Home BERITA Injil Minggu Biasa XIV/C Luk15:1-32 Domba yang Sesat, Dirham yang Terselip, Anak...

Injil Minggu Biasa XIV/C Luk15:1-32 Domba yang Sesat, Dirham yang Terselip, Anak yang Hilang?

1
Ilustrasi: Perumpamaan tentang anak hilang. (Ist)

REKAN-rekan yang budiman,

Kali ini bacaan dari Injil Lukas memuat tiga perumpamaan, yakni domba yang tersesat (Luk 15:1-7), disusul dengan perumpamaan mata uang yang terselip (ayat 8-10) dan perumpamaan anak yang hilang (ayat 11-32).

Perumpamaan yang ketiga ini sudah pernah diuraikan dalam hubungan dengan Injil Minggu Prapaskah IV tahun C, tapi demi kelengkapan, akan ditampilkan kembali di sini.

Pemungut cukai dan pendosa

Ketiga perumpamaan di atas ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat yang kurang senang melihat Yesus membiarkan para pemungut cukai serta para pendosa datang ikut “mendengarkan dia” seperti disebutkan dalam ayat 1-3.

Maksudnya, membiarkan mereka mengikuti uraiannya mengenai ajaran Kitab Suci dan mulai menjadi muridnya. Memang, mendengarkan uraian Taurat bagi orang Yahudi bukanlah kegiatan yang bisa sebarangan diikuti. Mereka yang dianggap bukan termasuk orang baik-baik tidak diizinkan. Pemungut cukai dianggap tak pantas duduk mendengarkan ajaran Taurat.

Pemungut cukai dicap sebagai orang yang menjual bangsa sendiri dengan bekerja memungut pajak dari sesama orang Yahudi bagi penguasa Romawi.. Dosa mereka jauh lebih besar dari pada pelanggaran lain karena mereka terang-terangan ikut menindas umat Tuhan sendiri. Mereka dianggap berlaku seperti para penindas di Mesir dulu.

Mereka tak layak mendapat pengampunan, apalagi mendengarkan uraian Taurat. Itulah sebabnya dalam ayat 1 “para pemungut cukai” disebut secara khusus sebelum “orang-orang berdosa”. Tetapi Yesus membiarkan mereka datang mendengarkan pengajarannya.

Orang-orang yang merasa diri saleh tak habis mengerti, bahkan tersinggung dan menggerutu – “bersungut-sungut” – melihat kelakuan Yesus. Kelonggarannya mengotori kegiatan suci ini, menyalahi adat kebiasaan.

Para tokoh agama nanti akan bersetuju untuk menyingkirkan Yesus yang menjadi duri dalam daging bagi mereka. Kita tahu cerita selanjutnya.

Namun, bagaimana ingatan murid-murid generasi pertama mengenai cara Yesus menanggapi penilaian orang Farisi dan para ahli Taurat tadi? Apa yang disampaikan dalam ketiga perumpamaan itu?

Bersungut-sungut atau bergembira?

Tanggapan Yesus membuat orang berpikir. Ia mengajak orang yang tersinggung perasaannya tadi agar tidak terlalu bersikap kaku dan hanya melihat yang buruk-buruk saja.

Mari kita pakai akal sehat…. begini lho duduk perkaranya! Mari kita lihat sisi lain. Untuk itu ia mengajukan pertanyaan retorik pada awal kedua perumpamaan yang pertama, yakni, “Siapa di antara kamu yang [kehilangan milik yang berharga] dan tidak [berusaha menemukannya kembali] dan [setelah menemukan] bersukaria dan mengajak orang lain bergembira?”

Tentu saja tak ada yang tidak akan bertindak demikian. Kedua perumpamaan itu jelas-jelas ditujukan kepada orang-orang yang menggerutu tadi. Mereka dihimbau agar memakai akal sehat dan tidak membiarkan diri dikuasai perasaan kesalehan belaka.

Perumpamaan yang ketiga lebih dalam lagi. Semua orang yang mempunyai anak dan saudara yang malang tapi mau berusaha kembali didorong agar bersedia meninjau kembali penilaian yang mereka pegang.

Ketiga perumpamaan tadi menampilkan satu unsur yang sama, yakni kegembiraan mendapatkan kembali yang hilang, entah itu domba, mata uang, atau anak yang hilang. Kegembiraan ini kemudian dikabarkan kepada banyak orang. Pemilik domba memanggil para sahabat dan tetangganya dan mengajak mereka ikut bersukacita.

