OLEH karena dari awal, saya mau belajar pada sosok Romo Soetapanitra SJ dan Romo Anton Mulder SJ almarhum, maka proses pemuridan saya ini akan saya fokuskan pada sosok Romo Soetapanitra SJ.
Saat itu, beliau sudah berusia 75 tahun lebih.
Juga selalu dengan tampilan sehari-hari berjubah abu-abu, bersandal jepit kemana-mana dan tampil seperti ‘pesingsingan’ layaknya sosok pendekar sepuh di cerbung berjudul Nagasasra Sabuk Inten kaya SH Mintardja. Inilah bacaan buku ‘Silat Jawa’ tahun 1975-1990-an.
Beberapa hal yang saya bisa belajar akan pemuridan dari Romo Soetapanitra SJ.
Pertama, karena pencinta dan pengurus Senawangi kehormatan (organisasi pewayangan Indonesia nasional untuk pengembangan dan pewarisan ‘nilai kultural’ Nusantara dalam wayang, pusatnya di TMII Jakarta). Dengan kerja keras, salah satunya membuat wayang menjadi warisan tak benda (intangible) budaya dunia, maka diajaklah dan dikenalkanlah saya ke Senawangi pusat, hingga sampai sekarang masih kami lanjutkan.
Romo Soeta menghidupi inkulturasi liturgi misa dengan gendhing Jawa dan tiap acara penting diadakan nanggap wayang kulit di gereja.
Kreatif beliau dengan ‘sabda pandhita’ yang sakti, umat stasi-stasi yang berbakat dan memang punya orang-orang seni karawitan, mereka memiliki gamelan pengiring misa di wilayah stasi.
Saat saya di Paroki Wonogiri tahun 1983-1984 itu, maka di sana sudah ada empat atau lima stasi yang memiliki gamelan lengkap dengan penabuh dan orkestrasi tembang liturgi Jawa.
Untuk terus menghidupkan dan menyemarakkan daya hidup cinta budaya Jawa, maka dilombakanlah antarstasi itu dan pemenangnya bisa mengiringi tampil ‘bangga’ di gereja pusat St. Yohanes Rasul Wonogiri.
Kapan? Pada perayaan Misa Natal yang pagi pukul 09.00 dan Misa Paskah pagi yang kedua. Dilakukan misa berbahasa Jawa dan bergamelan, liturgi dan para Prodiakon serta romonya memakai pakaian Jawa ‘priyayi’.
Anda tahu Jawa, pasti akan melihat blangkon (tutup kepala)nya tanpa ‘mondolan’ (bulatan dibelakang kepala, tetapi rata saja).
Ini khas Solo. Jadi, jangan lupa Wonogiri ini selalu ikut tradisi Solo dari ranah kebudayaan. Sedangkan, blangkon model Yogya selalu pakai mondolan di belakangnya.
Mau tidak mau dan dengan gembira semarak cinta liturgi inkulturasi Jawa berkembang. Mau tidak mau, romonya yang tugas di sana mesti belajar kotbah bahasa Jawa kromo halus dan membawakan misa bahasa Jawa.
Pemuridan saya ke Romo Soetapanitra SJ juga saya tapaki, manakala romo mencarikan gong atau pelalatan gamelan yang dibutuhkan umat.
Dari sini, saya mengenal keimanan yang berakar dari Romo Soetapanitra SJ.
Beliau ini bersaudara dengan Mgr. FX Rocharjanta Prajasuta MSF (Uskup Keuskuan Banjarmasin), Romo Pradjasoeta SJ, Suster M. Assumta OSF, perintis ASMI Santa Maria di Bener, Yogya. Semua tokoh ini sudah RIP.
Namun masih ada di antara kita, yakni Romo Soetapanitra Pr, seorang almusenir, romo pembimbing rohani (pusroh) yang bekerja di lingkungan ABRI –sekarang TNI. Romo Soetapanitra yang kini tinggal di Paroki Kelapa Gading ini sudah pensiun. Namun seluruh keluarga ini penuh semangat, beriman mendalam dan tampil sosok para gembala yang baik. Dan tentu saja alm. Suster Assumta OSF.
