Catatan penerjemah
Artikel ini hasil wawancara jurnalis Harian Trouw dengan seorang Pastor dan Guru Besar Gereja Ortodoks Rusia asal Ukraina dalam pengasingan.
Juga dari hasil wawancara dengan seorang ahli di Austria yang pernah meneliti hubungan Gereja dan negara di Rusia sehingga bisa membantu kita melihat secara lebih ‘global’ apa yang telah menjadi latar belakang dan maksud tujuan invasi Rusia sehingga meletup perang di Ukraina.
Semoga gagal.
Marije van Beek, Trouw, 6 Maret 2022
Selama lebih dari 20 tahun, Gereja Ortodoks Rusia dan Kremlin saling berhubungan erat dan semakin erat. Kondisi itu telah membantu Presiden Vladimir Putin dan Kepala Gereja Ortodoks Rusia Patriark Kirill membawa kemajuan, tetapi juga telah memicu perang.
Patriark Kirill pernah menyebut Pemerintahan Putin sebagai “keajaiban Tuhan”. Ia memilih bersikap tetap diam; bahkan setelah benar-benar terjadi invasi militer Rusia yang masuk ke wilayah negara Ukraina.
Bagaimana pun Minggu lalu, dia bahkan sampai menyebut lawan Putin itu sebagai “kekuatan jahat”.
Mereka yang telah mendengar baik-baik kata-kata Gereja dan Putin Ortodoks bisa melihat bahwa perang ini akan menjadi kenyataan.
Demikian kata rohaniwan Gereja Ortodoks Rusia Cyril Hovorun, profesor eklesiologi dan ekumenisme di Universitas Stockholm, Swedia.
Lahir di Ukraina, Prof Cyril Hovorun kini hidup di pengasingan: Swedia. Ia pernah bekerja sebagai rohaniwan senior di Gereja Ortodoks Rudia dan memerankan diri sebagai sosok penasihat bagi Patriark Kirill.
“Di tengah tembok-tembok Gereja, saya melihat bagaimana narasi religius dan nasionalistis telah disatukan.”
Bahasa berbahaya
Sejak awal, kata Prof Hovorun kepada Harian Trouw terbitan di Negeri Belanda, dirinya sungguh merasa tidak sreg dengan narasi yang telah direkayasa di atas.
“Saya tahu –dan juga punya firasat– bahwa itu adalah bahasa kisah yang sangat berbahaya dan sekali waktu juga akan membawa bencana.
Saya telahmencoba memperingatkan. Saya telah menulis dan berbicara. Selama bertahun-tahun bel alarm itu juga telah dibunyikan tanpa henti.
Saya bukan satu-satunya; masih ada beberapa orang yang juga setuju dengan (pendapat) saya. Tapi mereka itu tidak mau angkat bicara.”
Prof Hovorun mengaku sangat mengenal Patriark Kirill secara pribadi dan sekali waktu pernah berbicara kepadanya tentang hal itu pada saat itu.
“Tapi, rupanya omongan peringatan saya tidak terlalu ngefek berpengaruh. Saya harus menarik diri. Sekarang ini, kita melihat konsekuensi bencana.”
Sudah berubah menjadi aksi nyata: invasi
Kata-kata berbahaya itu kini telah berubah menjadi tindakan berdarah. Hovorun telah dipaksa pergi meninggalkan Rusia tahun 2012 silam.
Meski demikian, ia secara formal masih berafiliasi dengan Gereja Ortodoks Rusia. Juga tetap aktif mencoba untuk menggerakkan aksi perlawanan “dari dalam”.
Sejak Rabu lalu, sebuah surat terbuka telah dia edarkan dan menjadi viral di mana-mana. Isi pesannya sangat jelas: gerakan massal untuk menentang perang.
Sejak menjadi viral, surat berisi ajakan menetang perang itu telah ditandatangani oleh 233 rohaniwan Gereja Katolik Ortodoks Rusia.
Tapi, surat edaran itu sendiri tidak ditulis oleh Hovorun. “Saya tetap mendukung pesannya, tetapi saya pikir bahasa petisi itu terlalu lemah.”
Rusia tidak berhenti di mana-mana
Dari periode ketiga Pemerintahan Presiden Vladimur Putin yang dimulai sejak tahun 2012, Kremlin dan Gereja Katolik Ortodoks Rusia telah mulai akftif menyebarkan kisah “Rusia Suci” dan “Russkii mir” atau “Dunia Rusia”.
Demikian kata Hovorun.
