SOSOK Romo Wiryo adalah imam senior yang sangat peduli dengan generasi yunioresnya.
Saya mengenal Romo Wiryo atau Romo Bambang Santosa sedari tahun 1976. Sampai tahbisannya tahun 1978, kami bersama-sama di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan.
Mas Bambang bersama Mas Wiyanto, tahun itu menjalani tingkat terakhir teologi sebelum pendadaran dan tahbisan. Saya, Eko Susanto, Yantje Getang, Susapto, dan Djoko Trimartanto mengawali pendidikan tingkat filsafat.
Kami adalah angkatan terakhir calon imam diosesan KAJ yang dikirim dan “dititipkan” di Seminari Tinggi Kentungan Yogya mulai dari filsafat.
“Adik-adik” kami menjalani pendidikan tingkat filsafatnya di STF Driyarkara Jakarta.
Di Kentungan, Frater Wiyanto dan Frater Bambang Santoso adalah dua sosok “kelas berat” yang paling terkenal. Sementara teman-teman seangkatan masing langsing-langsing, dua calon imam KAJ itu tinggi, besar, gagah, suaranya kencang-kencang dan perutnya buncit-buncit.
Hampir semua teman-teman dari Keuskupan lain berkomentar: “Romo Wiyanto dan Romo Wiryo memang cocok bingits mewakili wajah Jakarta.”
Di mata teman-teman, mereka cocok mewakili Jakarta sebagai keuskupan makmur. Besar badan dan besar perut Romo Bambang dan Romo Wiyanto sudah menjadi “ikon” praja Jakarta sejak di Seminari Tinggi Kentungan.

Suka makan
Walau makan banyak menjadi kegemaran kedua Romo, kami adik-adik kelasnya selalu ikut menikmati kebahagiaan “makan” Mas Bambang dan Mas Wiyanto ini. Kamar mereka penuh makanan. Ada saja kenalan dan tamu dari Jakarta yang datang membawa makan untuk mereka.
Tahun 70an itu, Jogya belum ada mal. Makan model McD, Kentucky apalagi Starbuck masih ngumpet di jagad ide entah di mana. Resto yang paling terkenal dan menjadi andalan orang Jogya kalau makan enak adalah ayam goreng Nyonya Suharti.
Sebulan sekali, tidak peduli ada yang merayakan ulang tahun atau tidak, Romo Wiyanto dan Romo Wiryo mentraktir kami adik-adiknya makan di Nyonya Suharti. “Kun, yuk mangan Nyonyah Suharti. Nih “gue” habis ditiliki kancaku. Kasih duit buat kita makan-makan.”
Itu ajakan khas Mas Bambang yang kami ingat. Untuk anak asrama zaman itu, diajak makan ayam Nyonya Suharti itu sudah merupakan kemewahan besar.
Setiap liburan tiba, Romo Bambang selalu menawarkan acara nginep gratis, makan-makan dan ngobrol-ngobrol santai di villa omnya di Ciloto. Berapa kali saja kami ke Ciloto menginap di villa keluarga Romo Bambang.
Romo Bambang juga sangat senang dan mendukung kalau kami punya hobi. Fotografi misalnya. Kamera dan lensa-lensanya yang bagus dan mahal itu sering dipinjamkan ke saya tanpa segan-segan.
Ketika saya mengajar di jurusan “miskin” di Atma Jaya yaitu jurusan kateketik, Romo Bambang selalu memberi bantuan dana untuk retret, rekoleksi atau kegiatan para katekis kami. Dunia pewartaan, kotbah dan katekese untuk anak sekolah menjadi dunia yang disenangi Romo Bambang.
Saking perhatiannya, setiap kali ketemu di Tepas (Temu Pastor), Romo Bambang selalu bertanya ke saya: “Kun, katekismu butuh dana maneh ora. Mengko tak golekke. (Masih butuh dana tidak, nanti saya carikan.)”.
Akrab, guyub, meriah, gembira, menyenangkan, itulah persaudaraan dan paguyuban imam-imam praja KAJ yang selalu dicita-citakan dan dilaksanakan oleh Romo Bambang Santoso.
Out of the box
Selama “bungkus” dan “isi” sama-sama bagus, kita tidak perlu risau. Kalau pun “bungkus” terkadang kurang bagus, asal isi “bagus” biasanya oke-oke saja.
Begitulah, Romo Wiryo atau Romo Bambang, sudah berhasil dan sukses menjalani imamat selama 40 tahun dengan setia.
Hari ini, 1 Oktober 2018, Tuhan menganggap cukup tugas dan pelayanannya di dunia ini. Ia sudah menjadi imam Tuhan yang baik, dan bahkan menjadi ikon KAJ.
Mengapa?
Masih dalam wawancara dengan Majalah Salus pada ulang tahunnya yang ke-70 dua tahun yang lalu, Romo Wiryo menegaskan apa yang selama ini meneguhkan dan mengobarkan panggilan imamatnya:
“Saya yakin bahwa saya dipilih Yesus. Saya tidak kecewa dan saya tidak mengecewakan. Yesus sendiri yang memanggil saya. Keyakinan saya ini amat terasakan. Pengalaman ketika saya melamun di kamar: Ikutlah saya dan kamu tidak akan menyesal.’ Pilihan saya tidak salah. Sebagai sahabat, Yesus Kristus terus mengobarkan panggilan saya. Yesus adalah sahabat saya dan menerima saya apa adanya. Pastor itu dapat bertahan dalam menjalani panggilannya kalau optio fundamentalis-nya benar. Pilihan dasar saya ialah aku ikut Kamu (Yesus Kristus), pasti tidak rugi, tidak akan menyesal. Kebun anggurnya di Keuskupan Agung Jakarta. Siapa direkturnya: Uskup.”