Dari Romo Soeta, sengkalan penandaan tanggal waktu secara Jawa juga menjadi menarik untuk diambil pelajarannya, apalagi bertemu dalang-dalang sperti Ki Anom Soeroto, Ki Manteb Soedarsono di antaranya.
Yang kedua, pemuridan yang saya catatkan penting adalah gaya menghadapi yang tidak suka atau cenderung intoleran (istilah saat itu belum masuk ke wacana publik). “Unik dan saya pernah lakukan he… he…he…?”
Sekali waktu saya berada di satu dusun stasi. Di situ ada yang fanatik sekali dan tak suka kalau Romo Soeta ke sana.
Lalu, apa yang beliau lakukan?
Wooi, ajaib, beliau berkunjung atau ‘bertamu’ (istilah Anda kan visitasi kan?) ke yang bersangkutan dengan datang ke rumahnya.
Sudah dicoba satu kali, dua kali untuk silaturahmi, namun yang ditemui selalu tidak bilang sedang tidak ada di rumah.
Barangkali sudah ada ‘pembisiknya’, kalau romo Soeta akan hadir bertamu, sehingga tuan rumah sengaja pergi.
Eh, Romo Soeta lebih pintar: beliau ‘tongkrongi’ (maaf bahasa Jakarta: sengaja tetap menunggu terus di rumah itu kapan pun kepulangan tuan rumah).
Sampai malam tak pulang juga. Tetapi, kan di situ rumah yang bersangkutan, akhirnya yang lebih ‘sabar menunggu’ (bukan nama rumah makan) adalah Romo Soeta.
Sejak saat itu cairlah saling sapa. Dan saya berdecak dalam hati dan memuji dalam budi.
Inilah strategi atau siasat khas Jawanya Romo Soeta menghadapi sikap tak bersahabat tokoh umat lain.
Pernah suatu sore, Romo Soeta siap-siap dengan caping dan tongkat serta jubah ‘pasingsingan’ serta tas kain, duduk di meja makan, siap mau pergi dan minum teh dahulu.
“Oh, iya tehnya nas-gi tel. Artinya panas, legi (manis) dan kenthel (kental).“
Saya lalu bertanya, “Mau tindak (pergi) kemana? Kok sampai membawa tongkat, caping, dan kini malah juga membawa mantol pula? Ini agak ‘tumben-tumbenan’, di luar kebiasaan?”
“Mau pergi ke salah satu stasi ‘baru’, yang ada 4-5 keluarga katolik di sana dan ingin menginap,” jawab Romo Soetapanitra SJ.
Jawab beliau enteng saja.
Saya melihat, Romo Soetapanitra saat itu juga membawa pula air suci yang biasanya tidak saya lihat, karena sudah masuk ke tas.
Maka, sampailah ke inti bincang pendek mendalam yang saya catat di sini.
Jadi, Romo Soetapanitra SJ ini akan ke stasi dusun yang masih ‘angker’. Artinya, dalam pembahasan beliau, yang ‘anak-anak terang’ karena Katolik masih sedikit, namun ‘anak-anak gelap’ atau kegelapan itu masih dominan, meraja.
Menurut Romo Soeta, beliau tidak akan masuk ‘mengusir’ atau memergikan pengaruh jahat di satu tempat, apabila di tempat itu tidak ada mediator kuatnya lawan yang jahat ini.
Artinya, mesti ada orang-orang Katolik dua atau tiga keluarga atau satu keluarga pun oke yang bisa diajak romo bersama-sama berdoa dan ‘menyuruh pergi’ yang jahat dari situ.
Sebab, bila kita hanya datang sebulan sekali atau sekali dua kali, itu daya energi spiritualnya hanya dari luar. Kerennya, from outside and not from within.
