TIBA-tiba mata saya tertarik pada foto di status WA. Empat orang suster FSGM Komunitas Pringsewu terlihat lagi masak dengan dua wajan besar di atas tungku.
Ditulisnya, “Membuat jahe instan untuk para isoman.”
Membuat jahe instan untuk para isolasi mandiri?
Gerakan yang bagus sekali, kataku dalam hati. Kuperhatikan lebih dalam lagi. Mereka memakai masker. Celemek. Ada yang duduk di atas dingklik (bangku kecil). Ada juga yang berdiri.
Lokasinya ada di kebun belakang susteran.
Penasaran
Status di WA itu menimbulkan segudang pertanyaan dalam benakku. Bagaimana pendistribusiannya?
Diantar ke rumah? Atau keluarga mereka yang datang ke susteran? Bagaimana ceritanya kok bisa muncul ide sebagus ini?
Saya mencoba menghubungi salah satu suster yang tinggal di Komunitas Pringsewu. Kerjasama dengan paroki, begitu jawabnya singkat.
Karena ingin tahu lebih banyak lagi, saya tak bisa diam begitu saja. Lalu tanya sana-sini. Mencari informasi. Cari konfirmasi.
Dan beginilah kisah ceritanya.
Tergerak belas kasihan
Menurut data yang masuk dari Ketua-ketua stasi, 25 Juni 2021, ada 107 umat Paroki Santo Yusuf Pringsewu di Lampung yang terpapar virus Covid-19.
- 17 orang tak dapat diselamatkan dan meninggal.
- 16 orang sembuh.
Data ini membuat Pastor Paroki Pringsewu, Romo Laurentius Pratomo Pr, putar otak. Hatinya tergerak oleh belas kasihan. Ia ingin berbuat sesuatu untuk umatnya yang dilanda susah, cemas, dan derita.

Kebutuhan sembako dan vitamin bagi para penderita Covid-19 sudah dapat dikatakan cukup. Itu dikirim dari Lingkungan dan Stasi.
Romo Pratomo Pr bersyukur untuk itu. Umatnya bergerak. Saling peduli dan membantu.
Mereka ini benar-benar memberi dari kekurangannya.
Baginya, paroki juga harus terlibat mau ambil bagian. Tetapi, apa yang dapat ia lakukan? Lalu, bentuknya seperti apa?
Romo Pratomo tak memiliki angan tinggi-tinggi. Yang penting, harus ada ungkapan peduli kasih. Nyata. Sederhana. Juga berdaya guna.
Proyek Roh Kudus
Pergulatan batinnya itu didengar oleh Tuhan. Tak disangka, secercah cahaya ia jumpai. Mengapa tidak membuat jahe instan? Bukankah itu berguna untuk menambah imun.
Romo Pratomo ingin melibatkan para suster FSGM untuk ambil bagian pula. Bekerjasama.
Kebetulan, pembuatan jahe instan ini sudah menjadi ‘proyek’ sehari-hari para suster FSGM.
Dengan ringan Romo Pratomo lalu melangkahkan kaki menuju biara pusat FSGM. Selempar batu jauhnya dari pastoran tempat kediamannya.
Ia langsung menemui Provinsial Kongregasi FSGM: Sr. M. Aquina.
Di ruang tamu. Suasana santai tapi serius. Romo kelahiran Metro bulan Agustus 1978 ini mengutarakan maksud baiknya itu.
Ia mengajak kerjasama antara paroki dengan para suster FSGM. Membuat jahe instan untuk para isolasi mandiri.
Gayung pun bersambut. Proyek “Roh Kudus” ini langsung disambut baik. “Kami senang. Semua akan kami siapkan,” ujar Sr. M. Aquina FSGM sambil tersenyum.
Atur strategi
Saat makan siang bersama, Sr. M. Aquina FGSM memberi informasi tentang rencana kerjasama pembuatan jahe instan untuk para isoman itu. Malamnya, para suster rapat.
Membentuk panitia kecil. Mengatur strategi kerja. Termasuk lokasi.
