REVA tertegun mendengar temannya sesama pegawai di rumah sakit, beda bagian, seorang apoteker, menceritakan seorang ibu yang begitu tabah dan tangguh, walaupun mendapatkan perlakuan semena-mena oleh pasangannya.
Citra seorang isteri dan ibu dalam diri Reva cenderung miring dan negatif.
Namun kisah temannya yang sangat memuja ibunya membuatnya iri, sekaligus membuatnya termenuh dalam diam. Tambah lagi pemahamannya tentang hidup dan kehidupan.
Sungguh hebat, seorang ibu sendirian, menjadi single parent di Indonesia, khususnya di Jawa tidaklah mudah. Ia mampu dan berhasil mengantarkan puterinya menggapai asa, cita, dan cinta, dengan tetap berserah kepada kehendak Allah.
***
Ada resah yang membuncah. Sejak mentari tenggelam di balik Gunung Lawu, jantung Larasati tergetar dengan bertalu. Ada rasa pilu yang menyisip di kalbu. Telinga mendengung dan memanas.
Firasat apakah ini?
Ada kisikan hati yang mencuatkan kenangan lama yang sudah bertahun dilindas, namun kini melintas. Apa yang terjadi pada Yunus Karna Sudirja? Mengapa nama itu melintas di ambang tepian batas kenangan? Apa yang terjadi pada dirinya?
Sejenak, Larasati menepis resah dengan bergegas ke gereja yang hanya berjarak 1 km dari rumahnya. Sebelum misa dimulai, ia berdoa Malaikat Tuhan.
Selesai misa, ternyata resah tetap menggelisahkan. Dengan khusuk dipanjatkan doa untuk Yunus Karna Sudirja di rumah Bunda Maria. Nama yang sudah lama berusaha dihapus dari pikiran dan kenangan Larasati, namun sejak sore hadir dengan membuncahkan duka yang melukai hatinya.
Baru kali ini Larasati ikhlas mendoakannya. “Ya Allah, ampunilah segala dosa dan khilaf Karna, terutama terhadapku dan puteriku. Sembuhkanlah luka hatiku yang tergores oleh tingkah lakunya pada masa lalu. Terjadilah kehendakmu atas hidupku dan hidupnya”.
Larasati mengusap wajahnya yang sudah kembali tenang. Namun getar hatinya tetap tak berubah.
***
Mereka telah melewati perkawinan di tahun kelima. Sepi dilewatinya berdua, walaupun akhir-akhir ini sering ditingkah dengan pertengkaran soal tiadanya tangis bayi di antara nereka.
Sejak tahun kedua perkawinan mereka, Larasati sudah berkonsultasi dengan dokter kandungan dan kebidanan. Larasati dinyatakan sehat dan tidak ada gangguan apa pun. Ia membujuk suaminya untuk mau juga memeriksakan diri, namun selalu menolaknya.
Setelah bertahun, untuk kesekian kali dandengan kesabaran ekstra Larasati mengajak dia mengunjungi dokter yang dikenalnya.
“Mas, masih ingat Enggarjito?,” tanya Larasati
“Enggarjito siapa?,” jawabnya acuh tak acuh tanpa memalingkan wajah dari HP-nya.
“Teman SMA-mu yang rumahnya di Nusukan itu lho?,” jelas Larasati.
“Ada apa dengan dia?,” tanyanya.
“Dia bertugas di RSUD dr. Soedono dan buka praktik di rumah juga, di depan RSUD,” jawab Larasati sambil menyabarkan diri.
“Untuk apa aku ngurusi dia?,” kembali dia bertanya tanpa memalingkan muka kepada Larasati.
“Dia dokter spesialis kandungan dan kebidanan,” jawab Larasati mulai jengah.
“O, kamu ke sana mau memamerkan kemandulanmu?,” jawabnya kasar.
“Mas boleh lihat hasil tes kesehatanku. Aku sehat,” sanggah Larasati dan mulai merasa sakit hati karena ucapannya.
“Bisa saja hasil tes kaupalsukan,” jawabnya sambil mlengos dan mencibir.
Hati ini mulai panas. “Sudah tiga dokter yang mengonfirmasi aku sehat. Atau kau sebetulnya yang…”
Belum selesai kalimat Larasati, tamparan panas di pipinya menyentakkannya. “Plak! Plak!” Larasati hampir terjengkang oleh kaget dan kuatnya tamparan.
Terkejut yang amat sangat menyebabkan Larasati termangu dan tak menyadari apa yang terjadi. Mbok Rah tahu-tahu sudah berlutut di hadapannya dan meremas tangannya dengan agak keras.
Remasan itu menyadarkan Larasati dari peristiwa yang tak pernah terpikirkan menimpanya. Kesadarannya pulih ketika ia mendengar suara mobil pergi meninggalkan garasi dengan tergesa-gesa.
Tertengarai dari suara mesin yang meraung. Tak ada tangis dan air mata yang tercurah. Larasati hanya termangu dan hatinya membatu.