Namun, bila medium yang di sana sudah mengakar dan saling menguatkan dalam iman dan doa, pasti mereka bisa diajak menepiskan pengaruh jahat di wilayah itu.
Gua Maria Sendang Klayu Wonogiri
Almarhum Mgr. Johannes Pujasumarta di Sesawi.Net menulis sebagai berikut.
Awal mula tumbuhnya umat di daerah itu terjadi pada tahun 1967. Para perintis umat di daerah itu masih ingat betul swargi Romo Soetapranitra SJ yang setia mengunjungi umat perdana di daerah tersebut.
Dengan jubah kelabu dan bersandal jepit Romo Yesuit yang sederhana ini menyapa umat dengan penuh kasih.
Bila Rama berkunjung, ia hanya berpesan agar direbuskan singkong ketela pohon, hasil utama tanah berbatu kapur tersebut.
Ada sendang yang disebut Sendang Klayu. Tempat tersebut semula angker, banyak penduduk menjadi korban gangguan iblis, menurut tutur kata orang setempat.
Katanya, ada seorang menebang pohon yang tumbuh di tempat itu lalu mulutnya menjadi mencong.
Almarhum Romo Soetapanitra SJ berhasil mengusir iblis yang bercokol di tempat tersebut, bahkan kemudian air Sendang Klayu digunakan oleh Romo Soeta untuk membaptis orang-orang Katolik perdana di daerah tersebut.
Jumlahnya belasan orang. Di antara mereka itu adalah Bapak Agustinus Sukarman yang hadir pada Perayaan Paskah tahun 2008 ini.
Sejak peristiwa pembaptisan tempat tersebut dijadikan tempat doa, yang dilengkapi dengan patung Maria Fatima Sendang Klayu.
Saya bersyukur setelah upacara pembaruan baptis ada dua orang siap dibaptis di Kapel Santo Thomas Jlegong. Mereka itu adalah:
- Fransiska Asisi Megawati Sutarmo Putri, dengan emban baptis Ibu Lucia Martini;
- Cyrilus Fredi Slamet Prihatin, dengan emban baptis Bapak Stephanus Darmosuwito.
Saya meminta dengan sungguh-sungguh agar baptisan baru tersebut dicatat dalam Buku Baptis (Liber Baptizmorum) di Kantor Sekretariat Paroki Santo Yohanes Rasul Wonogiri.
Keteledoran dalam hal ini bisa merugikan umat.
Itulah yang kadang kami temui bila kami mengadakan supervisi di paroki-paroki.
Setelah misa, kami diajak mampir ke rumah pamong umat untuk santap siang. Kemudian, kami berkunjung ke Gua Maria Fatima Sendang Klayu. Jalan menuju ke gua sungguh tidak mudah. Jalan itu sangat menanjak hingga mengantar kami sampai di depan gua Maria.
Ukurannya kecil saja. Di hadapan Maria kami berdoa ”Salam Maria”, mohon dapat meneladan kesetiaannya mengikuti Tuhan Yesus, puteranya, sampai di Puncak Golgota.
Permenungan saya
Saya berenung serius dan teringat di Injil, ketika murid-murid ‘bertanya’ mengapa ada roh jahat yang susah dipergikan atau diusir?
Yesus menjawab demikian. Untuk yang in membutuhkan doa dan matiraga. Dan Romo Soeta ini matiraganya bukan main.
Bila beliau sedang sakit demam yang berat, sebelum badan imunitasnya dan doanya meng-counter-nya, beliau belum meminta obat.
Lalu dari mana kita tahu beliau sakit? Dari nembang atau nyanyi ura-ura Jawa yang kidungnya sendu dan bahkan kadang nglangut, beliau bersenandung ke sotok-sotok rumah, sehingga suster CB –tetangga kita– langsung mendengar.
Dan saya awal-awal sekali diberitahu suster, kalau suara tembang itu ‘penanda’ romo sedang gerah (sakit).
