Home BERITA Kalau Pastor Sakit Hati

Kalau Pastor Sakit Hati

0
Ilustrasi - Pastor sotoy dan mau menang sendiri. (Romo Koko MSF)

Kutulis kisah ini sebagai persembahan untuk memperingati 40 hari sahabatku almarhum Romo Markus Marlon MSC telah dipanggil Tuhan. Di mata saya, almarhum adalah imam misionaris sejati di Dumaring, Kalimatan Utara.

BISAKAH pastor sakit hati bahkan dendam?

Pertanyaan ini menggelitik hatiku. Untuk memberi jawaban yang jujur. Aku sadar tidak mudah menjawab pertanyaan yang mendasar. Namun aku mencari jawaban jujur sesuai dengan fakta pengalaman yang kualami.

Aku yakin jawaban yang kuberikan dengan jujur akan membawa risiko bagiku sebagai seorang imam yang menjadi figur publik. Aku sangat ingat akan pengalaman “sakit hati, dendam” dari seorang pastor yang bernama Lawing yang berkarya di pedalaman Kalimatan.

Begini kisahnya:

Setiap kali Pastor Lawing melakukan perjalanan turne ke Stasi St. Mateus, ia selalu membawa beban perasaan dan pikiran negatif.

Ia selalu berpikir: ”Saya pastor baru yang sedang mengenal dan mempelajari situasi umat stasi untuk dipersiapkan menjadi paroki baru. Ada beberapa umat yang tidak menerima dan sinis”.

Stasi St. Mateus adalah sebuah stasi yang besar dengan umat banyak. Pada umumnya, umat bekerja di perusahaan ply mill, perusahaan minyak, dan tambang batubara.

Boleh dikatakan stasi ini disebut stasi basah, karena kolekte besar, partisipasi umat tinggi dan mandiri. Apalagi fasilitas gedung gereja dan pastoran dari perusahaan menjamin setiap pastor yang melayani senang dan krasan tinggal di Stasi St. Mateus.

Pastor pun bisa sakit hati dan dendam

Setiap kali Pastor Lawing turne, ada rasa tidak nyaman bertemu dengan umat stasi. Dia mengalami kesulitan komunikasi dengan beberapa tokoh umat dan terasa kaku. Pastor Lawing masih menyimpan memori kelabu.

Ingatan ini membuat pandangan, gambaran Pastor Lawing tentang stasi St. Mateus ini jadi negatif dan menjadi ciut untuk mengembangkan umat stasi menjadi sebuah paroki baru.

Ada beberapa kata dan ungkapan pengurus umat stasi yang terekam di benak Pastor Lawing:

  • ”Pastor, kami ini mandiri. Selama ini tidak pernah minta dana dari paroki dan paroki pun tidak pernah mengungkit keuangan stasi. Sekarang, pastor ini baru datang, sudah bicara soal laporan keuangan. Maaf, jangan jadikan kami sapi perah.”
  • ”Pastor tidak usah cerewet ngomong soal uang stasi, yang penting pastor datang misa, makan enak, tidak usah repot-repot.“
  • “Tidak usah kunjungan ke rumah umat di kampung kampung yang kumuh, pastor santai saja tinggal di pastoran, fasilitas untuk pastor kami siapkan.”
  • “Kami pengurus stasi ini juga sebagian besar punya kedudukan di perusahaan, kami tahu manajemen, kami bisa lobi ke perusahaan untuk mendanai kegiatan stasi. Pastor tidak usah repot repot buat ini buat itu.”

“Pusing juga menghadapi umat seperti ini, saya belum melaksanakan tugas saja, sudah dihantam. Ngeri juga,” keluh pastor Lawing.

Ungkapan-ungkapan seperti di atas disimpan dan dimasukan hati oleh Pastor Lawing. Hal ini makin lama disimpan makin menumpuk dan mengkristal.

