ISTILAH “panggilan” sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti panggilan masuk di handphone, panggilan alam, dan kali ini yang ingin kita gali adalah “panggilan Tuhan”. Istilah ini sering terdengar dan secara umum merujuk pada cara-cara misterius Tuhan dalam menggerakkan seseorang untuk menjalani hidup seturut kehendak-Nya.
Namun, apa sebenarnya makna yang terkandung di dalamnya?
Mencermati istilah “panggilan”
Dalam dimensi antropologis, istilah dan pengalaman “panggilan” memiliki dinamika yang menarik untuk dicermati. “Panggilan” adalah fenomena yang memiliki kaitan erat dengan pengalaman akan “nama dan relasi” sebagai seorang pribadi. Setiap dari kita tentunya memiliki atau menerima nama panggilan.
Menariknya, terlepas dari nama resmi kita, nama panggilan kita bervariasi tergantung pada konteks di mana kita berada: keluarga, circle pertemanan, komunitas profesional, dan lain-lain. Secara umum, semua konteks bisa dikategorikan ke dalam bagian formal atau informal. Namun fenomena ini sebenarnya sangatlah kompleks dan kaya akan makna.
Dalam sebuah relasi interpersonal, misalnya, bisa saja dialami sebuah panggilan yang bersifat khusus. Hanya berlaku pada orang tertentu yang spesial. Dan hanya bisa dimengerti dan dimaknai dalam kerangka relasi di antara orang-orang yang menggunakan nama panggilan tersebut.
Contohnya, seorang ayah yang memanggil anak perempuannya dengan sebutan “kakak” atau seorang suami yang memanggil isterinya dengan sebutan “mami”. Dalam circle pertemanan juga kerap kali diberikan nama panggilan tertentu untuk orang tertentu.
Nama panggilan
Panggilan dalam konteks ini biasanya dibuat dengan cara yang cukup inovatif, kreatif bahkan “aneh-aneh”, yang bisa saja mewakili karakter orang yang dirujuk atau pun pengalaman khusus di antara orang-orang yang berteman dengannya. Namun ketika orang yang tidak cukup dekat dengan kita, memanggil kita dengan nama “aneh” tersebut; sangatlah mungkin memicu kesan negatif.
Dalam konteks lainnya, seperti konteks akademik (pemberian gelar yang disematkan pada nama) atau konteks sosial (pemberian gelar-gelar tertentu bagi peran sosial tertentu seperti guru, ketua, pastor, dan lain-lain), semuanya mengafirmasi bahwa pengalaman akan “panggilan” memiliki landasan antropologis yang sarat dan kaya akan makna.
Pada dasarnya, “panggilan” merepresentasikan pengenalan akan identitas seseorang dalam kerangka relasinya dengan orang lain. Dari segi filosofis, memiliki dan diberi panggilan berarti meleburkan identitas subjektif dengan identitas objektif, mempertemukan pengenalan kita akan diri kita sendiri dengan pengenalan orang lain akan diri kita.
Identitas
Perspektif ini mengatakan kepada kita bahwa identitas diri merupakan proses dinamika dialogis dan dialektis antara diri sendiri dan realitas di sekitar kita. Identitas adalah hasil kolaborasi konstruktif dan destruktif dari definisi yang kita berikan untuk diri kita sendiri dan definisi-definisi yang diberikan kenyataan dari luar kepada diri kita.
“Aku” adalah hasil elaborasi kompleks dari pertemuan dengan “kamu”, “dia”, “Dia”, “kalian”, dan “kita”.
Hal-hal yang telah dijabarkan sebelumnya menjadi poin-poin penting dalam memahami makna teologis dari istilah “panggilan Tuhan”. Kisah-kisah dalam Kitab Suci kerap kali menyampaikan kepada kita pemberian nama “baru” kepada tokoh-tokoh tertentu dalam kerangka relasi interpersonal yang mereka alami dengan Tuhan dan sesama (konteks komunitas di mana mereka berada).
