Home BERITA In Memoriam Sr. Maria “Mercyningsih” Merced SPC, Urungkan Niat Jadi Model dan...

In Memoriam Sr. Maria “Mercyningsih” Merced SPC, Urungkan Niat Jadi Model dan Masuk Biara

0
RIP Sr. Maria "Mercy" Merced SPC di Filipina, 3 Juni 2018.

JALAN panjang menjadi suster biarawati memang kadang berkelok-kelok dan tidak pernah ‘lurus’ memanjang menuju satu titik tujuan pasti. Inilah yang pernah dilakoni oleh almarhumah Sr. Maria “Mercyningsih” Merced SPC.

Ia meninggal dunia di “tanahairnya” di Filipina, hari Minggu tanggal 3 Juni 2018 lalu dalam usia 82 tahun, setelah lebih dari 37 tahun berkarya sebagai suster misionaris di Indonesia.

Jejak karya almarhumah  Suster Mercy SPC –demikian almarhumah biasa dipanggil dan dikenal akrab di Banjarmasin–  masih terekam kuat di benak banyak orang. Khususnya mereka yang  pernah berkarya  bersama di RS Suaka Insan Banjarmasin dan sebagai “Suster Mercyningsih” di Rumah Studi Susteran SPC di Sambisari, Kalasan, Yogyakarya.

Semua karya indah itu tentu saja takkan lekang oleh waktu oleh mereka yang mengenal almarhumah Suster Mercy SPC selama almarhumah berkarya di wilayah Keuskupan Banjarmasin selama hampir 34 tahun dan  kemudian “sebagai Sr. Mercyningsih”  selama tiga tahun di Yogyakarta (Keuskupan Agung Semarang).

Misa requiem mengenang dan mendoakan arwah Sr. Maria “Mercy” Merced SPC di Kapel Suster SPC Banjarmasin. (Ist)

Daftarkan diri menjadi model

Lahir tanggal 23 September 1936 sebagai anak perempuan dalam keluarga Filipina bernama Agusto Jose Sarte (ayah) dan Ny. Rosario Layson, Sr. Mercy SPC  menghabiskan masa kecil dan remajanya di  Polangui, Albay, Filipina.

Menjelang remaja, ia mengutarakan cita-citanya ingin menjadi model dan secara faktual juga pernah mendaftarkan diri ke agensi model setempat.

Namun,  perjalanan waktu telah ‘membelokkan’ niatnya semula: dari model menjadi suster biarawati.

Ia mengukuhkan niatnya itu dengan masuk biara Kongregasi Suster Santo Paulus dari Chartres (SPC).

  • Tanggal 28 Agustus 1966, Mercy remaja  resmi menjadi postulan calon novis suster SPC di Filipina.
  • 31 Mei 1966: Ia menerima busana biara pertama sebagai novis SPC di Filipina.
  • 31 Mei 1974: Ia diperkenankan mengucapkan Triprasetya Kekal sebagai Suster SPC di Filipina.
  • 17 Agustus 1976: Ia datang ke Indonesia sebagai misionaris dan kemudian berkarya di RS Suaka Insan Banjarmasin sebagai ahli gizi. Karya di bidang kesehatan ini ia jalani hampir selama 34 tahun, selain juga mengampu sebagai pimpinan komunitas Susteran SPC selama dua kali periode.
  • 29 Desember 1981: Ia memutuskan diri menjadi WNI. Ia menjadi sosok misionaris SPC asing pertama yang rela melepaskan kewarganegaraannya dan menjadi WNI.
  • 2010: Menjadi pemimpin komunitas Rumah Studi Susteran SPC di Sambisari, Kalasan, Yogyakarta.
  • Usai tugas di Yogyakarta, kesehatannya menurun dan memutuskan pulang ke Filipina.
Misa requiem.

Suster Mercyningsih

Sebagai suster biarawati yang berkarya di Banjarmasin, almarhumah Sr. Mercy SPC dikenal sangat lancar berbahasa Banjar. Ia tak ragu belanja di pasar-pasar tradisional untuk mencari bahan-bahan kebutuhan dapur untuk komunitas SPC dan RS Suaka Insan.

