DI dalam kehidupan, setiap manusia tentu memiliki tujuan yang jelas. Tujuan hidup seseorang itu menjadi sebuah pilihan yang diputuskan secara bebas.
Kehidupan umat Katolik memiliki dua bentuk panggilan dalam hidupnya. Ada orang yang dipanggil untuk hidup berkeluarga dan ada orang yang dipanggil untuk hidup selibat atau hidup sebagai imam, biarawan-biarawati.
Hidup sebagai religius elain sebagai sebuah panggilan juga merupakan sebuah pilihan bebas dari setiap pribadi.
Rela untuk mempersembahkan diri seutuhnya hanya kepada Tuhan dan mampu untuk menyadarkan diri bahwa hidupnya hanya diberikan atau dibaktikan kepada Kerajaan Surga.
Perlu diketahiu bahwa hidup selibat bukan sebagai sebuah paksaan atau sebuah keharusan tetapi dengan kerelaan hati dan berkat rahmat Roh Kudus. Maka hidup selibat sebenarnya untuk membebaskan hati manusia (1Kor 7:32-35).
Ini pilihan, bukan melawan kodrat
Hidup selibat bukanlah melawan kodrat manusia. Tetapi sebenarnya merupakan sebuah penghayatan yang merujuk pada kekudusan.
Seksualitas bukan hanya terpaku pada pengertian mengenai hubungan intim antara pria dan wanita. Tetapi memiliki pemahaman lain juga yakni relasi.
Hidup selibat juga dipandang sebagai sebuah relasi antara sesama manusia.
Seksualitas dipandang sebagai sebuah relasi antara Allah dan manusia.
Dalam pengertian yang lebih luas mengenai seksualitas, itu berarti tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi mengenai bagaimana seseorang mampu untuk membangun relasi dengan sesamanya.
Seksualitas manusia berkembang, apabila jalinan itu dapat diujudkan dengan baik.
Menikah atau selibat
Dalam hal ini, ada dua bentuk pilihan yang dapat dipilih yakni: perkawinan dengan membina keluarga atau menjalani hidup selibat untuk secara intensif menjalin relasi dengan Allah.
Perkawinan diungkapkan dalam relasi pria dan wanita.
Maka kedua hal ini benar karena memiliki tujuan yang sama hanya kepada Allah. Tentu dapat dibenarkan juga bahwa hidup selibat memiliki perbedaan dengan kehidupan berkeluarga.
Orang yang memilih untuk hidup selibat selalu memusatkan diri pada relasinya dengan Allah. Memusatkan dirinya lewat berbagai tindakan kasih dengan sesamanya lewat hidup doa, askese, dan mengembangkan hidup spiritualnya dengan melayani orang miskin, papa, dan terlantarkan.
Hal ini merupakan sebuah tindakan yang benar-benar mencerminkan seorang berjubah, ketika berelasi dengan Allah.
Melalui hidup doa dan askeses, kaum berjubah akan memiliki hidup yang lepas bebas terhadap ciptaan lainnya.
Para kaum selibat tidak memandang seksualitas sebagai suatu tindakan buruk tetapi sebagai suatu relasi cinta kasih kepada yang lain yaitu dengan menjadikan semua orang sebagi saudara.
Maka hidup selibat itu sebagai sebuah pemberian secara total dan utuh kepada Allah melalui Gereja dan komunitas religius.
Karena melalui kedua ini, seseorang dipanggil untuk melayani, sebagai suatu tindakan kerasulan bagi sesamanya.
Menaati Kaul-kaul religius
Hidup sebagai kaum religius berati menaati dan meniru teladan dari Yesus Kristus yang hidup dalam ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian. Dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam karya pewartaan kerajaan Allah.
Ketaatan merupakan hal yang pertama dan utama dalam kehidupan membiara. Sikap ketaatan itu juga sebagai salah satu ungkapan yang menandakan suatu perjanjian atau ikatan antara Allah dan para calon religius.
Paus Fransiskus dalam suratnya pada Tahun Hidup Bakti 2014-2016 dengan sangat jelas mengajak kita semua kaum hidup bakti untuk menghayati hidup membiara dengan gembira.