Begitu juga perempuan yang menemukan kembali mata uangnya yang hilang. Secara tak langsung hendak dikatakan, mereka yang diajak ikut bergembira ialah kaum Farisi dan para ahli Taurat yang “bersungut-sungut” melihat Yesus membiarkan pemungut cukai dan pendosa mendengarkannya.

Ayah anak yang kembali itu mengajak seisi rumah tangganya berpesta. Secara khusus ia mengajak anak sulung untuk ikut bergembira. Kita tidak tahu apa anak sulung dalam perumpamaan ketiga akan mau masuk rumah dan ikut berpesta.

 Kita tidak tahu persis apa orang-orang Farisi dan ahli Taurat mau mendengarkan Yesus. Tidak diceritakan lebih jauh. Hanya disodorkan sebagai bahan pertimbangan agar orang berkaca. Boleh jadi mereka malah makin mendongkol tapi tidak bisa menjawab karena mereka juga paham kekuatan warta ketiga perumpamaan tadi.

Mereka yang dicap buruk, pendosa dan tak pantas itu bisa berubah dan sudah mulai berada pada jalan yang benar. Di lain pihak, orang-orang yang menganggap mereka tak patut diajak bergaul itu malah semakin mengeraskan hati sendiri. Orang-orang itu seperti si anak sulung yang tidak dapat melihat alasan kegembiraan ayahnya. Ia menutup diri. Menjauhi kegembiraan. Terus-terusan murung. Menyedihkan.

Dari zaman gereja awal

Ketiga perumpamaan dalam Luk 15:1-32 mencerminkan dinamika dalam gereja awal. Para pengikut Yesus sering dipandang oleh orang Yahudi sebagai orang yang kurang taat pada ajaran agama turun-temurun. Maklum generasi pertama dan kedua umat kristen belum amat membedakan diri dengan umat Yahudi.

Banyak orang dari kalangan ini merasa dijauhi orang-orang yang tadinya tidak memusuhi mereka. Sanak saudara, teman sekerja, lingkungan kini agak mengasingkan mereka. Keadaan ini mulai dirasakan di kalangan orang Yahudi yang kemudian menjadi pengikut para murid Yesus.

Mereka tentu saja merasa terintimidasi dan bertanya-tanya apa sepadan menanggungnya. Mereka bertanya apa mereka itu sungguh “sesat” seperti anggapan sanak saudara dan kawan-kawan mereka.

Injil Matius menjawab persoalan ini dengan perumpamaan domba yang hilang dalam Mat 18:12-14. Di situ ditegaskan bahwa Bapa tetap menyayangi mereka. Taruh kata mereka tersesat, mereka akan dicari sampai ketemu. Dalam Injil Matius perumpamaan itu ditujukan bagi orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus.

Perumpamaan yang sama diolah Lukas bagi kelompok yang berbeda. Komunitas Lukas terdiri dari orang asal Yahudi dan bukan Yahudi. Golongan kedua ini makin bertambah besar dan melebihi yang pertama. Namun, kebiasaan-kebiasaan kerap kali masih digariskan oleh orang dari kalangan Yahudi. Bahkan mereka sering memandang orang lain dengan sikap curiga dan merendahkan.

 Mereka menganggap orang baru seperti murid yang tidak utuh komitmennya. Orang-orang baru ini dianggap “pemungut cukai” dan pendosa yang sebenarnya tak patut mendekat ke ajaran yang benar. Ditolerir, tapi tidak sungguh diterima. Tentu murid-murid asal luar itu merasa dianggap orang kelas dua, dicap tidak sepenuhnya mau menjadi murid dan masih tetap “kapir”.

Ketiga perumpamaan dalam Luk 15 itu disampaikan untuk menghibur mereka. Tuhan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa mereka terpojok dan dipojokkan oleh saudara-saudara mereka sendiri. Penilaian seperti itu bahkan sudah dikenakan kepada Yesus sendiri. Ia dianggap mengotori diri bergaul dengan pendosa dan dengan para pemungut cukai sekalipun.

Dalam konteks seperti inilah orang-orang yang memandang rendah saudara-saudara seiman itu digambarkan sebagai “kaum Farisi dan para ahli Taurat” dalam Luk 15:1-3. Sekalipun demikian mereka tidak dikecam, melainkan diajak agar melihat persoalannya, diajak bernalar.

