DI sebuah pojokan di Kantor Redaksi Harian Kompas tahun 1997-an. Seorang kawan sesama penulis untuk Desk Internasional di harian ini tiba-tiba mengungkapkan kekagumannya dengan sosok imam diosesan Keuskupan Agung Semarang.
Tentu kekaguman Win –alumnus Mertoyudan tahun masuk 1977 ini— akan sosok imam praja KAS ini bukan karena penampilan sang pastor teman angkatannya itu. Melainkan ia kagum akan sesuatu hal yang waktu itu belum biasa dilakukan oleh para pastor katolik. Yakni kiprah imam tersebut di medan sosial masyarakat yang jauh dari panggung altar liturgi ekaristi dan pelayanan sakramental lainnya.
Dan Win langsung menyebut nama pastor tersebut: Itu adalah Romo Tuyet Pr.
Baca juga: In Memoriam Romo Y. Suyatno Hadiatmojo Pr, Senyum Mengembang Sebelum Masuk Kamar Operasi (1)
Aktif di FKUB DIY
Sudah lama sekali sejak tahun 1982 hingga tahun 1997 itu, saya tidak pernah mendengar kabar tentang sepak-terjang Romo Tuyet Pr yang bernama asli Yosep Suyatno Hadiatmojo Pr. Entah sejak kapan, nama panggilan “Tuyet” itu tiba-tiba melekat erat sebagai identitas baru namun ngetop untuk memanggil almarhum Romo Suyatno Hadiatmojo.
Yang pasti, Tuyet ini memang hitam legam. Namun kelegaman kulitnya sungguh tak membuat orang lain menyurutkan niatnya untuk bergaul akrab dengan almarhum.
Di tahun 1997 itu, almarhum Romo Tuyet sudah sangat aktif berkiprah di jalur komunitas lintas iman di Forum FKUB DIY. Ia banyak bersentuhan dengan para pemuka lintas agama dan bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Itu dia lakukan saat ia menjadi pastor di Gereja St. Albertus Agung – Paroki Jetis, Kota Yogyakarta.
Meski banyak berkiprah di panggung FKUB dan bergaul dengan banyak orang, Romo Tuyet rasanya jauh dari semangat ‘pamer diri’. Justru wartawan seperti teman saya Win itulah yang sangat ‘agresif’ ingin mencari dia dan berniat mau menulis tentang kiprahnya sebagai seorang imam katolik yang bergaul akrab di kalangan umum — jauh dari urusan ‘altar’.
Baca juga: RIP Romo Yosep Suyatno “Tuyet” Hadiatmojo Pr di Jakarta
Wedhus Gèmbèl Merapi
Kiprah Romo Tuyet yang jauh dari ‘altar’ dan kemudian ‘masuk pasar’ itu semakin mengkristal dalam dirinya ketika ia bergiat melakukan gerakan kemanusiaan bagi para korban bencana wedhus gèmbèl meletusnya uap panas Gunung Merapi. Bersama sejumlah penggiat gerakan kemanusiaan dari berbagai komunitas dan juga lintas agama, almarhum Romo Tuyet ikut berjibaku menolong para korban bencana alam amukan gunung berapi di perbatasan DIY-Kabupaten Magelang ini.
Sebenarnya, kiprah almarhum Romo Tuyet bergerak di ‘pasar’ itu sudah dia rintis jauh-jauh hari. Ketika terjadi gègèran Waduk Kedung Ombo kurun waktu tahun 1995 dan sesudahnya, almarhum Romo Tuyet Pr juga telah aktif ‘bergerilya’ membantu para penduduk lokal yang menjadi korban penggusuran massal karena permukiman mereka dialiri air dan kemudian ‘dikubur’ dalam–dalam di dasar waduk.
Romo Tuyet seakan ingin meneruskan karya kemanusiaan yang sudah lama dirintis oleh seniornya di Keuskupan Agung Semarang: mendiang Romo YB Mangunwijaya Pr, pastor praja KAS sekaligus arsitek kenamaan lulusan Aachen yang selalu mengutamakan harmoni alam dan bangunan di setiap karya arsitekturalnya.
Mengesan di hati banyak orang
Romo Tuyet jauh kurang terkenal di banding almarhum Romo Mangun. Namun tak berarti, karyanya di bidang komunikasi lintas iman dengan para pemuka agama dan masyarakat di FKUB tak meninggalkan bekas kesan yang mendalam di hati semua orang yang pernah mengenal dan bertemu dengannya.