“Konsep-konsep tersebut mendukung dorongan ekspansionis Rusia dan memberi Kremlin kosakata untuk membuat orang berbangga hati dengan negara mereka.
Cara kerjanya ditunjukkan dengan jelas pada suatu momen yang jelas-jelas direkayasa, ketika Putin, misalnya, sekali waktu malah bertanya kepada seorang anak: “Menurut kamu, di mana Rusia mesti berhenti?”
Namun, Putin sendirilah yang akhirnya malah memberikan jawabannya: “Rusia tidak berhenti di mana-mana.”
Adalah kepemimpinan Gereja yang telah menyusun dan menuliskan ideologi macam itu untuk Putin. Demikian kata Hovorun.
“Mereka menjadikannya sebagai narasi Barat versus Timur. Mereka juga telah memakai ide-ide Samuel Huntington tentang benturan peradaban. Mereka berkata: kami ini lebih baik dari Barat, karena fondasi kami adalah agama dan spiritualitas.”
Pola pikir ‘kami-mereka’
Pola pikir simpelnya adalah konsep ‘kami-mereka’. Dan kampanye narasi macam itu sungguh berhasil di jaringan TV Rusia.
Demikian kata Hovorun.
“Kami orang Rusia, kami ini religius dan istimewa. Juga tidak menyukai ‘mereka’. Dan “mereka” itu adalah Dunia Barat, NATO, dan terutama Ukraina – (karena) mereka tidak bertuhan dan sekuler.
Ini semacam populisme agama yang sebenarnya sangat mirip dengan pemikiran ISIS dan Al Qaeda. Kami memiliki satu-satunya agama yang benar. Dan semua yang lain mewakili kejahatan.”
Menurut Prof. Hovorun, narasi macam itu sungguh memompa kepercayaan diri Rusia.
“Tapi itu akhirnya meledak saat ini; sampai mereka lalu menaklukkan wilayah-wilayah di sekitar mereka. Delapan tahun lalu, hal itu sudah dimulai dengan pencaplokan Crimea dan sekarang maunya mencaplok seluruh wilayah Ukraina.”
Seorang akademisi yang telah menerbitkan tulisan-tulisan tentang perkembangan ini adalah sosiolog Kristina Stoeckl dari Universitas Innsbruck, Austria.
Ia mengkhususkan diri dalam studi tentang hubungan antara Gereja dan negara di Rusia.
“Pola pikir ‘kami-mereka’ itu telah digunakan untuk membenarkan perang di Donbas pada tahun 2014 – seolah-olah itu adalah pertempuran antara Timur Ortodoks dan Eropa yang suka LGBT, termasuk Ukraina Barat dengan Gereja Katolik.”
Perang agama
Tapi, hal itu belum menjadi kebijakan resmi. Demikian kata Stoeckl.
“Tapi bagi kalangan radikal, sayap kanan di Gereja, ini sudah menjadi perang agama antara Gereja Ortodoks melawan Barat. Terkadang, saya menemukan tulisan, misalnya, di sebuah biara tempat saya melakukan kunjungan kerja tahun 2015, yang menyatakan bahwa Ukraina sebenarnya adalah bagian dari Rusia. Tapi ini terdengar seperti suara pinggiran dan Patriark Kirill tidak pernah mengatakan hal itu sendiri.”
Sampai pidato Putin pekan lalu – di situ dia sendiri telah menjadi bentara ide-ide ini.
Stoeckl: “Setelah ini, saya sungguh berani mengatakan: Putin telah menggunakan agama sebagai senjata.”
Putin mengatakan antara lain, bahwa Ukraina bukanlah negara yang terpisah. Demikian kata Prof. Hovorun.
“Mitos itu berasal dari abad XIX dan datang sebagai karya sejarawan Nikolai Karamzin yang melihat Ukraina sebagai bagian intrinsik dari Rusia.
Idenya adalah bahwa mereka merupakan kesatuan spiritual. Dibuat suatu analogi dengan Trinitas Ilahi, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Dengan cara yang sama: Rusia, Ukraina, dan Belarusia adalah ‘trinitas’, kata mereka.
Dalam bahasa Rusia bunyinya “Trian God‘ dan “Trian Rus“.
Itu adalah pemikiran imperialis yang berasal dari masa perkembangan Kekaisaran Rusia, yang memakai pembenaran teologis.
Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Ottoman pernah bekerja dengan cara yang sama.
Putin memunculkan ide-ide lama ini pekan lalu. Dan dia bahkan tidak repot-repot memodernisasinya.” (Berlanjut)