Seratus ekor domba, sepuluh dirham minus satu?

Apa tak berlebihan dikatakan dalam perumpamaan ini pemilik domba meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor saja yang tersesat?

Untuk memahami gaya bicara ini baik diingat bahwa perumpamaan ini mulai dengan menyebutkan pemilik domba yang memiliki “seratus” ekor domba. Seratus itu kelipatan sepuluh, angka yang melambangkan keutuhan. Keutuhan dalam arti ukuran yang penuh, tak mungkin bertambah lagi.

Memiliki “seratus” ekor domba berarti mempunyai kekayaan yang serba melimpah dan tak perlu ditambah lagi. Juga dalam perumpamaan kedua, “sepuluh” dirham berarti juga jumlah yang utuh, milik yang sebesar-besarnya yang dapat dipunyai. Tetapi kalau kurang satu saja maka tidak utuh lagi. Juga kehilangan satu dari seratus domba berati kekayaannya menjadi tak utuh lagi.

Ada kekurangan yang mengusik. Maka jelas mengapa pemilik domba dan perempuan yang kehilangan satu saja dari miliknya itu berusaha keras untuk menemukan yang bakal membuat milik mereka utuh. Dan bila terjadi, pemilik domba atau perempuan itu bisa bergembira dan mengajak orang lain ikut bersukacita.

Mana unsur yang menonjol?

Bila dipandang secara menyeluruh, yang paling menonjol bukan perihal kehilangan, bukan pula kegembiraannya, melainkan usaha mencari yang bakal membuat milik utuh kembali. Baru bila berhasil, kegembiraan dapat dinikmati. Jadi usaha menemukan itulah yang hendak disampaikan dalam perumpamaan tentang domba yang hilang dan dirham yang terselip itu.

Hendak digambarkan betapa besar perhatian Tuhan. Ia belum puas bila masih ada sebagian kecil umat manusia yang belum mengenal-Nya, serasa masih ada satu ekor domba yang sesat, masih ada dirham yang terselip, dan dalam perumpamaan ketiga, sang anak bungsu masih menderita hidup serba kekurangan di luar.

Tidak mengherankan bila dikatakan pemilik domba itu “meninggalkan yang sembilan puluh sembilan” untuk mencari seekor yang hilang. Tak perlu ditafsirkan sebagai melalaikan jumlah yang besar tadi atau kurang beperhatian kepada anak sulung. Justru maksudnya untuk membuat jumlah yang besar tadi menjadi utuh, membuat anak sulung ikut menikmati keutuhan milik ayahnya. Baru bila berhasil, kegembiraan bisa diperoleh.

Spiritualitas kerasulan?

Bila ketiga perumpamaan itu menggambarkan perhatian terhadap kemanusiaan, bisakah dikatakan bahwa Dia yang Yang Mahakuasa belum merasa lega dan dapat bersukacita sebelum miliknya utuh? Belum bisa betul-betul masuk dalam hari ketujuh dan memberkati seluruh ciptaan (bdk. Kej 2:1-2)?

Bagaimana ikut memungkinkan Dia memperoleh ketenangan-Nya?

Tentu saja jawaban bisa bermacam-macam. Kita yang terlibat dalam pewartaan di bidang pastoral akan merasa terdorong berusaha makin memperkenalkan kerahiman Tuhan. Bagi yang bergerak di bidang pendidikan tentu akan melihat dalam perspektif kerasulan mereka. Yang bergiat dalam kerasulan sosial, perumpamaan-perumpamaan ini akan memberi dorongan lebih lanjut bagi pemihakan pada kaum miskin. Bagi siapa saja dalam kerasulan apa saja, ketiga perumpamaan itu akan membantu menjernihkan motivasi dan tujuan kerasulan sendiri.

Bagaimana penalarannya? Singkat saja. Bila dilacak lewat perumpamaan ini, tujuan kegiatan pastoral, kerasulan pendidikan, kerasulan sosial bukanlah terutama domba yang hilang, bukan dirham yang terselip, bukan anak yang hilang, melainkan kebahagiaan Tuhan sendiri.