Urusan pengadaan jahe lalu diserahkan kepada Sr. M. Katarina FSGM.
Ia sudah terbiasa berjejaring dengan para petani. Maka dipesanlah jahe sebanyak satu kuintal.
Jahe satu kuintal itu dibagi tiga tempat: susteran, novisiat, dan asrama.
Di susteran, para suster muda dan medior membagi diri.
Ada yang mencuci. Membersihkan. Menggiling. Memeras. Memasak. Ketika memasak jahe, ditambah gula, sereh, kayumanis. Juga cengkeh.
Dengan ukuran masing-masing. Lokasi masak, di kebun belakang susteran.
Tak ketinggalan. Seluruh pasukan keluarga pastoran turut ambil bagian. Tiga orang frater. Tiga romo. Satu diakon.
“Lumayan untuk membersihkan jahe,” kata “kepala pasukan” Romo Pratomo Pr sambil tersenyum.
Di ruang rekreasi, para suster yang lanjut usia, mendapat tugas membungkus. Satu bungkus berisi satu kilogram jahe instan.
Tertera label, “Salam Sehat, Jahe Merah Instan. Paroki St. Yusuf dan susteran FSGM Pringsewu.”
Pembuatan jahe di novisiat di lakukan di luar jam belajar. Begitu pula para Aspiran (calon suster) yang tinggal di asrama. Mereka mengatur sendiri jadwal kerjanya.
Jahe sebanyak satu kuintal itu dikerjakan dalam tempo empat hari, 23-26 Juli 2021.
Proyek ‘Roh Kudus’ ini sengaja tidak melibatkan umat. Hanya keluarga pastoran dan susteran.
Semua bekerja dengan sukacita dan penuh semangat. Dari yang muda hingga yang tua. Baik pemimpin maupun anggota.
Selasa, 27 Juli 2021, kemasan jahe siap diedarkan bagi para isoman. Caranya, bekerjasama dengan para Ketua Stasi.
Tim doa
Selain program membuatan jahe instan, dibentuk juga tim doa untuk pendampingan.
Ada tiga tim. Setiap tim doa, terdiri satu romo, satu suster, dan dua umat awam.
Setiap malam pukul 19.00, tim doa ini mengontak umat yang terpapar Covid-19 dengan video call. Memberi semangat. Mendoakan. Menutupnya dengan berkat. Ini juga bekerjasama dengan ketua-ketua lingkungan.
Tempat isoman
Para suster FSGM juga sudah menyiapkan tempat untuk para isolasi mandiri. Letaknya di Mater Dei, Rumah Lampung. Satu tahun yang lalu, rumah ini sudah ditinjau oleh gugus tugas dan camat. Sudah di foto-foto dan diunggahkan di media sosial.
Para isoman ini di bawah tanggungjawab Ruma Retret La Verna. Untuk bagian medisnya, di bawah tanggungjawab RS Panti Secanti Lampung.
Secara khusus jadi tanggungjawab dr. Stepanus Agung Laksono. Mereka yang dirawat adalah yang positif, OTG, dan bergejala ringan. Yang tidak membutuhkan perawatan khusus.
Di tempat ini pula menjadi tempat isolasi bagi para suster FSGM yang terkena Covid-19 dan yang baru datang dari jauh.
Rumah sakit lapangan
Seperti yang dikatakan Bapa Suci Paus Fransiskus bahwa para imam dan religius adalah sekaligus ‘dokter, perawat, pelayan, tim laborat’ yang dimiliki Gereja.
Saat ini, Gereja memang harus menjadi “Rumah Sakit Lapangan” bagi para penyintas. Yang siap menerima siapa saja yang mau mencari kesembuhan.
Para penderita sakit adalah berkat bagi Gereja. Mereka tidak harus disingkirkan.
Sebaliknya, mereka harus dijaga dan dirawat dengan penuh kasih.
Kasih itu menyembuhkan. Kasih itu menambah imun.
Bagaikan sebungkus jahe merah, penambah imun, karena dibuat oleh paramedis Gereja dengan doa, kasih, dan sukacita.