Tempat tidur seorang asketis cuma dipan dengan tikar selembar dan sarungnya.
Lalu bantal romo itu potongan kayu sawo yang pas untuk leher beliau, sampai licin karena dipakai di kepala.
Kenapa asketisme dan kasepuhan prihatin doa inilah romo tak perlu energi banyak untuk marah.
Hanya dengan satu ucapan pendek penuh wibawa atau pandangan mata yang berdaya, romo mampu membuat orang lain tahu untuk tidak berbuat jelek.
Maka saat pohon mangga di samping pastoran (pastoran lama lho, sekarang sudah tidak ada) berbuah banyak, cukuplah satu kalimat dan kotbah misa serta diulang di depan para putra-putri altar, anak-anak dan orangtuanya.
Menegaskan: ojo dijupuk (jangan dicuri), sebelum matang mangganya, nanti saja setelah siap dipetik dan dibagi bersama.
Efektif, penuh ‘mantra wibawa’ dan ditaati. Sebagai perbandingan, saat itu ada gereja lain (tak usah disebut namanya) punya masalah yang sama, mangganya jadi sasaran anak-anak terus. Akhirnya, karena jengkel ditebanglah si pohon magga itu.
Masalah selesai, tetapi tak punya pohon mangga lagi.
Simbolisasi gereja lama masih karya arsitektur alm. Romo Mangun awal-awal sejajar gereja prototipe Mangun seperti Klaten.
Untuk makin simbolik tak hanya model Mangun yang makin keluar, makin tak berpagar dan menuju ‘pasar’ dan di dalam adalah altar, maka:
- Romo Soetapanitra menanam pohon (yang ketika saya di sana sudah besar tinggi) pohon ‘kluwih’, simbolik nama dihubungkan dengan kereta bahasa Jawa: berakar kata ‘luwih’ (lebih). Maka sebelum masuk, di sebelah kiri, umat diajak untuk menghormati yang ‘maha lebih’ (hyang linuwih) yaitu Tuhan dalam simbol pohon kluwih atau ‘kaluwihan’ (kelebihan kemuliaan).
- Di sebelahnya ada pohon duren: ojo maido marang Pangeran (jangan sangsi, tak percaya pada Tuhan).
- Di pintu masuk, ditanam pohon mojo untuk simbol nasehat: jangan mengandalkan wajah luar cantik atau tampan, tetapi rasa buah mojo itu ‘pahit’ (ingat nama Mojopahit), maka luar dan dalam hati jadilah utuh, tidak mendua bila menghadap Tuhan dan hidup dengan sesama. Pohon ‘kluwih’, selain yang diurai di atas, Romo Soeta menambahi bahwa bila punya rejeki lebih (luwih) hendaknya suka rela mau berbagi.
- Di depan, di kiri terdapat bambu kuning yang tumbuh untuk ‘pepeling’, pengingat pada Tuhan sang pemberi berkah. Maka melihat bambu kuning, diharapkan memandangi lama dengan ‘ingat’ atau ‘eling’ pada pemberi rezeki kita yaitu Tuhan. Dan ‘eling’ ini dalam doa Bapa Kami juga didalami dengan mohon berilah kami rezeki hari ini (bahkan romo dengan senyum sepuhnya menambahi ‘rezeki secukupnya’.
- Di jalan setapak taman kecil menuju gereja ditanam pula kemuning. Tanaman bunga ‘kemuning’ ini melambangkan beningnya pikiran dan kesucian, yang berasal dari kata ‘ning’ dalam kemuning, artinya hening budi.
- Sebelum ke air suci untuk menghadap Tuhan, di deretan depannya tumbuhlah pohon pisang ‘morosebo’ yang berarti: menghadap datang dengan sembah (moro= datang; sebo= menghadap dengan sembah untuk sowan).
- Disampingnya, ditanam pula, pohon pisang kipas, untuk payung dan mengipasi udara jernih, aura gereja yang penuh berkah.