Dia-lah yang menjadi motivasi utama. Jadi bukan sekian banyak pertobatan yang bisa dipersembahkan kepadanya, bukan sekian dana yang bisa ditambahkan, bukan pula jumlah orang yang bisa dientas dari kemiskinan dan dibela hak-haknya, melainkan apakah Dia makin dimuliakan.

Apa Dia itu kini betul-betul bisa dikatakan sebagai Tuhan yang bisa melihat ciptaan-Nya dengan lega karena merasa telah menyelesaikan – mengutuhkan karya ciptaan-Nya? Atau Ia masih gundah kendati kita bawa ke hadapannya barang-barang persembahan yang besar-besar tapi tidak membuat-Nya betul-betul merasa milik-Nya makin utuh?

Perumpaman  “si anak hilang”: pahala dan hukuman?

Perumpamaan tentang si anak hilang dalam Luk 15:11-32 sudah banyak dikenal. Gagasan pokoknya ialah kebaikan Tuhan tertuju bagi siapa saja, dan khususnya bagi pendosa yang mau mendekat kepada-Nya.

Perumpamaan ini diceritakan guna menanggapi gerundelan kaum Farisi dan Ahli Kitab ketika melihat Yesus, sang guru yang terhormat itu, suka bergaul dengan para pemungut pajak dan pendosa lainnya (Luk 15:1-3).

Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak lelaki. Yang bungsu meminta bagian warisannya sebagai bekal hidup di perantauan. Di negeri orang ia hanya berfoya-foya dan ketika ada kelaparan di sana ia jatuh melarat dan terpaksa hidup sebagai budak. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya dan mau menjadi budak di situ. Ketika melihat anaknya dari kejauhan, sang ayah tergopoh-gopoh menjemputnya.

Disuruhnya orang-orangnya memberi sang anak jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu. Ini semua tanda ia diakui kembali sebagai anak, bukan diterima sebagai budak yang tak mengenakan hal-hal itu. Kedatangannya kembali juga dipestakan.

Sementara itu anak yang sulung pulang dari ladang dan mendengar hal ihwal pesta itu. Ia tidak puas dan tak mau masuk ke rumah ikut pesta. Tetapi ayahnya keluar membujuknya. Anak sulung itu mengutarakan alasannya mengapa ia tak suka.

Bertahun-tahun ia bekerja tanpa melanggar perintah tapi tak satu kali pun mendapat kesempatan bersuka ria dengan teman-temannya. Dan kini, bagi anak pemboros dan tak berbakti itu ada pesta besar! Ayahnya membujuknya, anak sulung itu toh selalu ada bersamanya dan semua miliknya juga kepunyaannya.

Perumpamaan ini diceritakan bukan untuk membuat orang bertobat seperti si anak hilang, atau agar kita tidak bersikap iri seperti si anak sulung. Perumpamaan ini mengajak berpikir mengenai hal-hal yang lebih dalam, bukan mengenai hal-hal yang bisa dikenakan begitu saja ke dunia sekitar, bukan pula untuk dituduhkan diam-diam dalam hati sekalipun.

Wajah baru bagi motif klasik

Kisah saudara tua yang dengki akan kemujuran adiknya bukan hal yang baru bagi pendengar Kitab Suci pada zaman itu. Ada kisah Kain dan Abel, kisah Esau anak sulung Israel dan Yakub adiknya, ada kisah Yusuf dan saudara-saudara tuanya. Saudara tua umumnya ditampilkan sebagai tokoh konyol sedangkan yang muda tokoh yang beruntung.

Perumpamaan anak hilang ini memang memakai motif kisah yang sudah dikenal itu. Tetapi arah kisahnya berbeda dengan yang biasa dikenal.

Walaupun akhirnya anak yang bungsu mujur, anak yang sulung tidak kehilangan haknya seperti halnya Kain, Esau atau saudara-saudara tua Yusuf. Kehadiran kembali yang bungsu tidak menggeser yang sulung.

Mengapa begitu? Karena sang ayah tidak membeda-bedakan kedua anaknya itu kendati perasaan anaknya yang sulung lain. Juga si bungsu yang kembali itu sebenarnya merasa sudah tak pantas menjadi anak lagi dan malah minta diperlakukan sebagai budak saja. Tapi persepsi masing-masing mereka ini akan diluruskan.

Marilah kita dekati.

Teologi “hukuman dan pahala”?

