Puncta 15.07.22
PW. St. Bonaventura, Uskup
Matius 12: 1-8
URUSAN dengan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit mengakibatkan munculnya mental “sogok menyogok” atau suap, pungli dan korupsi. Lalu muncullah istilah “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?”
Ada banyak motto yang dicanangkan dalam pelayanan instansi publik, namun semboyan itu hanya terpampang sebagai pemanis bibir saja.
Harusnya menjadi pelayan masyarakat, tetapi yang terjadi malah minta dilayani dengan tuntutan fasilitas.
Ada tulisan bernada sindiran di bak belakang sebuah truk berbunyi; “Ada fulus, semua jadi mulus.”
Petugas mudah sekali mencari-cari kesalahan, kurang lengkap ini itu, bahkan mencantumkan syarat-syarat yang tidak perlu. Supaya urusannya menjadi panjang.
Mau tidak mau, masyarakat menjadi pihak lemah yang harus dibantu. Kalau sudah begitu, maka “tahu sama tahulah.”
Dalam Injil hari ini, orang-orang Farisi memprotes murid-murid Yesus yang memetik gandum pada hari Sabat. Bagi kaum Farisi tindakan itu adalah pelanggaran hukum Taurat.
“lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.”
Kaum Farisi merasa diri sebagai orang yang paling benar dan saleh. Mereka merasa sebagai penjaga hukum Taurat yang setia.
Maka pelanggaran sedikit saja sangat mengusik hati mereka. Kaum Farisi punya “geulty feeling” yang besar jika ada orang melanggar sebuah aturan.
Ada perasaan gelisah, tidak tenang, “scruple” jika gagal menjalankan peraturan. Hal yang simpel bisa menjadi rumit.
Yesus menjawab kegelisahan mereka. Agar orang-orang itu tidak perlu mempersulit diri sendiri.
Ia mengingatkan bagaimana Daud dan para pengikutnya makan roti sajian yang seharusnya hanya untuk para imam? Atau para imam sendiri melanggar Hukum Sabat di dalam Bait Allah dan mereka tidak bersalah?
Maka ada perkataan Yesus, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.”
Lagi-lagi Yesus menegaskan, “Ada firman; Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.”
Mengasihi lebih penting daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Orang tidak boleh mengutamakan persembahan, tanpa melakukan belaskasih.
Taat pada aturan agama, menjalankan ritual tidak ada artinya kalau tidak disertai dengan belaskasihan.
Agama yang tidak didasari oleh belaskasih akan mudah sekali menghukum dan menghakimi orang.
Prakteknya akan mudah sekali membenarkan mental “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Hati-hatilah, semangat kaum Farisi sedang menyebar di tengah-tengah kita. Waspadalah dan berjaga-jagalah jangan kita mengikutinya.
Pergi ke kota mencari wifi,
Gak peduli jalan gelap kehujanan.
Jangan suka mempersulit diri,
Belaskasihan harus lebih diutamakan.
Cawas, jangan rumit dan berbelit-belit