In Memoriam Romo Wiryowardoyo Pr – Pijar Vatikan II: Ikon Praja Jakarta Telah Berpulang (30 A)
Optio fundamentalis atau pilihan dasar Romo Bambang ini yang pada hemat saya adalah isi dari imamatnya. Romo Bambang sudah menghidupi isi imamatnya itu dengan sangat baik.
Bahwa tidak semua umat dan rekan-rekan imam setuju, akur dan suka dengan bungkusnya, saya rasa Bapak Uskup Jakarta sebagai pimpinan karya beliau sudah sangat memakluminya.
Ketika Romo Bambang menjadi saksi tempat tahbisan kami tahun 1984, beliau memilih gedung Balai Sidang Senayan (Jakarta Convention Center) sebagai lokasi misa tahbisan 5 orang imam praja KAJ.
Pertama dalam sejarah KAJ ada tahbisan sebanyak itu. Semula, Mgr Leo setuju. Begitu tahu dananya jadi membengkak mahal, Romo Wir dipanggil dan dimarahi. “Kenapa jadi mahal?”
Dengan kalemnya, Romo Wiryo menjawab, “Kalau yang pesta Simon (nama koster Katedral waktu itu) ya murah. Ini yang pesta kan Uskup.”
Anda bisa membayangkan sendiri marahnya Mgr Leo Soekoto dijawab seperti itu. Pada saat tahbisan, Mgr Leo sudah lupa pada marahnya. Padahal Romo Bambang sampai ngumpet-ngumpet menghindari Mgr.Leo.
Ketika ada beberapa teman imam yang digosipkan dekat dengan ibu-ibu, Romo Bambang dengan santainya mengatakan: “Baguslah dekat sama ibu-ibu. Daripada dekat sama mas-mas atau om-om.”
Ketika banyak orang terutama para frater yang terperangah melihat koleksi akik, jam tangan, wayang, lukisan, pedang, pistol-pistolan, dan seabreg aksesories lain di kamarnya, dengan santainya Romo Bambang mengatakan: “makanya, jadilah pastor. Banyaknya akik dan pemberian umat itu, bukti bahwa berkat Tuhan itu juga berkelimpahan”.
Kepada teman-teman imam yang dianggap tugasnya ‘ke sana ke mari’, Romo Bambang suka bertanya: “sudah minta mobil sama Roy belum? Minta sana, jangan ngrepoti umat minta jemputan.”
Gaya dan cara pikirnya yang out of the box ini muncul dari Romo Bambang dengan spontan, enak dan ikhlas.
Yang menjadi “bungkus” mungkin membuat kita ternganga. Ketika saya di Roma, entah sudah berapa kali saja saya ketemu Romo Wiryo di hotel atau di Basilika Santo Petrus mengantar para ziarah. Ada kurun waktu saya ketemu beliau setahun 3 kali.
Saya tanya, “Rajin amat mas ke Roma dan Lourdes?”
Dijawab, “Pihak lain saja boleh berkali-kali ziarah sampai 7 kali. Saya baru 8 kali ke Lourdes dan cium cincin Santo Petrus. Saya mau ke Lourdes 19 kali.”
Mungkin kalau Romo Bambang tidak berdoa Rosario setiap hari, dan selalu ikut bimbingan dan retret rutin di Biara Trappist, saya akan cepat menuduh beliau sebagai tukang jalan-jalan saja. Tetapi karena bungkus dan isinya cocok, saya manthuk-manthuk (menangguk menyetujui) saja.
Kapan tuh di Gereja Ignatius, Mas Bambang ketemu isteri dan anak saya yang pertama.
Sebelum pamit pulang, beliau bisik-bisik: “Bojomu ayu. Anakmu lanang nggantheng tenan. Gawe siji meneh wedok. Tak jamin ayu.”
Kali ini saya tidak cengir-cengir salah tingkah. Kata-kata Romo Bambang adalah doa tulus dari seorang sahabat yang dengan tulus menerima saya apa adanya, tetap menjadi sahabatnya, kendati saya tak lagi menjadi anggota Unio KAJ.
Selamat jalan Mas. Kami bangga dan bahagia, dalam hidup ini pernah mendapat anugerah panjenengan (Anda) dalam hidup kami.
Yesus, optio fundamentalis panjenengan memang bena. Dialah jalan kebenaran dan hidup kita selama ini. Beristirahat dalam damai bersama Tuhan Yesus yang penjenengan cintai.
Jadilah pendoa dan sahabat setia bagi kami yang masih harus berjuang di dunia ini. Kami ingin meniru panjenengan menjalani hidup ini dalam optio fundamentalis Yesus kita.
RIP Mas Bambang. Dalam doa dan kenangan yang tak pernah henti.
A. Kunarwoko
Kelapa Gading, 1 Oktober 2018