Biasa orang bernalar, bila ada kesalahan, maka layak diberikan hukuman. Begiotu pula, kebaikan mestinya mendatangkan pahala. Tanpa kita sadari gagasan ini sering mendasari cara memandang kejadian-kejadian dan melandasi penilaian terhadap orang lain.

Perumpamaan ini disampaikan untuk menyorotinya.

Apa kesalahan atau dosa si anak bungsu di mata abangnya dan di mata si bungsu itu sendiri? Ia dianggap bersalah karena tidak berlaku sebagai anak yang baik yang tinggal di tempat ayahnya untuk membantu mengerjakan ladang dan nanti meneruskan pekerjaaan sang ayah.

Si bungsi pergi menuruti keinginannya sendiri. Ia jadi anak yang tak berbakti, lain daripada anak yang sulung. Lalu apa yang terjadi terhadap anak yang tak berbakti?

Terhukum? Anak bungsu tadi memang mengalami nasib malang. Ini akibat kesalahannya?

Pendengar atau pembaca akan tergoda melihat kelakuannya berfoya-foya di luar negeri sebagai penyebab kemelaratannya. Juga kelakuan tak berbakti kepada ayahnya kiranya telah membuatnya terhukum.

Namun, sebenarnya kemalangan si anak bungsu ditampilkan bukan sebagai hukuman dari atas, bukan pula konsekuensi keteledoran sendiri, melainkan akibat keadaan yang tak bisa dikontrol, yakni bencana kelaparan (ayat 14).

Pencerita ulung seperti Lukas sengaja menampilkan hal penting seolah-olah sebagai unsur tambahan. Pembaca dibiarkan terkecoh oleh pikiran-pikirannya sendiri, tapi nanti akan dituntunnya kembali.

Bagaimana dengan abangnya? Ia tipe anak yang baik, yang bekerja terus, setia tinggal di tempat. Orang seperti ini dalam gagasan orang banyak tentu mendapat pahala.

Sekali lagi orang tergoda menganggap keberuntungannya sebagai pahala dan si anak sulung itu sendiri memang berpikir dalam ukuran-ukuran itu. Ia mengeluh bahwa tak pernah mendapat kesempatan bersenang-senang walaupun bertahun-tahun melayani dan tak pernah melanggar perintah (ayat 29).

Dan ketika si bungsu yang kembali itu dipestakan dan diberi sepatu, cincin, dan jubah kebesaran segala, wah, ini pahala atas dasar perbuatan apa? Kan anak itu pemboros dan tak bertanggungjawab, bejat akhlak. Mestinya ia kena hukuman! Perumpamaan ini mengusik benak orang yang berpikir dalam perspektif teologi “hukuman dan pahala” seperti itu.

Si bungsu dan kegembiraan sang ayah

Ketika memutuskan untuk pulang, anak bungsu yang terlunta-lunta itu sebenarnya sudah siap bila nanti diperlakukan sebagai budak. Ia memang sudah kehilangan hak sebagai anak (ayat 19). Tapi apa yang terjadi? Ketika melihat dari jauh anaknya ini datang kembali, sang ayah lari bersicekat menyongsongnya. Bahkan sebelum anak itu sempat mengucap minta ampun, sang ayah sudah memeluk dan menciumnya (ayat 20).

Dua hal ini tidak biasa. Masakan seorang tua yang terhormat seperti sang ayah itu berlari-lari? Paling banter mestinya cuma mengirim orang suruhan untuk menjemput. Masakan ia juga tidak membiarkan dulu anak itu mengutarakan rasa sesalnya terlebih dahulu (ayat 21)?

Pembaca atau pendengar perumpamaan ini akan terhenyak dan berpikir. Dan di sinilah terletak warta perumpamaan itu. Kita diajak menyadari bahwa Tuhan yang diperkenalkan Yesus dengan perumpamaan ini bertindak seperti sang ayah yang pengampun dan pemurah itu.

Teologi “pendosa mesti dihukum” dan “orang baik mesti diberi pahala” tidak memadai sama sekali untuk memperkenalkan Tuhan. Walau besar daya tariknya, teologi seperti itu tidak klop. Hanya akan membuat orang merasa terus-terusan menyesal seperti si bungsu, atau kesal melulu seperti si sulung.

Perasaan tersinggung orang-orang Farisi dan Ahli Kitab (ayat 1-3) didasarkan pada etos teologi yang disorot tajam tadi. Yesus sang utusan Tuhan bergaul dengan orang-orang yang tersisih dan dicap pendosa karena ia mau menghadirkan Tuhan sebagai ayah yang baik, bukan Tuhan yang baru mau mengampuni setelah menghukum sampai orang kapok.

