Home BERITA Kaddhafi, dari Istana ke Kolong Gorong-gorong

Kaddhafi, dari Istana ke Kolong Gorong-gorong

0

SELAMA hampir 42 tahun lamanya, Sang Kolonel Muammar Khaddafi hidup dalam suasana serba mewah dan berkelimpahan. Tak lama setelah berhasil mendepak tanpa pertumpahan darah Raja Idris dari tampuk kekuasaannya di Libya tahun 1969, Sang Kapten Muammar Kaddhafi naik menjadi pemimpin negeri kaya minyak ini.

Lambat tapi pasti —seperti kata-kata bijak  Lord Acton: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”—Khaddafi pun akhirnya tergiur oleh manisnya kekuasaan dan gemerlapnya kehidupan karena melimpahnya minyak (dan tentu saja uang).  Dalam beberapa kesempatan, Sang Kolonel memang berhasil membius dunia dengan gaya hidupnya yang sedikit ‘eksotik’ karena sering menerima tamu-tamu diplomatik asing di sebuah tenda gurun –yang menjadi rumah keduanya. Namun, tak bisa disangkal pula, selama 42 tahun duduk di kursi empuk sebagai presiden negeri kaya minyak, Sang Kolonel pun juga tergiur oleh nikmatnya uang.

Kemana larinya Sang Kolonel?

Istana Khadafi benar-benar mewah, belum lagi kalau harus menghitung dengan jari harta bendanya yang melimpah dan simpanannya di bank-bank asing di luar Libya yang sempat dibekukan oleh otoritas AS dan Eropa. Rakyat terkesiap, ketika berhasil memasuki ‘the forbidden city’-nya Khaddafi di sebuah kompleks permukiman di jantung Tripoli. Itu terjadi tak lama setelah pasukan milisi pemberontak berhasil mendobrak masuk “istana” Sang Kolonel.

Tapi kemana Sang Kolonel pergi melarikan diri? Tak seorang pun tahu.

Sebelumnya sempat beredar sas-sus yang menyebutkan Sang Kolonel telah melarikan diri ke Selatan yakni sejumlah negara yang berbatasan langsung dengan Libya.  Ternyata yang melarikan diri ke Selatan adalah anggota keluarga besar Khaddafi.

Sang Kolonel –seperti janji sesumbarnya— ternyata memenuhi janjinya: tetap ‘setia’ tinggal menetap di Libya. Tapi dimana, tak seorang pun tahu persis hingga akhirnya para milisi pemberontak memfokuskan penyerangganya ke beberapa kawasan yang menjadi basis kuat para pendukung Sang Kolonel. Dua kota yang mereka arah sebagai target penyerangan adalah Misurata dan Sirte. Yang terakhir ini adalah nama kota kelahiran Sang Kolonel.

Sirte menjadi target utama, karena di situ pula berkumpul para loyalis Khaddafi. Dan benar juga, dalam sebuah pertempuran kota jejak Khaddafi terendus oleh milisi. Dan siapa sangka, kalau Sang Kolonel  ternyata bersembunyi di sebuah gorong-gorong di bawah jalan bebas hambatan sedikit di luar Sirte.

Dan ketika berhasil ditangkap, Khaddafi sempat mengaduh minta ampun agar dirinya jangan ditembak mati. Namun, jalan ceritanya berubah dalam hitungan menit,  ketika rombongan para milisi pemberontak ini terlibat baku tembak dengan pasukan loyalis Khaddafi. Dan dalam sekejap, Kaddafi pun menjadi sasaran timah panas…

Di lorong gorong-gorong

Di sebuah istana nan mewah, Khaddafi telah mengukir kisah hidupnya yang eksotis dan menawan selama 42 tahun. Namun di sebuah lobang gorong-gorong –yang selama ini identik dengan saluran air got lengkap dengan tikus dan kecoa layaknya di Indonesia—Khaddafi harus mengakhiri era kekuasaannya dengan aneka macam keterbatasan dan ketidakbebasan.

Di gorong-gorong itulah Khaddafi yang konon gagah perkasa dengan merengek minta ampun dengan mengatakan: “Mohon jangan tembak saya.” Namun, dalam sekejap di depan gorong-gorong itulah Sang Kolonel akhirnya merenggang nyawanya secara tidak hormat.

Great men –-seperti kata seorang  pujangga Inggris-– are almost always bad men.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version