- Ada jambu manis buat penyegar haus bagi yang datang dari jauh. Deretan tanaman-tanaman itu seakan para penerima tamu yang menyalami selamat datang bagi umat yang masuk ke misa kudus.
Coba deskripsi lambang-lambang tanaman, pohon atau flora menyatu dengan bangunan arsitektural gereja awal-awal karya Romo YB Mangunwijaya ini benar-benar oleh alm. Romo Soeta diwariskan ke kami untuk memuliakan Tuhan dan lingkungan semesta Gereja St. Yohanes Rasul Wonogiri.
Dahsyatlah mengenang value of environment yang diajarkan Romo Soeta dengan menanam simbol-simbol hidup serta nasehat-nasehat hidup di balik masing-masing tanaman dan pohon-pohon.
Sayang sekali simbol-simbol dan pohon-pohon di atas yang menemani sekian tahun bangunan gereja ‘lama’, karya perdana sama angkatan gereja Klaten dari romo YB Mangun, sudah diratakan dengan tanah dan diganti dengan gereja baru sekarang ini.
“Tidak apa-apa, yang diganti kan bangunan fisiknya gereja. Dan toh spiritnya masih tetap hidaup dalam laku hidup dan tindakan sehari-hari umat.”
Warisan ucapan “Berkah Dalem”
Di akhirnya sekali, saya mesti menulis yang paling berharga sekali, yaitu warisan ucapan “Berkah Dalem”.
Itu khas orisinil dari Romo Soetapanitra SJ.
Sejarahnya dan kisahnya didapat beliau saat belajar teologi di Belanda.
Romo merenungi dalam orang ‘Barat’: selamat pagi, siang, malam. Lalu, saat sudah menekuni status imamatnya sebagai pastor di alam pedusun Jawa, maka beliau lalu bertanya pada diri sendiri:
“Indonesia ini kan tidak mengenal empat jenis musim, dan melimpah surya matahari dari terbit sampai terbenamnya. Nah, bukankah ini seluruh berkah Sang Pencipta untuk Indonesia. Maka salam syukurnya, ya mensyukuri ‘Berkah Dalem’ (Berkah -dari– Tuhan itu) sebagai gantinya untuk ucapan selamat pagi dan seterusnya”.
Maka dahsyatlah salam ini, sampai hari ini jadi ciri khas umat Katolik Jawa yang langsung menyalami romo yang lain ‘Berkah Dalem’.
Juga antarsesama umat Katolik di mana pun berada.
Untuk menguji uluk salam ini, almarhum Romo Harry C. Stolk SJ yang lama mengajar liturgi, lalu memberi kesaksian berikut ini. Yakni, bahwa ungkapan salam khas berbahasa Jawa ini aslinya meman berasal dari (pemikiran teologis kontekstual) Romo Soetapanitra SJ.
Inilah catatan-catatan menjadi pemuridan sebagai romo muda gereja Katolik St. Yohanes Rasul.
Untuk sosok imam Jesuit lainnya yang pernah bersama di sana sebentar adalah alm. Romo Anton Mulder dan Romo Hovens SJ.
Nama imam Jesuit yang terakhir ini adalah teman seangkatan alm. Romo Hans-Peter Kolvenbach SJ, Jenderal Ordo Jesuit dan misionaris Belanda di Libanon.
Kisah-kisah berikutnya akan menyusul di tulisan selanjutnya. Salam dan selamat membacanya. (Selesai)
Nampaknya kata kata BerkaH Dalem sembari kasih tanda salib si dahi itu sudah lazim dikalakukan sejak dulu di keluarga keluarga Katholik, baik saat setelah doa malam menjelang tidur pun pada saat berangkat sekolah pagi hari. Ingatan Pengalaman th 78 saat brgkt sekolah dulu, ortu sudah melakukannya, bahkan trnyt ortu mengalami nya dari bapak ibunya (kakek nenek).