Diterimanya teh hangat yang disodorkan Mbok Rah. Hangatnya teh yang meluncur dari mulut ke kerongkongan mengembalikan pikiran Larasati soal waktu. Sudah berapa lama tamparan itu mengenai pipi ini?
Dirabanya dan terasa panas. Larasati mengambil HP, memfoto wajahnya dengan hiasan telapak tangan di pipi kirinya yang memerah.
Larasati masih membisu. Remasan tangan dan pelukan Mbok Rah terasa menguatkannya dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendiri. Mbok Rah sudah ikut keluarga Larasati sejak muda dan kemudian dimintanya untuk bersamanya.
Dia adalah pemomong Larasati sejak ia berusia lima tahun. Dia sangat tahu tentang Larasati.
Larasati adalah orang yang sangat jarang menumpahkan air mata di muka umum. Yang diingatnya ia menangis, saat Bapak meninggal dan ia tidak berada di dekatnya.
Sepuluh menit sebelum diberangkatkan ke makam Larasati menatap wajah bapaknya dalam peti, dan air mata ini membuncah dan mengaburkan pandangannya, sehingga tak mengenali saudara, kerabat, sahabat, dan teman yang datang untuk melayat.
Tangisnya selalu disimpannya untuk diriknya sendiri. Larasati bukan orang cengeng. Air mata dan tangisnya saat ini pun tak tertumpah, dihalau oleh rasa kaget dan sakit hati karena perlakuan suaminya.
Kekerasan fisik yang menimpanya barusan menyentakkan kesadarannya bahwa setiap perempuan berpeluang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang sudah dibuat dan disahkan pada tahun 2004 dan selalu disosialisasikannya ternyata layak dimasyarakatkan kepada semua lapisan masyarakat.
Selama ini, ia berpikir bahwa pelaku KDRT adalah orang berpendidikan rendah, keadaan sosial ekonomi menengah ke bawah, atau orang-orang yang bekerja di sektor informal yang keras, seperti tukang parkir, tukang panggul di pasar, tukang becak, preman.
Ternyata KDRT hadir juga dalam keluarganya. Sungguh ini menyentakkan kesadarannya dan membuatnya merasa munafik. Berjuang menyelamatkan keluarga-keluarga dengan perempuan dan anak sebagai korban KDRT, ternyata ia pun mengalaminya. Quo vadis.
Sudah sepekan ini, Larasati tidak masuk kantor. Dikirimnya surat izin dokter yang menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh membutuhkan istirahat.
Sesti, seorang dokter, sahabatnya, sesama relawan di Women Crisis Centre mengunjunginya dan membuatkan surat izin istirahat selama lima hari. Sakit hati masih perih, namun sudah reda. Yang tak reda adalah pusing dan mual yang melanda Larasati selama sepekan ini.
Apakah yang terjadi dengan dirinya?
Hidupnya terasa mengambang dan melayang. Sudah sepekan terakhir ini, Karna telah meninggalkan rumah. Dilihatnya namanya dalam kontak sudah diblokir, sejak peristiwa penamparannya dan minggatnya dia dari rumah.
Larasati mencoba menghubungi kantornya, ternyata dua pekan lalu dia juga sudah mengundurkan diri dan sudah tidak bekerja di sana.
Larasati menghubungi salah satu teman yang dikenalnya dan cukup akrab dengan Larasati dan Karna, ternyata namanya juga diblokir olehnya.
Ada apa ini?
Pagi ini Larasati memberanikan diri mendatangi kantor suaminya.
Sesampai di kantornya, resepsionis yang masih muda dan berpakaian seragam SMK, kelihatannya seorang anak magang, menyapa Larasati.
”Selamat pagi Ibu, ada yang bisa saya bantu?,” sapanya sangat ramah dengan senyum mengembang.
”Selamat pagi. Apakah saya bisa bertemu dengan Bapak Pimpinan, Bapak Suratmaja?,” jawab dan tanya Larasati mengimbangi keramahannya.
”Apakah Ibu sudah ada janji?” tanyanya.
”Belum, tapi tolong sampaikan kepada sekretaris Bapak, bahwa saya Larasati,” jawabnya dengan harap-harap cemas bisa bertemu dengan pimpinan kantor ini.
”Tunggu sebentar, Ibu. Silakan duduk dulu,” jawabnya sambil mempersilakan Larasati duduk di ruang tunggu dan kemudian meraih telecall untuk menghubungi ruang pimpinan. Didengarnya bisikan gadis itu menjelaskan kedatangannya.
”Bu Herna, di bawah ada Ibu Larasati ingin bertemu dengan Bapak, apakah bisa saya antar ke atas?”
Larasati tak mendengar apa jawaban Bu Herna, tetapi dengan ramah anak itu mendekati tempat duduknya.
”Ibu mari saya antar bertemu dengan Bu Herna. Beliau yang akan mengantar Ibu menghadap Bapak pimpinan. Mari ibu,” ajaknya penuh kesantunan. (Berlanjut)