Perjanjian ini diungkapkan ketika seorang calon biarawan memberi dirinya secara utuh lewat sebuah ritus yang namanya kaul-kaul kebiaraan.
Tentu saja bukan hanya ketaatan yang diucapkan pada saat ritus kaul, tetapi ada tiga poin yang diucapkan antara lain: ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian.
Kaul Ketaatan
Dikatakan taat berarti yang pertama-tama yakni taat kepada Allah. Lalu taat pada pemimpin dalam biara.
Ketaatan semata-mata bukan sebuah tindakan pasif tetapi sebuah tindakan aktif yang berlandaskan kerendahan hati.
Tindakan kerendahan hati itu juga dapat diterapkan dalam tindakan, dan perkataan.
Kaul ketaatan juga merupakan suatu panutan bagi kaum biarawan-biarawati dalam penghayatan akan panggilannya sebagai pribadi pilihan Allah.
Dalam perkembangan dunia zaman ini ,Kaul Ketaatan benar-banar ditantang dengan adanya alat-alat teknologi yang semakin canggih.
Adanya teknologi yang semakin canggih dizaman modern ini seorang religius akan merasa tertinggal karena tidak ikut berpartisipasi dalam perkembangan zaman.
Tetapi sebenarnya hal seperti ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tindakan pengendalian diri.
Memandang tantangan ini sebagai sebuah kesenangan semata. Karena yang lebih penting bukan terletak pada perubahan dunia dengan berbagai hal-hal baru. Namun yang paling terpenting dan utama ialah menjalani hidup panggilan sebagai kaum religius yang selalu bebas dan bahagia.
Kaul Kemiskinan
Hidup miskin seperti yang dikatakan Yesus dalam injil bahwa “Setiap orang yang mau mengikuti Aku ia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Aku.” (Mat, 16:24).
- Hidup miskin berarti tidak memiliki apa-apa.
- Hidup miskin yang dimaksudkan oleh Yesus sendiri ialah pengosongan hati untuk mampu mengarahkan hati hanya pada kehendak Tuhan.
Tentu benar bahwa semua kaum religius harus hidup miskin sama seperti Yesus yang telah hidup miskin.
Kaul Kemurnian
Dalam suatu penghayatan akan Kaul Kemurnian haruslah dihayati dengan ekspresi yang bahagia dan bebas. Tentu saja Kaul Kemurnian ini sering menjadi tantangan dan godaan yang paling dominan dalam hidup membiara.
Tetapi ada juga yang sering kali menghayatinya dengan perasaan terpaksa, dengan berat dan kurang bahagia.
Tentu kita diharapkan untuk mengusahakan agar kita menghayati kaul kemurnian dengan gembira.
Hal ini menunjukan sebuah sikap dari para calon biarawan yang paling istimewa kepada Allah. Mereka hanya memfokuskan diri pada kehendak Allah.
Namun bukan semata-mata mereka menolak atau tidak mau untuk ambil bagian dalam hubungan seksual tetapi hal itu dihayati dalam kehipuan membiara.
Ketiga kaul inilah yang menjadi dasar atau fondasi dalam hidup membiara.
Ketiga poin ini menjadi penting karena merupakan sebuah norma atau aturan yang ditetapkan oleh gereja bagi para religius.
Ketiga kaul ini ketatan, kemiskinan, dan kemurnian merupakan satu kesatuan yaitu sebagai ungkapan penyerahan diri penuh kepada Tuhan dalam hidup membiara.
Sebagai norma berati harus ditaati dan dijalani dengan penuh kegembiraan. Dikatakan sebagai norma atau aturan karena dengan poin-poin ini seorang religius akan mampu untuk menata serta mengontrol hidupnya agar selalu terarah hanya kepada Tuhan.
Aturan atau norma ini bukan dipandang sebagai sebuah pembatas bagi para kaum berjubah, tetapi merupakan sebuah kebebasan dari para biarawan untuk hidup bersama dengan Tuhan.
Aturan dipandang bukan sebagai sebuah hukuman tetapi sebagai sebuah kebebasan yang selaltu teratur.
Melalui ketiga poin ini yang disebut sebagai kaul maka, kaum berjubah mampu menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah sendiri.
