Home BERITA In Memoriam Romo Sastrapratedja SJ: Minat Baca dan Ke-Indonesia-an (5)

In Memoriam Romo Sastrapratedja SJ: Minat Baca dan Ke-Indonesia-an (5)

0
Romo Michael Sastrapratedja SJ (1943-2024) dan Romo Herry Priyono SJ. (Dok. Romo Simon Lili Tjahjadi Pr)

SAYA mengenal sosok almarhum Romo M. Sastrapratedja SJ dalam dua fase besar hidup. Pertama, saat beliau menjadi dosen saya, dan kedua saat beliau menjadi kolega senior saya di STF Driyarkara (STFD).

Saat menjadi dosen tahun 1980-an, almarhum terkesan angker, tidak suka omong. Bahkan jika diberi salam pun, Romo Sastra selalu tampak cuek.

Semula saya menduga, ini barangkali sangat berhubungan dengan semacam kompleks rendah-dirinya. Karena di lingkungan kampus Sekolah Tinggi Filsadat Driyarkara (STFD), postur tubuh almarhum Romo Sastra boleh dibilang kecil. Tinggi tubuh mungkin tidak lebih dari kisaran 160 cm.

Logo STF Driyarkara Jakarta.

Lain di kampus, berbeda pula komunikasi personal

Maklum, STFD pada 1980-an itu masih penuh dengan dosen-dosen (patres) asal Eropa. misalnya Romo Christianus Verhaak SJ (alm.), Romo Kees Bertens MSC, Romo Nico Syukur Dister OFM, Romo Franz von Magnis SJ, Romo Martin Harun Olsthoorn OFM, dan Romo Joe Verhaar SJ. Semua dosen senior STFD ini bertubuh rata-rata 175-an cm.

Tetapi dugaan ini segera sirna. Sebab jika kita datang dan berbicara secara pribadi dengannya, Romo Sastra tampak sebagai pribadi yang hangat, humoris. Almarhum suka membantu mahasiswa; khususnya dalam bimbingan studi.

Romo Sastrapratedja SJ (ujung kanan( bersama rekan-rekan dosen senior Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Di situ ada Romo Antonius Sudiarjo SJ, Karlina Supelli, Romo J. Sudarminta SJ, dan satu dosen lainna. (Dok. Romo Simon Lili Tjahjadi Pr)
Romo Sastrapratedja SJ mendapat pijatan dari Romo Alex Lanur OFM. (Dok. Romo Simon Lili Tjahjadi Pr)

Kobarkan minat baca

Selain itu, bagi kami Romo Sastra merupakan dosen yang mengobarkan minat baca. Salah satu kekhasannya adalah, waktu kuliah ia sering membawa dan memperkenalkan buku-buku baru serta memberikan ulasan tentangnya.

Pada zaman di mana buku-buku filsafat dan ilmu sosial sulit diperoleh, juga mahal, kuliahnya menjadi sangat menarik dan aktual. Saat kuliah dengannya selalu merupakan luxus intelektual, sebab kita diajak bertualang di dalam pemikiran dari filsuf yang sedang dibahas.

Dari sini muncul kuriositas untuk mendalami lebih lanjut pemikiran mereka; dengan keinginan membaca langsung karya mereka. Kami lalu ke perpustakaan sekolah, mencari buku itu. Dan jika ada, kami lalu meminjamnya untuk dikopi di kawasan Rawamangun atau Jl. Percetakan Negara. Agar menjadi milik pribadi yang siap digarap dengan coretan atau catatan sana-sini di buku hasil kopian itu.

Ilustrasi: Para frater mahasiswa STF Driyarkara Jakarta.

Menjadi rekan kerja

Saat menjadi kolega di STFD (sekarang), Romo Sastra adalah senior yang hangat bersahabat dan mudah diajak bekerjasama. Kegiatannya sebagai dosen ia penuhi dan laksanakan dengan baik. Sudah tidak terbebani dengan aneka tugas struktural, pada fase ini ia tampak sungguh bisa menikmati hidupnya, baik sebagai pengajar maupun sebagai pribadi.

Romo Sastra menjadi berperangai lebih kalem, mudah gembira dengan hal-hal kecil, namun tetap berpikir tajam, dan memiliki Teamgeist (semangat tim) yang solid. Untuk lembaga pendidikan kecil, namun dituntut tetap bermutu tinggi, seperti STFD, persis keutamaan seperti inilah yang kami perlukan.

Pada usia senjanya ini juga, Romo Sastra kami kenal suka makan makanan enak. Seleranya tinggi. Ia tahu di mana tempat makan yang baik di daerah Menteng dan Kuningan, misalnya. Terkadang almarhum Romo Hari Kustanto SJ, dosen STFD yang sudah terlebih dahulu meninggal, sering menemani dia pergi ke sana. Dalam hal citarasa kuliner, keduanya memang bersahabat akrab bak tumbu oleh tutup.

Romo Prof.Dr. Nicolaus Driyarkara SJ. (Ist)

Ke-Indonesia-an

Namun, warisan R. Sastra yang menurut saya paling penting adalah pemikirannya tentang keindonesiaan.

Tahun 1970-an, dalam suatu masa d imana “gaya pikir” rezim Orde Baru perlu ditantang dan dicarikan alternatifnya (ad extra), serta gerakan Indonesianisasi Gereja Katolik pasca Konsili Vatican II perlu didukung (ad intra), maka Romo Sastra SJ berhasil memberikan kontribusinya yang khas.

Ia menggali pemikiran-pemikiran para tokoh bangsa masa lalu. Misalnya: Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Ki Hadjar Dewantara. Lalu, mencoba menarik relevansinya kini dalam aneka bidang seperti budaya, agama, pendidikan dan ideologi Pancasila.

Untuk tema ke-Indonesia-an itu, tentu buah pemikiran Romo Nicolaus “Jenthu” Drijarkara SJ lewat buku Pertjikan Filsafat jadi referensi filosofis paling dasar. Itu sebanding dengan buku babon Manuale philosophiae ad usum seminariorum – miliknya saat masih studi dahulu.

Sebagian dari refleksi pemikirannya itu sudah diterbitkan. Latar belakang kompetensi Romo Sastra dalam bidang filsafat membuatnya sanggup mendiskusikan tema-tema ini pada tingkat diskursus intelektual dan aktualitas yang lebih tinggi.

Sekarang sang Tokoh ini sudah pergi. Dan kita semua kehilangan dia. Romo Sastra SJ, terimakasih atas semua pengabdian Romo; khususnya untuk STFD.

Selamat jalan menuju Tuhan, tempat semua hati yang resah menemukan istirahatnya. (Berlanjut)

Baca juga:

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version