Lalu, Pastor Lawing menuliskan daftar menu litani “Santo Keluhan” yang menggambarkan dirinya:

  • Aku sakit hati, tersinggung dengan ungkapan yang menyudutkan diriku.
  • Aku merasa benci sekali.
  • Aku merasa tidak dihargai sebagai seorang pastor.
  • Aku kecewa karena dibanding-dibandingkan dengan pastor sebelumnya.
  • Aku jadi minder karena tidak mampu melayani umat stasi yang nota bene lebih maju, lebih mandiri, dan lebih pintar.

Daftar litani “Santo Keluhan” ini makin lama makin melahirkan sikap apatis dan dingin terhadap hidup imamatnya. Sikap dan perilaku Pastor Lawing berubah. Apa pun yang dilakukan berpusat pada dirinya, bukan keluar untuk kepentingan umat.

Pastor Lawing tidak lagi rajin mengunjungi umat Stasi St.Mateus. Jika ada jadwal turne, ia selalu mencari alasan untuk tidak pergi ke stasi dan merayakan ekaristi.

Pastor Lawing tidak berani menghadapi konfrontasi dengan umat yang pernah menyakiti hatinya. Ia melarikan diri dari situasi dan kenyataan yang membuatnya sakit.

Dia masuk dan tenggelam dalam zona aman sebagai perlindungan diri, dengan kesibukan rapat sana, rapat sini, dengan menikmati hobi memancing ikan dan berburu binatang di hutan, merokok, dan minum, dls.

Hal ini berlangsung cukup lama. Umat stasi St. Mateus tidak mendapat pelayanan misa dan pastoral lainnya selama 6 bulan. Apalagi pengurus stasi pernah melaporkan hal ini kepada Bapak Uskup.

Pastor Lawing lalu mendapat teguran dari Bapak Uskup. Dia makin merasa terancam dan sakit hati, memendam amarah dan kecewa.

Menyimpan sakit hati melahirkan tindakan yang melawan atau bertolak belakang dengan keberadaan sebagai seorang pastor.

Ilustrasi — Pastor dituding-tuding. (Romo Koko MSF)

Seorang pastor seharusnya memenuhi kebutuhan rohani umat dengan pelayanan sakramen. Kini, terbalik dia lebih memenuhi kebutuhan pribadi dengan mencari kepuasan diri dan tenggelam dalam zona aman.

Inilah kisah pengalaman sakit hati, rasa benci seorang pastor di pedalaman.

Seorang pastor pun adalah manusia yang hidup dengan perasaan, dengan naluri manusiawi.

Perasaan negatif pun tetap muncul dalam hidup sehari hari, bila dia berhadapan dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak atau kemauan sendiri.

Fakta berbeda dengan kehendak dan pikiran sendiri. Tabrakan terjadi dan membuat “sakit hati, rasa benci, dendam”

Kebencian membuat pikiran mampet

Aku teringat dengan Pastor Markus Marlon MSC. Ia sudah menikmati hidup abadi di surge. Kini persis 40 hari dipanggil Tuhan. Ia pernah menulis pengalamanan tentang kebencian.

Saya mengutip demikian:

“Dalam buku yang berjudul The Story of Three Kingdoms dikisahkan bahwa Negeri Wei itu menghasilkan buah semangka yang berkelimpahan. Negara saingannya Chu sangat iri. Maka mereka merusak kebun semangka tersebut. Hakim Shung Chi, dari Negeri Wei berpikir positif dan tidak mau membenci negeri Chu.”

Sakit hati dan kebencian Pastor Lawing membuat pikirannya mampet. Apa pun yang dibuat oleh umat stasi itu baik dan berguna, tetapi Pastor Lawing tetap menilai dirinya jelek dan tak berguna. Sebaliknya, umat di stasi pun dinilai jelek. Beberapa umat adalah musuh yang mengancam kedudukan Lawing sebagai seorang pastor.

Pikiran Pastor Lawing mampet, maka sikap tindakan pastor berubah apatis, cuek, dingin, tidak lagi melayani umat dengan sepenuh hati.