Dengan para pedagang lokal di beberapa pasar tradisional di Banjarmasin itulah, almarhumah Sr. Mercy SPC selalu menyapa mereka dengan ‘bahasa ibu’ mereka: bahasa Banjar yang menjadi sarana komunikasi lokal di situ.

Itu di Banjarmasin. Kalau di Yogyakarta, ia lantas “mengubah” namanya menjadi “Sr. Mercyningsih” agar supaya lebih bisa nJawani. Jadi, etnisitas dan kultur aselinya dari Filipina dengan Tagalok sebagai bahasa ibu dan bahasa Inggris sebagai ‘bahasa nasional’, maka di Banjarmasin ia menjadi “orang Banjar” dan ketika di Yogyakarta ia ‘bermetamorfose’ lagi sebagai ‘orang Jawa”.

Kemampuan beradaptasi dengan budaya setempat –termasuk dengan semua nilai kearifan lokal—itulah “cirikhas” seorang Suster Maria “Mercyningsih” Merced SPC.  Semangat misionaris inilah yang kini ia warisi kepada para Suster SPC generasi berikutnya.

Tiada hari tanpa kerja dan doa

Sebagai seorang suster biarawati SPC, yang menonjol dari seorang “Sr. Mercyningsih SPC” adalah hidup doanya yang tiada putus.  Ingatan para suster SPC generasi berikutnya tentang sosok “Mercyningsih” tidak pernah hilang yakni kedisiplinan hidup kesehariannya sebagai seorang biarawati.

Mendoakan Sr. Maria Mercy Merced SPC.

Ia tak pernah lupa berdoa. Entah secara pribadi di kamar, di kapel, maupun secara bersama-sama dengan semua anggota komunitasnya.

Kedisiplinan diri itu juga merambah ke meja makan.

Sebagai pemimpin komunitas baik di Komunitas Susteran SPC di RS Suaka Insan Banjarmasin dan Komunitas Rumah Studi SPC di Kalasan – Yogyakarta, almarhumah Sr. Mercyningsih SPC amat-amat sadar akan tugas dan tanggungjawabnyas sebagai pemimpin. Ketika anggota komunitasnya datang terlambat makan bersama karena urusan eksternal, maka ia tak segan-segan menemani makan  para suster SPC yang menjadi anggota komunitasnya.

Sebagai seorang suster pekerja keras, jejak langkah almarhumah Sr. Mercyningsih SPC selalu diingat oleh para suster sesama anggota Kongregasi Suster Santo Paulus dari Chartres (SPC). Tiada waktu luang baginya untuk tidak ‘bekerja’.

Ketika yang lain menikmati –katakanlah—waktu senggang, maka waktu luang itu di tangan almarhumah Suster Mercyningsih SPC menjadi ‘waktu berharga’ untuk berkreasi, menciptakan sesuatu yang berguna.  Ia bisa saja mengambil gunting dan kertas-kertas bekas dan kemudian “menyulapnya” menjadi aneka bentuk hiasan kertas yang menarik.

Hal-hal itu dia kerjakan ketika tiba waktu luang.

Maka sudah barang tentu, di waktu jam-jam berkerja, kedisiplinannya menjadi semakin “menggigit” situasi. Ia melakukan semua pekerjaan profesional sebagai ahli gizi dan anggota komunitas susteran dengan hati riang gembira dan mempraktikkan semangat magis itu dengan sangat tuntas.

Itulah legacy dari seorang suster biarawati bernama Sr.  Maria “Mercyningsih” Merced SPC.

Tuhan telah ‘membelokkan” hidupnya dari bayang-bayang glamour-nya kehidupan seorang model ke jalan sunyi. Dan itulah yang telah dipilih almarhumah Suster Maria “Mercyningsih” Merced SPC sepanjang 37 tahun berkarya dan menyandang predikat sebagai suster biarawati SPC:  meniti jalan suci  di balik tembok biara demi Tuhan, Gereja, dan masyarakat.

Requiescat in pace et vivat ad aeternam.

PS: Diolah dari sumber arsip Kongregasi SPC Keuskupan Banjarmasin.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version