Keunikan hidup membiara
Keunikan sering kali diidentikan dengan kebaikan, karena memunculkan hal-hal baru yang dipandang sebagai suatu kebaikan. Setiap manusia dikatakan baik ketika ia melakukan hal-hal yang dipandang sangat baik.
Dalam kehidupan membiara pun demikian. Para religius juga dikatakan unik karena dapat melaksanakan hal-hal unik. Keunikan para kaum religius terletak pada ketiga kaul yakni ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian.
Dikatakan unik karena kaum religius mampu untuk menyerahkan hidup seutuhnya kepada Tuhan dengan cara menaati ketiga kaul tersebut. Tidak mudah untuk menjalani ketiga kaul bagi sekian banyak orang.
Para religius memiliki kemauan bebas untuk hidup sebagai orang yang taat pada pemimpinnya, hidup sebagai orang miskin, dan hiudp selibat.
Maka dapat dikatakan bahwa kehidupan membiara itu sangat unik dan menarik karena merupakan sebuah tindakan ekstrim.
Dikatakan menarik karena dalam kehidupan membiara terdapat bimbingan spiritual maupun mental seseorang untuk menjadi murid Kristus dan menjadi pemimpin umat dalam perkembangan iman umat serta perkembangan gereja universal.
Ada pula keunikan-keunikan lainnya yakni; Memiliki banyak saudara, mampu menerima orang lain sebagai saudara.
Hidup sebagai kaum biarawan sangat unik karena tidak pernah mengalami kesendirian. Hidup sebagai kaum biarawan memiliki sebuah arti khusus karena mampu menunjukan sebuah tindakan keistimewaannya karena hidup hanya fokus pada Tuhan dan juga di dalam Gereja.
Keistimewaan inilah juga menjadi salah satu keunikan bagi kaum religius.
Keunikan seperti ini dapat dipandang sebagai salah satu kebanggaan bagi kaum religius, karena hidup membiara itu sering dipandang sebagai suatu hukuman dan keterikatan pribadi seseorang pada kaul-kaul yang tidak membebaskan.
Tetapi sebenarnya pandangan ini hanyalah sebagai suatu kesesatan atau kekeliruan dalam memandang dan memahami secara rasional.
Kaul-kaul atau norma-norma dalam kehidupan membiara itu dipandang sebagai sarana untuk menghukum para religius. Akan tetapi norma atau kaul-kaul itu sebaenarnya sebuah aturan yang dapat membebaskan para biarawan.
Kaul-kaul itu menjadi penuntun dan sebagai pedoman bagi kaum biarawan dalam menjalani relasinya yang lebih mendalam bersama Tuhan.
Aturan atau kaul-kaul dalam biara juga merupakan sebuah keunikan yang luar biasa karena dapat diketahui bahwa kaul-kaul itulah yang membantu para religius untuk bebas berekspresi dalam hidupnya sebagai kaum religius.
Hidup membiara adalah hal yang menarik karena di dalamnya terbentuklah sebuah kelompok dari latar belakang yang berbeda serta karakter yang berbeda pula.
Maka dalam biara akan dibentuk pribadi-pribadi yang berbeda itu menjadi satu pribadi yakni; Saling menerima, mencintai, dan saling terbuka antara satu dengan yang lain.
Selalu ada tantangan
Hidup membiara tidak pernah terlepas dari tantangan dan kesulitan.
Hidup sebagai religius berarti siap untuk menghadapi banyak masalah dan kesulitan. Kehadiran setiap masalah dalam biara mengajarkan tentang sikap tanggungjawab.
Aturan atau kaul-kaul dalam biara juga merupakan sebuah keunikan yang luar biasa karena dapat diketahui bahwa kaul-kaul itulah yang membantu para religius untuk bebas berekspresi dalam hidupnya sebagai kaum religius.
Maka perlu dipahami bahwa adanya sebuah aturan yang dipakai untuk mengatur seseorang itu bukanlah sebagai bentuk hukuman.
Tetapi sebagai sebuah aturan yang memang benar-benar untuk menjadikan pribadi seseorang semakin bertanggungjawab dan terus bebas dalam berekspresi. (Selesai)