Abram menjadi Abraham; Sarai menjadi Sara (lih. Kej 17: 5), Yakub menjadi Israel (lih. Kej 35:10), Simon menjadi Kefas atau Petrus (lih. Yoh 1: 40-42), dan lain-lainnya bisa kita temukan dalam Kitab Suci.
Perubahan nama
Perubahan nama tokoh-tokoh ini bukan sekadar untuk menggarisbawahi aspek pertobatan atau pun perubahan dalam fase hidup yang mereka alami.
- Melainkan untuk menekankan bahwa berelasi dengan Tuhan bukanlah semata-mata tentang mengidentifikasi siapa itu Tuhan.
- Melainkan pertama-tama tentang mengenali siapa dirimu di mata Tuhan, bagaimana Dia mengenalimu dalam konteks keberadaanmu.
- Pada titik ini, kisah tentang Zakheus (lih. Luk 19: 1-10) menjadi menarik untuk kita dalami.
Penginjil Lukas mengawali kisah ini dengan memaparkan identitas Zakheus; kita diajak untuk mengidentifikasinya sebagai “kepala pemungut cukai”, “seorang yang kaya”, dan “badannya pendek”.
Namun menarik, ketika Yesus melihat ke arahnya dan memanggilnya dengan nama yang sesungguhnya, seakan-akan Yesus mengenyampingkan semua label yang disematkan kepadanya dan mengenali dia sebagai pribadi yang unik: Zakheus.
Pengenalan ini kemudian diikuti oleh keinginan yang kuat dari dalam diri Yesus untuk sebuah pertemuan yang lebih dalam lagi dengan orang ini: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Lih Luk 19, 5).
Rumah
Rumah adalah tempat di mana kita menjadi diri kita sendiri. Tuhan mengekspresikan hasratnya yang besar untuk bisa datang, masuk dan menginap ke rumah seseorang yang nota bene diidentifikasi oleh orang banyak sebagai orang berdosa (sekali lagi label lain disematkan kepadanya), dan untuk itu mereka bereaksi kontra dengan sikap Yesus itu.
Yesus tentu sadar akan konsekuensi dari pilihannya ini, begitu pun Ia kukuh menunjukkan determinasinya untuk bisa masuk ke kedalaman diri Zakheus.
Zakheus tidak menunjukkan sikap resistensi akan pengenalan negatif dari orang-orang akan dirinya, dia menerima kenyataan dirinya tersebut. Alih-alih jengkel akan komentar orang banyak, ia justru sangat berfokus pada perkataan dan inisiatif Yesus.
Hal ini membuatnya turun dari pohon dengan sukacita. Dan sepertinya pengenalan yang dimiliki Tuhan tentang dirinya, determinasi Tuhan untuk menumpang di rumahnya, inisiatif Tuhan untuk menjalin relasi yang lebih mendalam dengannya.
Semuanya itu mendorong Zakheus untuk berani mengambil keputusan yang sangat signifikan dalam hidupnya: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (lih. Luk 19, 8).
Sikap berani dan tulus dari Zakheus ini mendapat tempat spesial di hati Yesus, dan pada saat itu juga, sebelum pun Yesus tiba di rumah Zakheus (karena sebenarnya Ia sudah tiba di dalam “rumah hati” si pendek ini), Yesus mengenalinya dan mengidentifikasinya sebagai “anak Abraham”.
Sebuah nama baru disematkan di samping namanya: Zakheus anak Abraham. Ia menemukan dan mendapatkan “panggilan sayang” dari Tuhan sebagai anak Abraham. Sejak saat itu, lembaran kisah relasi antara Zakheus anak Abraham dengan Tuhan memulai bab yang baru.
Tuhan memanggil kita masing-masing dengan cara-cara yang unik dan memiliki tiap panggilan memiliki kaitan yang sangat erat dengan dinamika relasi hubungan interpersonal yang kita miliki dengan-Nya. Setiap panggilan adalah kisah tentang cinta Tuhan pada masing-masing kita dan respons kita terhadap cinta-Nya.
Bagaimana Tuhan memanggilmu?
terimakasih buat tulisannya pastor…
saya sudah membaca smua dan menambah wawasan pengetahuan sy 😀🙏
salam sehat 😇