Tapi gambaran ini membuat orang baik-baik tidak tenteram lagi. Mereka tersengat melihat Yesus guru terhormat itu bergaul dengan para pemungut pajak.

Kaum baik-baik itu memang menjadi bahan pembicaraan orang. Lho nyatanya ada seorang guru terkenal yang tak menjauhi pendosa yang akrab dengan kami-kami ini, tidak seperti orang-orang yang mencibirkan kami itu.

Sang ayah dan anak sulungnya

Anak sulung itu marah dan tidak bersedia masuk ke dalam rumah ikut berpesta. Lalu apa yang terjadi? Ayahnya keluar menemuinya dan membujuknya (ayat 28). Ia bersikap sama seperti terhadap anak yang kembali tadi. Ayah itu pergi menemui yang membutuhkannya dan tidak diam menunggu di dalam rumah.

Namun demikian si anak sulung tetap kurang senang dan mengutarakan kekesalannya. Ia merujuk adiknya bukan dengan kata “adikku itu”, melainkan dengan “anakmu itu” (ayat 30 “ho huios sou” – nadanya sinis, dan mungkin ketus, lebih daripada terjemahan idiomatik Indonesia “anak bapak”).

Menarik, dalam perumpamaan ini si anak sulung ini hanya tampil di luar rumah. Tidak pernah ia disebut ada di dalam rumah.

Anak bungsu yang kembali tadilah yang bergerak dari luar ke dalam. Dan ayah mereka keluar masuk rumah untuk membawa masuk mereka! Lalu siapa yang sebenarnya menjadi anak yang sungguh? Bukankah ia yang ada di dalam rumah?

Tetapi ayahnya tidak menegur anak sulungnya. Ia membujuknya dengan sabar “Nak!” (ayat 31) dan kemudian meyakinkannya bahwa anak sulung itu selalu bersama dengannya dan seluruh hartanya itu juga miliknya.

Dengan demikian keberatan anak sulung itu tak lagi beralasan. Tapi ada satu hal lagi yang ingin ditambahkan. Ayah itu barusan ketambahan harta baru yang khusus, yakni “adikmu” (ayat 32 “ho adelphos sou”) yang tadi mati – putus haknya sebagai anak – kini hidup kembali dan mau menjadi anak lagi, yang hilang dahulu kini kembali.

Dengan memakai kata “adikmu” itu sang ayah sebenarnya ingin mengajak anak sulung itu berbagi harta baru, yakni kegembiraan menemukan kekayaan baru ini! Sang ayah ini tokoh yang secara lahir batin merdeka sepenuhnya. Ia tidak marah, ia tidak tersinggung, ia tidak menuntut. Tetapi ia memberi, mengajak dan bisa berbagi kegembiraan.

Kisah anak sulung ini sebenarnya bukan untuk menunjukkan betapa sempitnya pandangan hidupnya. Maka tak perlu dipakai menuduh-nuduh diri kita sendiri atau orang di sekitar kita. Yesus juga tidak memakainya untuk membuat karikatur orang Farisi dan Ahli Kitab.

Ia mau mengajak mereka bernalar. Gambaran itu dipakai untuk menonjolkan perhatian sang ayah.. Mengenal tokoh ini membuat orang bisa makin memikirkan kebesaran hati Tuhan..

Riwayat anak bungsu dan anak sulung tadi juga menggambarkan kebesaran Tuhan. Ia mencintai si bungsu yang “pendosa” dan mengasihi si sulung yang “orang yang kaku hati” itu. Dia bukannya duduk mengadili atau menghukum.

Ia itu Tuhan yang “tergopoh-gopoh” mendatangi orang yang remuk hatinya. Tidak tahan Ia mendengar orang seperti itu menuturkan penyesalannya. Dapat dipahaminya pula kenapa orang marah melihat Dia memperlakukan pendosa sedemikian baik.

Dia tidak balik mencela. Malah Ia berusaha bernalar dengan orang yang kurang puas itu. Lihat, kita mestinya gembira, kan mendapat harta tambahan, dan tambahan ini pemberianku bagimu – pahala yang kauinginkan sejak lama itu.

Salam hangat, A. Gianto

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version