Lily –aktivis GusDurian dari Kabupaten Batu di Jatim—pun berujar begini: “Saya sempat bertemu dengan almarhum Romo saat berlangsung Rakornas GusDurian tahun 2016 lalu di Yogyakarta,” terang ibu rumah tangga yang mendapatkan pendidikan di sekolah katolik asuhan para suster biarawati di Jatim.
“Bagi saya,” kata Lily saat bertandang ke Biara Rubiah Karmelites Batu Agustus tahun lalu itu, “Berkunjung ke biara susteran itu ibarat menjenguk ‘rumah kedua’ saya.”
Sekali waktu, almarhum Romo Tuyet mendapat tugas pastoral di Gereja St. Yohanes Rasul – Paroki Somohitan, Kabupaten Sleman, DIY. Di situ ia aktif memelihara bebek.
“Saya sempat bertemu almarhum di Gereja Somohitan saat Gunung Merapi meletus yang menyebabkan Mbak Maridjan meninggal dunia. Bersama Romo Bowo dari Klepu, Ponorogo di Jatim, saya ikut almarhum berkegiatan menanam cabe di kawasan Desa Turgo,” terang Romo Herman Pr dari Keuskupan Surabaya kepada Redaksi Sesawi.Net, Rabu petang tanggal 5 Juli 2017.
“Romo Yatno adalah ‘penjaga’ Merapi, guru dan pendamping masyarakat Merapi yang sejati. Romo Yatno dan Romo Bowo dari Ponorogo adalah dua teladan kesatuan imamat dan karya yang sulit mencari tandingannya. Mereka berdua adalah pendamping komunitas kami: Komunitas Lingkar Muda saat Tanggap Bencana Merapi 2010,” tulis Titik Susyana.
“Romo Yatno adalah peraih Ashoka Award untuk karya-karyanya di masyarakat Merapi. Perintis dialog lintas iman di Yogya lewat FKUB. Ia tidak segan turun ke jalan dan mendukung karya kemanusiaan dan perjuangan keadilan di Yogya,” tulisnya di sebuah grup WA.
Mengikuti kiprahnya
Vivi memang kenal intensif dengan almarhum Romo Tuyet ini. Itu karena kakak kandungnya Hartoni yang kini tinggal di Hamilton- Canada ini merupakan teman angkatan almarhum sejak tahun 1977 di Seminari Mertoyudan. Dengan begitu, maka Vivi pun ‘katut’ kenal dengan almarhum.
”Saya sempat bertemu almarhum romo hari Selasa pekan lalu dan dia minta dibelikan abon untuk lauk makan. Lalu, bertemu lagi tiga hari kemudian di hari Jumat. Saya sangat kehilangan,” tutur umat Paroki MBK Tomang, Jakarta Barat ini.
“Waktu saya bertemu dengan almarhum hari Selasa pukul 09.30 di Pasturan MBK Tomang, ia tampak sudah lemah dan suaranya pelan sekali. Ia mengatakan dirinya sudah terkena serangan jantung beberapa bulan lalu yang mengakibatkan suaranya hilang,” tulis Vivi.
“Almarhum Romo bercerita bagaimana kuat niatnya untuk bisa sembuh kembali sehingga dia juga bersemangat menjaga pola makan dan sudah berhenti merokok. Romo memang keliatan kurus dan saya mengingatkan agar jangan terlalu capai kalau berolahraga,” kenang Vivi.
Banyak orang, kata Vivi menirukan suara almarhum, yang selalu mendoakan kesembuhannya. “Terutama warga Posko Merapi yang sangat disayanginya. Ada yang berdoa rosario, tetapi juga banyak yang doa tahajud,” tambahnya.
Keinginannya agar sekali waktu program kegiatan lintas iman bisa masuk TV belum kesampaian. Terakhir Romo berkisah tentang program bazaar dan pasar murah yang setiap tahun di gelar oleh Posko Merapi setiap menjelang Lebaran.
Romo Tuyet ini terlihat begitu mencintai masyarakat di sekitar Lereng Merapi. Vivi sendiri mengaku mengikuti perjuangan almarhum dari membangun gedung ibadat, mengerjakan pipa saluran air, bazar dan pasar murah.
“Semua itu dilakukan dengan senang hati –bukan untuk pamer diri—melainkan demi tercapainya tercapainya damai dan sejahtera bagi umat yang berkekurangan.”