Home BERITA Karena Diabet, Protes dan tak Mau Berdoa Lagi

Karena Diabet, Protes dan tak Mau Berdoa Lagi

1
Ilustrasi -- Mengalami kesendirian dan kesepian saat sakit. (Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 15 November 2021.

Tema: Mata, jendela hati.

  • 1 Mak. 1: 10-15, 41-43, 54-57, 62-64.
  • Luk 18: 35-43.

DARI mata turun ke hati. Dengan kata, hati mengerti.

Mata adalah jendela hidup. Pintu awal pengertian memaknai hidup.

“Arahkankah pandanganmu, maka engkau akan mengerti”. Ini sebuah kata bijak orang-orang tua yang ingin selalu mengasihi anak-anaknya agar hidupnya semakin berarti.

Di mana matamu, maka di situ pula hatimu mengarah.

Terbukalah

Setiap sore, sekitar pukul 15.00, selalu saja ada sepasang suami isteri rajin berdoa di ruang adorasi.

Betapa hati ini kagum melihat betapa kebersamaan dan kesetiaan mereka berdua di hadapan Sakramen Maha Kudus.

Si ibu dengan penutup kepala selalu menunduk berdoa khusuk. Tidak ada gerak yang meresah. Diam di dalam keheningan dan hanya bertekun dalam doanya. Sekali-kali, ia memandang Hosti Suci.

Berkali-kali kedua tangannya terkatup memberi salam hormat sebagai ungkapan pujian dan penyembahan, permohonan, dan juga penyerahan diri.

Demikian pula sang bapak. Ia selalu duduk dengan tenang. Ia duduk di samping isterinya. Bergeming.

Dengan sikap berdoa, ia hanya menundukkan kepala.

Beberapa hari kemudian, masih di dekat ruang adorasi, tiba-tiba si ibu berkata lirih menyapa, “Romo doakan kami.”

“Bapak sedang mengalami gangguan pada penglihatannya. Tidak dapat melihat lagi. Sementara, saya juga sedang dalam proses kemo,” pintanya iba.

Baiklah. Maka, kami pun bersama-sama lalu pergi masuk ke ruan adorasi. Mereka berdoa masing-masing.

Di dalam suatu pertemuan komunitas di rumahnya, saya merasa betapa mereka hari-hari ini sungguh membutuhkan doa dan jamahan kebaikan Tuhan.

“Romo suami saya sudah kehilangan penglihatan,” katanya sungguh mengiba.

“Ia punya penyakit diabet. Saat kehilangan penglihatan, bawaannya selalu ingin marah, curiga, dan cemburuan. Tidak rajin lagi mau datang ke gereja. Berdoa pun jadi sulit. Padahal dulunya ia tidak begini. Mungkin selama tiga tahun ini berdoa terus-menerus dan tidak terjadi apa-apa. Bapak pernah ngambek sebelumnya,” kisahnya dimulai.

“Yang baik dari suami saya, ia tetap tidak putus asa. Ia sudah mulai mau belajar berjalan sampai akhirnya dia bisa jalan sendiri. Malah kadang ia mampu membeli minuman kemasan sendiri di warung.

Sekarang ia sudah bisa sendiri berjalan ke gereja. Sekitar 15 menit perjalanan.

Ia belajar dan mengingat, mulai keluar dari rumah berapa langkah dia harus belok kiri, maju dua langkah belok kanan, terus berapa langkah lagi dia sampai mulut gang, belok kanan, lalu berapa langkah lagi dia persis ada di depan gereja… lalu belok kiri dan berapa langkah lagi dia baru bisa masuk gereja.

Ia belajar menghafalkan, walau kadang berhenti dan menggerak-gerakan tongkat sebagai tanda mau minta tolong.

Suatu saat, ia berkata kepada saya, “Mah, saya tidak lagi minta disembuhkan. Saya ingin berdoa saja setiap hari di hadapan Sakramen. Itulah rutinitas dia, Mo,” tambah si ibu ini.

“Apakah sudah dibawa periksa ke dokter dan bagaimana mencari kemungkinan penyembuhan yang ada?” tanyaku.

“Dokter bilang, sudah agak susah. Disarankan untuk mau menerima saja dengan penyerahan supaya tidak lebih parah dan menjaga pola makan.

Ia juga pun sudah bisa berpasrah diri dan juga sudah tidak mengeluh. Itu yang saya kagumi dari pribadi suami saya,” jawabnya.

“Sementara saya sendiri juga sedang menjalani kemo. Untung ada BPJS. Tidak memperparah keuangan keluarga kami,” jelasnya.

Saya sering melihat bapak dan ibu ke ruang adorasi berdua dan berdoa dalam waktu yang cukup lama.

“Adakah pengalaman batin atau pengalaman iman yang meneguhkam?” tanya saya.

“Ya… kami berharap mutu hidup kami semakin baik. Minta tetap sehat dan menerima kenyataan aja, Mo. Umur sudah dapat.

Kami ingin lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak ada yang mesti dikejar lagi atau diinginkan lebih.

Kami sudah merasa cukup.

Sekarang saatnya kami ingin menikmati hidup tanpa banyak keinginan.

Kami ingin hidup sederhana, tetapi selalu dekat dengan Tuhan,” jelas sang ibu.

“Saya sih berdoa supaya isteri saya diberi kekuatan,” sela suaminya.

“Selama saya sakit, dialah yang menjadi gantungan hidup saya. Isteri yang mencari rezeki dan yang merawat saya.

Isteri yang menuntun saya bisa pergi ke gereja. Bahkan mengajari saya langkah demi langkah supaya kalau dia tidak ada, saya tetap bisa datang ke gereja sendiri.

Untunglah, saya tidak pernah lagi bersikap kasar kepada dia, sudah kembali saat saya belum sakit,” jelas si bapak.

“Waduh saya bisa membayangkan, kalau saya dulu menjadi pasangan yang keras, kasar, nyakitin dan seenaknya sendiri,” tambahnya.

Ibu itu hanya tersenyum.

Yesus berkata, “Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?”

Tuhan, ajari aku bersyukur tanpa henti, kendati hidupku tidak demikian. Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version