahbisan imam diosesan KAJ kepada kami berlima bertempat di Balai Sidang Jakarta. Sekarang tempat itu namanya Convention Center.
Sesudah tahbisan itu, saya merayakan misa pertama di paroki saya Muntilan dan kapel Susteran Fransiskanes. Yang terakhir ini sebenarnya misa untuk umat lingkungan, keluarga dan teman-teman seminari saja.
Sesaat sebelum misa mulai di kapel susteran itu, Romo Wernet muncul.
Saya ingat, ketika saya mohon Romo Wernet memberi kotbah pada misa pertama untuk keluarga itu, Romo Wernet mengatakan: “Saya datang pada misa pertama Kunarwoko, sebagai ungkapan terima-kasih saya karena Kunarwoko sudah membantu saya tiga tahun di perpustakaan”.
Lagi, buku dan perpustakaan itulah yang membuat Romo Wernet merasa punya hubungan istimewa dengan seminarisnya. Pertemuan saya yang terakhir dengan Romo Wernet terjadi pada awal tahun 1999.
Pagi itu, telepon di kamar saya di Collegio Olandese Roma berdering. Romo Wernet menelepon. Beliau bilang mendapatkan nomor saya dari Buku Irrika milik Romo Tom Michel yang ada di Generalat Jesuit.
Siang itu, dari kampus Angelicum saya janji ketemu Romo Wernet di gelateria, tempat ice-cream dekat Pantheon, tidak jauh dari Collegio Bellarmino para Romo Jesuit.
Selama beberapa jam dari pukul 2 siang, kami ngobrol macam-macam dengan Romo Wernet. Senyum lebarnya masih sama. Kehangatan dan keramahannya tidak berubah.
Untuk orang Jerman, sosok Romo Wernet mungkin sudah menjadi terlalu ramah. Kurang “cool” mungkin. Dan memang, siang itu Romo Wernet cerita, sebelum masuk Roma, di bandara Fiumicino beliau sempat ditahan lama di imigrasi. Polisi bandara rupaya menganggap aneh, ada bule tinggi besar berwajah Eropa kok memegang paspor Indonesia.
Habis makan ice-cream depan Pantheon, saya lalu ngajak Romo Wernet untuk “ngopi-ngopi cantik” di caffetaria yang tidak jauh dari gelateria Pantheon itu.
Romo Wernet mengeluarkan dompetnya. Dengan kalimat terbata-bata, beliau bilang: “questa volta pagho io”.
Kali ini saya yang mbayar. Ketika saya melirik kok di dompet beliau ada foto-foto beberapa anak remaja Indonesia, Romo Wernet langsung bertanya: “Kunarwoko kenal dengan anak-anak ini ?”
Saya bilang tidak kenal. Lalu Romo Wernet mengatakan itu adalah beberapa seminaris Mertoyudan. Saya tidak bertanya lebih lanjut apa istimewanya anak-anak itu sehingga disimpan di dompet Romo Wernet.
Yang pasti, dari pertemuan siang itu, saya merasa sungguh bahwa Romo Wernet adalah imam, sahabat, dan gembala yang baik.
Sekian lama saya tidak berkabar apalagi ketemu beliau, tiba-tiba siang itu gembala yang baik itu mencari dan menyapa saya dombanya yang hilang. Siang itu juga saya merasakan, betapa besarnya perhatian Romo Wernet pada anak-anak muda yang pernah ia asuh, terutama yang sedang mempersiapkan pendidikannya di seminari.
Romo Wernet datang sebagai missionaris Jesuit ke Indonesia pada tahun 1950, ketika usianya belum 30 tahun. Ia ditahbiskan imam di Yogyakarta pada tahun 1962. Dari tahun 1964 sampai 1985 beliau menghabiskan hidupnya sebagai pendamping para seminaris di Mertoyudan.
Dua puluh tahun lebih.
Selama 21 tahun, sudah tak terhitung orang muda Katolik yang menikmati pelayanannya. Sudah tak terhitung lagi, berapa banyak “orang besar” dan tokoh-tokoh Katolik yang dicetak dari asuhan seminari Mertoyudan dan ketekunan pelayanan Romo Wernet. F
anatisme penghayatan imamatnya melayani para seminaris, mungkin sama dengan fanatismenya pada sepakbola dan kesebelasan Jerman yang didukungnya. Sebagai orang Jerman, tentu sangat normal kalau Romo Wernet menjagokan kesebelasan Jerman negaranya.
Menurut saya, fanatisme Romo Wernet membela kesebelasan Jerman masih kalah dengan fanatisme Romo Wolf, Romo Jesuit Jerman yang lain.
Romo Wolft pernah bertugas di paroki Blok B, Theresia, Blok Q Jakarta dan paroki kami Muntilan. Romo Wernet mengungkapkan fanatisme bolanya dan dukungan Jermannya, cukup dengan memanjakan IFO Seminari Mertoyudan.
Sedang Romo Wolf memanjakan para putera altar di semua paroki yang dilayaninya asal mendukung kesebelasan Jerman, dengan iming-iming taruhan dan nraktir habis-habisan. Begitulah gaya para Jesuit Jerman dalam menjadi “tifosi” kesebelasan negaranya.
Bagaimanapun gayanya, nampak jelas Romo Wernet dan Romo Wolf adalah para gembala yang hangat, akrab dan cinta betul pada orang muda yang dilayaninya.
Para alumni Seminari Mertoyudan sangat merasa kehilangan Romo Wernet, karena tiba-tiba saja kini kami semua sudah harus bertemu dengan kenyataan: usai sudah sejarah kehebatan kiprah para missionaris asing di negeri ini. Mereka kini tinggal sejarah.
Dengan meninggalnya Romo Leonard Smit SJ beberapa waktu lalu, dan Romo Wernet kemarin, mungkin para Jesuit Indonesia yang berasal dari Belanda atau Jerman tinggal 1 atau 2 orang. Mereka semua akan terus tercatat dalam sejarah Gereja Indonesia dan kenangan kita semua sebagai imam, gembala, sahabat, pelayan, guru, rekan yang penuh semangat, yang hidup, yang menghabiskan seluruh pikiran, energi, tenaga, networking, dukungan dana, dukungan sarana, bagi gereja Indonesia khususnya bagi pendidikan orang muda di seminari.
Tiba-tiba saja, “generasi super” angkatan Romo Wernet tinggal nostalgia.
Peran, kiprah dan kehebatan Romo Wernet cs sebagai imam, pamong, bapak pengakuan, pembimbing rohani, guru pelbagai disiplin ilmu, animator pelbagai kegiatan, olahragawan, musikus, pustakawan, donatur, pendamping orang muda, imam yang suka bertemu mantan siswanya dan senang mengunjungi umat, tiba-tiba tak ada lagi.
Begitu banyak pekerjaan yang pernah mereka dilakukan, tiba-tiba kini tak kuasa lagi kita lakukan sendirian.
Yang dilakukan Romo Wernet selama ini ternyata kini hanya bisa digantikan dengan belasan atau bahkan puluhan orang dan profesi.
Selamat jalan Romo “all-round”, selamat bahagia di rumah Bapa Romo Wernet, a good priest for all seasons akan terus kami kenang semua kehebatan dan kebaikan Romo.
Dalam kenangan dan terima kasih tulus.