Apabila kita mengamati pola-pola Pemilihan di Indonesia (baca: Pilkada, Pemilu), entah gamblang entah agak tersamar, pola-pola dari dunia anak-anak tadi kerapkali masih berulang. Hanya saja para pemainnya kali ini bukan anak-anak lagi, mungkin malah sudah beranak-cucu. Prinsipnya sama: “Atau aku yang menang, atau tidak ada yang menang sama sekali!” Biasanya kalau tidak bermain kayu, maka bermain curang atau memainkan uang.
Pasangan calon yang begitu kuatir bahwa dirinya akan kalah, bukannya fokus untuk memerbaiki visi- misi, menawarkan program yang cerdas maupun cara pendekatan yang elegan kepada konstituen; tetapi sebaliknya malah berusaha menimbulkan citra buruk mengenai pesaingnya. Ibarat pedagang, mereka bukannya meningkatkan mutu dagangannya, tetapi dagangan orang lain yang diserobot atau dijelek-jelekkan. Atau, calon pembeli yang malah ditakut-takuti. Tujuannya? Supaya orang tidak berminat membeli dagangan pesaingnya. Maka terjadilah kampanye hitam (black-campaign). Tidak jarang, media massa dan jejaring-sosial dimanipulasi untuk menjadi perpanjangan tangan demi kepentingan semacam ini.
Isu SARA (Suku, Agama dan Ras) adalah salah satu cara bermain primitif yang kadang masih dimainkan di era modern ini. Prinsip yang dipakai adalah devide et impera! Apa pun caranya seolah dihalalkan, termasuk memermainkan isu SARA.
Agama yang mestinya bermakna luhur dikebiri menjadi komoditas politik. Barangkali seloroh berikut tidak salah juga: Bagi para mistikus, semua agama adalah benar. Bagi para atheis, semua agama adalah salah. Bagi para politisi, agama apa pun bisa bermanfaat. Agama dikerdilkan maknanya hanya menjadi bidak politik yang bisa dimainkan kapan saja. Ayat-ayat suci dicomot dari konteksnya, sekedar untuk membuat legitimasi. Para pemuka agama pun tergoda untuk melacurkan integritas dirinya sebagai simbol, pengayom dan penjaga kesucian agama hanya demi kepentingan kelompok (calon) penguasa tertentu. Kemunafikan lantas disahkan sebagai 100% halal.
Demikian pula halnya dengan isu kesukuan maupun ras. Seakan-akan kalau orang terlahir dalam suku atau ras tertentu berarti dia telah melakukan kesalahan fatal dalam hidup ini. Akan tetapi, pernahkah seorang bayi menentukan untuk dirinya sendiri untuk dilahirkan dalam keluarga, budaya, atau suku/ras tertentu? Tentu tidak. Dalam hidup ini, bukankah memang ada yang hanya bisa diterima apa adanya dengan syukur? Misalnya, kelahiran kita sebagai anak manusia dalam sebuah keluarga, kebudayaan, suku/ras, atau negara tertentu. Memanipulasi isu suku dan ras berarti memersoalkan kodrat kelahiran seseorang. Memersoalkan kodrat dari si makhluk berarti menyalahkan kebijakan Sang Khalik, bukan?
Kita tahu bahwa memanipulasi isu SARA bukanlah cara berpolitik yang bermartabat dan dewasa, tetapi tak lebih dari cara berpolitik yang norak, manipulatif, dan kekanak-kanakan –bahkan bodoh dan tidak bermutu. Mengapa? Karena yang dibuat mainan dan dipertaruhkan adalah kesatuan NKRI. Sebagai warga masyarakat kita berhak dan wajib untuk belajar dan saling mengedukasi mengenai cara-cara berpolitik yang lebih bermartabat dan dewasa. Kita menginginkan demokrasi yang lebih sehat.
Dalam kondisi demokrasi sehat demikian itulah maka setiap warga bisa dengan merdeka dan dengan nurani cerdas bisa memilih para calon pemimpin yang dalam rekam-jejaknya terbukti secara konsisten memiliki pola-pola positip, antara lain: transparan dalam pengelolaan uang rakyat, bersih dari persoalan korupsi, mengedepankan dialog yang demokratis, memiliki kehendak teguh dan kemampuan yang memadai dalam memerjuangkan bonum commune.
Berebut layang-layang putus memang sekedar ilustrasi. Kita acungkan jempol kepada semua pihak yang mendukung sportivitas dalam permainan apa pun. Kita mendukung diadakannya Pemilihan yang lebih santun, jujur, merdeka dan sportif, juga untuk Pilgub Putaran II ini. Kita katakan TIDAK! untuk setiap permainan curang.