Itulah bentuk kemampetan, sumbatan berupa sakit hati, rasa dendam, kebencian  yang sudah mengkristal. Kemampetan ini sebenarnya merugikan dirinya sendiri dan umat yang dilayani.

“Di sinilah Dwight Eisenhover (1890–1969) pernah menulis, “Never waste a minute thinking about people you don’t like”– jangan pernah buang waktu memikirkan orang yang tidak Anda sukai. Memang, kalau punya rasa benci kepada orang lain, pikiran kita sepertinya mampet. Bahkan, kebencian itu malah bisa menggerogoti jiwa kita menuju pembusukan atau “corruptio”.

Kita sadar bahwa “there is no medicine to cure hatred” – tidak ada obat untuk menyembuhkan kebencian. Akhirnya, “nox omnia erroris mutui implevit”– malam menyelesaikan semua kesalahan timbal balik. Setelah sehari tidak boleh ada dendam yang masih tersisa.”

Demikiian tulis almarhum Markus Marlon MSC.

Refleksiku atas Pastor Lawing

Benar juga pada saat aku tidak mau memaafkan, tidak mau mengampuni seseorang, maka itu seperti aku sedang membawa beban. Benar ada sebuah beban di hati ku. 

Memberi maaf dan ampun adalah lebih mudah dan ringan daripada membawa beban yang akan memperlambat pikiran juga gerakanku.

Pikiranli menjadi lambat seharusnya memikirkan hal lain, sekarang pikiranku harus terisi dengan siapa siapa yang kulukai. Dan mengapa aku tidak memberi maaf dan ampun.

Saat aku menyimpan dan memendam kemarahan, sakit hati, maka sebenarnya aku sedang membawa kebusukan di hatiku. Ada perasaan berat, tertekan, juga kegalauan menyelimuti hatiku. Dan ini adalah suatu penyakit.

Segala sesuatu yang busuk, jika tidak segera dibuang, maka pada saatnya nanti akan dibuang beserta wadahnya.

Begitu pula dengan diriku jika kebencian, dendam, sakit hati itu tidak segera dibuang dari hatiku, maka akulah yang akan dipinggirkan dari sekeliling ku

Aku pikir memaafkan, mengampuni adalah hadiah bagi orang yang kuberi maaf, kuberi ampun. Namun, aku harus menyadari, bahwa pemberian itu adalah juga hadiah buat diriku sendiri.

Hadiah itu adalah sebuah kebebasan. Aku bebas dari dosa, rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. Kebebasan membuat hidupku menjadi ringan.

Kemampuan untuk memaafkan, untuk mengampuni ternyata berubah menjadi sayap-sayap kebahagiaan dan kasih sayang untuk menjalani hari ini dengan suka cita dan hari esok dengan harapan dan kedamaian.

Makna memaafkan dan pengampunan

Memaafkan dan pengampunan merupakan suatu tindakan kreatif, bukan reaktif. Untuk dapat memaafkan, mengampuni, aku perlu mengatasi diri, melawan arus perasaan dan nafsuku.

Menurut hukum reaksi: gigi ganti gigi. Tetapi dengan ini, reaksiku tidak dapat bebas, ditentukan orang lain, dikemudikan orang lain.

Pengampunan merupakan tindakan yang melawan arus itu. Memaafkan dan mengampuni adalah pembebasan diri dari kemudi orang lain, tindakan kreatif yang ditentukan oleh pengampunan sendiri, bukannya orang lain.

Memaafkan dan mengampuni adalah tindakan kebebasan sejati.

Memaafkan dan mengampuni merupakan keutamaan yang sulit dipelajari, sebab sangat bertentangan dengan naluriku.

Terutama di lingkunganku, pengampunan, memaafkan merupakan tantangan mahaberat.

Di dalam hal ini tampak jelas, betapa sulitnya bagiku untuk benar-benar mempraktikkan sikap yang diajarkan oleh Yesus.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version