Jumat, 23 Agustus 2024
Yeh. 37:1-14;
Mzm. 107:2-3.4-5.6-7.8-9;
Mat. 22:34-40;
SEBAGAI pengikut Kristus, kita ini sangat identik dengan ajaran kasih karena ajaran utama Yesus tentang hukum kasih. Ajaran ini sering kali dilihat sebagai ajaran yang menguatkan, ketika dunia lebih banyak mengajari manusia untuk mengurus diri pribadi dan tak perlu memedulikan orang lain.
Namun tak jarang juga ajaran ini dilihat sebagai hal utopis yang tidak mungkin dilakukan manusia. Hukum kasih hanya dilihat sebagai aturan yang kalau mampu dilakukan. Kalau tidak mampu, dilewatkan saja.
“Saya malu dengan perilaku anak saya, karena sebagai aktivis Gereja saya merasa gagal dalam mendidik anak saya,” kata seorang bapak.
“Dia telah mencoreng wajah saya sebagai orang tuanya bahkan juga wajah Gereja. Perbuatannya yang melawan hukum hingga harus mendekam di penjara, telah merusak citra orang katolik.
Namun demikian, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengasihinya, menemaninya dan membantu dia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mengasihinya,” ujar bapak itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Dari jawaban Yesus, kita dapat melihat bahwa Ia memahami apa yang Ia hayati sebagai hukum Tuhan.
Saat ini sikap yang sedang populer di kalangan masyarakat justru sikap yang bertentangan dengan apa yang Yesus lakukan. Banyak orang beragama hanya secara praktis, hanya menelan mentah-mentah apa yang tertulis, apa yang diterapkan sebagai aturan.
Banyak orang beragama tanpa menggunakan nalar dan penghayatan. Hal inilah yang membuat pemaknaan tentang beragama menjadi semakin sempit.
Orang-orang yang berjuang untuk mengasihi Allah lewat ketaatannya terhadap aturan keagamaan menjadi orang-orang yang salah arah. Mereka tidak lagi mengasihi Allah, mereka hanya mengasihi aturan keagamaan yang dipandang begitu penting dan suci.
Seperti apa yang Yesus katakan, kita diminta untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Artinya kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang mau mengolah rasa, mengolah emosi, maupun mengolah pengertian kita akan Allah.
Kita mengasihi Allah dengan keseluruhan diri kita. Kita tidak bisa mengasihi Allah jika hanya melakukan aturan-aturan keagamaan secara praktis tetapi hati dan pikiran kita tidak menghendakinya.
Ketika seseorang mengasihi Allah dan dirinya dengan sungguh dan penuh, maka kasih itu akan memancar pada sesamanya.
Ia akan dimampukan Allah untuk menyatakan kebaikan-kebaikan yang menenangkan dirinya dan sesamanya. Ia tidak akan punya alasan untuk tidak mengasihi sesamanya.
Ia tidak akan kelelahan untuk terus memahami dan mengasihi orang lain. Bahkan, ia akan terus mencari orang-orang yang perlu ia kasihi.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mengasihi Allah dan sesama dengan sepenuh hati?