Ibu tampak lebih tua. Garis-garis putih semakin banyak menghiasi mahkotanya. Kerutan-kerutan di kulitnya semakin tegas. Langkahnya juga tidak sekokoh dulu. Semut-semut tidak kasat mata pun berkoloni di setiap persendiannya. Membuatnya berlobang. Rapuh. Gejala osteoporosis. Tapi, ada yang tidak berubah dalam diri ibu. Pancaran matanya memperlihatkan sebuah ketegaran, keuletan, dan pengharapan tanpa batas. Tekadnya kuat. Kalau sudah melakukan pekerjaan, ia tidak mau berhenti meski rasa capek menggerayangi tubuhnya. Semua harus beres. Tanpa ada penundaan.
Selama 10 hari itu, ibu harus berbagi malam dengan dua rumah. Rumah kakak perempuanku di mana cucu pertamanya berada dan rumah ibu di mana aku tinggal. Kehadiran ibu membuat tugas-tugas domestikku cukup terbantu. Menyapu. Mengepel. Membersihkan gudang. Belanja ke pasar. Memasak. Menyirami suplir. Mencuci. Kalau ada jeda, ibu mengantar keponakan ke sekolah. Menyuapinya. Berbagi cerita. Memilin rosario. Mengunjungi kerabat. Menyambangi tetangga. Membaca buku. Tak ketinggalan, ibu memasak menu favoritku, yakni kering tempe.
Soal buku, tidak heran, ibuku pun doyan membaca. Di hari pertama kunjungannya ke Jakarta, ibu memintaku menyediakan buku. Di perpustakaan rumah, terserak banyak buku. Kusuguhkan 2 buku. Bukan buku filsafat. Bukan novel. Tapi, buku rohani, pemantik inspirasi. Kusodorkan dua buku kecil. Satu buku karangan Henri J.M. Nouwen berjudul “Buah Pengharapan” (Kanisius, 1998) dan “Girisonta: Dari Novisiat Menatap Taman Getsemani, Percikan Kisah Para Sahabat.” Buku pertama selesai ia baca. Buku kedua hanya ia sortir saja karena kumpulan kisah.
bersambung