Home BERITA In Memoriam Romo Ndito Martawi Pr: Naik Bajaj dari Lapangan Banteng ke...

In Memoriam Romo Ndito Martawi Pr: Naik Bajaj dari Lapangan Banteng ke Katedral Jakarta

0
RIP Romo Ndito Martawi Pr alias Gendhit Jiyoto sesuai nama kecilnya. (Ist)

KEUSKUPAN Agung Jakarta berduka. Romo Ndito Martawi kelahiran Muntilan, 5 Mei 1957.  Imam yang punya nama kecil Gendhit Jiyoto ini berasal dari Sumber, dekat Muntilan.

Ia meninggal dunia pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus, Minggu pagi, 7 Juni 2020 pkl. 05:30 WIB, setelah dirawat sejak Jumat sore, tiga hari sebelumnya di RS Carolus, Jakarta.

Romo yang akrab dipanggil “Romo Dito” ini memang sudah cukup lama bolak-balik RS Carolus untuk melakukan cuci-darah lantaran fungsi ginjalnya sudah tidak optimal. Hari Minggu lalu Tuhan memanggilnya dalam usianya yang ke-63 lewat 33 hari.

Dalam catatan tentang riwayat hidupnya, Romo Dito ditahbiskan menjadi imam pada hari Jumat, 15 Agustus 1986 melalui penumpangan tangan Mgr. Leo Soekoto, Uskup Agung KAJ saat itu.

Kenangan akan Romo Ndito Martawi Pr.

Balai Sidang Jakarta

Lokasi  ucapara pemberian Sakramen Imamatnya juga tak tanggung-tanggung, yakni di Balai Sidang Jakarta. Ada beberapa alasan memilih tempat yang kurang lazim ini.

Selain misalnya demi kepraktisan, Mgr. Leo dikabarkan mau sekaligus buat aksi panggilan untuk Seminari Menengah KAJ yang tengah disiapkan olehnya di Pejaten, Pasar Minggu (kelak namanya Seminari Menengah Wacana  Bhakti).

Bersama almarhum Romo Dito ditahbiskan juga tiga imam diosesan KAJ lainnya. Mereka adalah Romo Purbo Tamtama (kini Rektor Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II dan Tribunal KAJ), Romo Rochadi Widagdo (Pastor Paroki St. Yohanes Maria Vianey, Cilangkap) dan almarhum Romo Frans Doy (meninggal tahun 2018).

Dilihat dari kisah perjalanan para imam diosesan di KAJ, Romo Dito termasuk ke dalam angkatan-angkatan “putera daerah” (Jawa Tengah dan DIY) yang dinilai “berani”.

Saat masih menjadi pastor untuk Gereja Santo Matius Paroki Bintaro.
Samping kanan almarhum adalah mendiang Romo Marini SX.

Itu karena dia  memutuskan mau menjadi imam diosesan KAJ, tanpa tahu bagaimana situasi dan kondisi kehidupan medan KAJ sebelumnya. Artinya, ia langsung berangkat untuk berkarya sebagai imam diosesan  di KAJ nantinya, padahal dirinya belum  pernah tinggal dan bekerja apa pun di Jakarta.

“MTL: Muntilan Tembak Langsung,” demikian gurauannya.

Hal ini menjadi semakin menantang dan biresiko, bila diingat juga, bahwa panggilan menjadi imam diosesan KAJ saat itu sama sekali belum dikenal. Bahkan oleh sementara umat dari masa Gereja Kolonial posisi imam diosesan saat itu sering diejek dan dihina sebagai tweede klas priester . Sebuah istilah dalam bahasa Belanda yang  artinya “imam kelas dua”.

Pasalnya, imam-imam diosesan itu berasal dari kalangan pribumi. Ini berbeda dari imam-imam tarekat yang saat itu didominasi oleh imam-imam kulit putih atau Belanda.

Dari sejarahnya, Gereja Batavia memang kental dengan kebelandaannya ketimbang “kepribumian”-nya.

Pada Masa Revolusi, setelah Proklamasi, Batavia pernah menjadi pusat kekuasaan Belanda, sedangkan Jawa Tengah dan Timur merupakan daerah Republik Indonesia dengan Yogyakarta sebagai Ibukotanya.

Sempurna sudah perjalanan hidupnya.
Kini beristihatlah dalam damai Tuhan.

Naik bajaj dari Lapangann Banteng ke Katedral

Menjelang akhir 1979-an, saat melakukan solisitasi, Romo Dito menempuh perjalanan naik bus dari Muntilan ke terminal Lapangan Banteng. Waktu itu, terminal utama di Jakarta adalah Lapangan Banteng. Belum ada Terminal Pulo Gadung dan lainnya.

Dari situ dia naik bajaj ke Ordinariat Keuskupan untuk sowan dan berwawancara dengan Mgr. Leo Soekoto, Uskup KAJ saat itu, tanpa  ia tahu jarak kedua lokasi itu cuma sepelemparan batu jauhnya.

Begitulah, angkatan frater-frater KAJ berikutnya memiliki “kakak-kakak” pendahulu yang berani-berani itu. Salah satunya adalah Romo Dito yang seumur hidupnya berkarya di paroki-paroki (dengan nyaris setahun di Manila untuk sabatikal.

Terakhir karya pastoralnyatercatat sebagai pastor rekan di Paroki St. Bonaventura, Pulomas, Jakarta Timur.

Warga kampung di Sumber di desa asalnya melakukan persiapan untuk sembayangan arwah almarhum.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version