Home BERITA In Memoriam Romo Heri Kartono OSC: Wartawan Kehidupan (2)

In Memoriam Romo Heri Kartono OSC: Wartawan Kehidupan (2)

0
Ilustrasi: Almarhum Romo Heri Kartono OSC bergaya dengan mengendarai becak. (Ist)

Romo Heri Kartono OSC becakPADA saat Romo Kartono bertugas di Roma sebagai anggota Dewan Pimpinan Umum OSC pada tahun 2004-2010, ia menemukan satu kegemaran baru, yakni menulis berita dan laporan untuk Majalah Hidup.  Secara berkala dan berkesinambungan, ia mengisi rubrik Mancanegara di Majalah Hidup. dengan berita-berita segar dan aktual  tentang aneka peristiwa menarik yang terjadi di kota Roma dan Vatikan.  Dengan cara itu, ia ikut memperluas cakrawala berita Hidup  dengan wawasan Gereja Universal  dan sekaligus juga mendekatkan pesan & keprihatinan Sri Paus di Vatikan dengan kondisi umat Katolik di Indonesia.

Ringkasnya, Romo Kartono berkeyakinan bahwa sebagai orang Katolik, kita itu harus mempunyai wawasan “Glocal”, yakni global & lokal sekalI

Namun sebetulnya terdapat segi lain di samping wawasan Glocal itu yang jauh lebih menarik perhatiannya, yakni segi personal: hasrat dan minatnya yang kuat untuk mengenal riwayat hidup seseorang  dengan mendalam dan kemudian menggubah riwayat itu menjadi sebuah Kisah Teladan yang menarik guna disampaikian kepada kalangan umum yang lebih luas. 

Sambil separuh bercanda, Romo Kartono pernah berkata: “Cita-cita saya bukanlah menjadi wartawan Hidup, melainkan menjadi Wartawan Kehidupan!”  

Maksudnya, ia ingin menjadi seorang penulis dari “moments of epiphany, “saat-saat cahaya ilahi berkelebat masuk menerobos perjuangan hidup seseorang hingga ia bisa keluar dari krisis dan kemelut yang tengah merajut nasibnya. Dalam perjalanan  imamatnya sendiri, Romo Kartono secara pribadi pernah mengalami saat epifani semacam itu hingga ia bisa keluar dengan selamat  dari krisis panggilan yang pernah menggoncangkan nasib dan identitasnya sebagai imam.

Dan ia sungguh percaya bahwa moment epifani semacam itu dialami oleh banyak orang lain juga: “Ketika semua pintu telah tertutup,  Allah justru berkelebat masuk!”

Didorong oleh kepekaan intuitifnya akan moment epifani itu, Romo Kartono dengan rajin dan cermat lalu menuliskan pengamatan dan renungannya tentang pelbagai kisah hidup orang yang dikenalnya itu dalam berbagai media: buku harian, blog “Batur Sajalur,” aneka artikel di rubrik kesaksian & eksponen majalah Hidup.  Aneka tulisan yang berserakan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi  lima (5) buku berikut:

  • Buku pertama: “Ketika Semua Jalan Telah Tertutup” tentang koleksi  kesaksian umat yg ditemui dalam kisah  perjalanan imamatnya;
  • Buku kedua: “Kersaning Allah”. Ini  Memoir dari Ganda Kusuma;
  • Buku ketiga: “Doewe, Tokoh Pelopor Sunda Katolik.”  Ini adalah kisah   pendiri gereja Katolik di kota Ciledug – Cirebon, tempat Romo Kartono  menjalani  masa kecinya.
  • Buku Keempat: “Asyiknya Jadi Romo.” Ini adalah kumpulan pengalaman pastoralnya bersama umat.
  • Buku kelima:”Dibakar Semangat Pelayanan”. Ini adalah koleksi   kisah orang-orang yang dikenal dan dikagumi secara pribadi oleh  Romo Kartono.

Ada satu hal yang menarik dan menonjol dari kelima buku  tersebut: semuanya bercerita tentang perjalanan hidup & perjuangan iman dari orang-orang yang dikenal secara pribadi oleh Romo Kartono. Ada dua akibat ajaib yang muncul dari cara penulisan semacam itu.

  1. Pertama, tulisan-tulisannya itu telah mengakibatkan Romo Kartono masuk dalam kancah & jejaring pergaulan  yang  luas dengan orang dari pelbagai kalangan dan latar-belakang yang berbeda: guru, dosen, artis, wartawan, seniman, pengusaha, dokter, rohaniwan/wati, celebriti dan lainnya.
  2. Kedua, tulisan-tulisannya itu telah menciptakan suatu “relasi yang intim” di antara sang penulis dan orang yang ditulis: nama Romo Kartono pun seakan-akan tertulis secara abadi dalam lubuk hati orang-orang yang pernah diceritakannya.

Dalam perjalanan imamatnya, Romo Kartono pernah mengalami suatu krisis panggilan. Namun sejak awal April yang lalu, ia mengalami suatu krisis yang jauh lebih mencekam, yakni krisis kehidupan yang menyebabkan hari-harinya menjadi nampak gelap sebab serba tidak pasti dan membangkitkan pertanyaan yang penuh kecemasan. Semoga seperti Tuhan Yesus di taman Getsemani, ia pun mengalamimoment  epifani: ” Seorang malaekat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya.” (Lukas 22:42).

Photo credit: Alm. Romo Heri Kartono OSC (ist)

Tautan:

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version