SEMUANYA berawal dari kawanan kecil saja. Stasi Santo Paulus Sungai Lilin merupakan salah satu stasi yang berada di wilayah reksa Pastoral Paroki Santo Stefanus Talang Betutu Keuskupan Agung Palembang.
Stasi ini berjarak sekitar 120 Km dari pusat paroki yang berada di pinggiran Kota Palembang, Ibukota Provinsi Sumatera Selatan
Umat Katolik di stasi ini sebagian besar merupakan transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mata pencaharian mereka umumnya adalah petani. Mereka datang dan mulai membangun asa di daerah ini pada tahun 1981.
Saat itu, kegiatan peribadatan dilaksanakan secara Oikoumene bersama dengan umat Kristen Protestan atas prakarsa Holman Sitorus yang menjabat sebagai Petugas Pembina dan Pengembangan Wilayah (P3W) daerah transmigrasi di wilayah Sungai Lilin.
Situasi itu berlangsung selama sekitar 1 tahun. Pada tahun 1982, Romo Aloysius Jaya Atmaputra Pr yang saat itu berkarya di Paroki Katedral St. Maria Palembang berinisiatif untuk datang mengunjungi dan mencari informasi tentang keberadaan umat Katolik di daerah ini.
Ia berjumpa dengan enam keluarga Katolik di Desa Sumber Rejeki yang menjadi cikal bakal bertumbuh dan berkembangnya umat di Sungai Lilin. Mereka adalah Fransiskus Xaverius Subagyo, Dionisius Siswo Wiyanto, Petrus Sudarminto, Florentinus Sugeng Wibowo, Yosep Harjo Sumitro dan Petrus Darmanto.
Sejak perjumpaan itu, Romo Jaya pun secara rutin mengadakan kunjungan dan pelayanan Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan di rumah umat. Komunitas ini kemudian dikenal dengan sebutan Stasi Betung II A.
Santo Paulus sebagai Pelindung
Pada tahun 1984 karya pelayanan umat selanjutnya dilaksanakan oleh Romo Titus Purba Saputra SCJ yang saat itu menjadi pastor Paroki Katedral St. Maria Palembang. Sejak 5 Januari 1985, ia ditemani Yoseph Susar, seorang katekis lulusan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang.
Melihat kenyataan bahwa jumlah umat semakin bertambah, Romo Titus SCJ bersama katekis dan umat sepakat bersama-sama mendirikan sebuah bangunan kapel. Ini untuk tempat berkumpulnya umat merayakan Perayaan Ekaristi dan Ibadat Sabda pada hari Minggu.
Pada bulan Agustus 1985 dengan dana yang terbatas pembangunan kapel pun dimulai.
Kapel ini dibangun di atas tanah pekarangan milik Dionisius Siswo Wiyanto yang berada di Blok Y Desa Sumber Rejeki.
Bangunan sederhana semi permanen beratap genteng dengan dinding kombinasi batu bata dan papan ini akhirnya selesai dan dipakai pertama kali pada Perayaan Ekaristi Natal tahun 1985 yang dipimpin oleh Romo Titus SCJ dan dihadiri oleh Saiful Bahri SH, Camat Sungai Lilin kala itu.
Selanjutnya, atas refleksi perjalanan iman bersama, umat pun memilih Santo Paulus sebagai nama pelindung Stasi ini dengan harapan umat dapat semakin meneladani semangat merasul, semangat juang, serta memiliki militansi dan kesetiaan iman seperti Santo Paulus.
Sejak itu, maka nama Stasi Betung II A berganti menjadi Stasi Santo Paulus Sungai Lilin.
Estafet pelayanan terus berlanjut
Pada tahun 1987, pelayanan dilanjutkan oleh Romo Fransiskus Xaverius Edi Harso SCJ yang melayani Paroki Hati Kudus Palembang.
Selanjutnya, sejak tahun 1989 hingga pertengahan 2005 tongkat estafet karya pelayanan dilaksanakan oleh Romo Tadeus Laton SCJ seorang misionaris asal Polandia yang tinggal di komunitas Seminari Menengah St. Paulus Palembang.
Misionaris yang fasih berbahasa Jawa ini secara rutin datang mengunjungi umat di Sungai Lilin dan komunitas-komunitas umat yang kemudian menjadi stasi, seperti Betung, Keluang, Karang Agung Ulu, Mangun Jaya dan Bayung Lencir.
Ia datang ditemani Land Rover tua kesayangannya yang siap melahap kubangan lumpur dan jalanan tanah liat yang licin kala musim hujan tiba.
Pada pertengahan tahun 2005 secara definitif karya pelayanan Pastoral Stasi Sungai Lilin dan beberapa Stasi lainnya yang selama ini dilayani oleh Romo Laton SCJ diserahkan kepada Paroki St. Stefanus Talang Betutu Palembang.
Sejak itu para imam Diosesan yang berkarya di Talang Betutu pun secara rutin melayani Sungai Lilin dan sekitarnya, seperti Romo Antonius Maryanto, Romo Laurentius Rakidi, Romo Silvester Joko Susanto dan Romo Makarius Samandi.
Saat ini dalam pelayanannya Romo Samandi ditemani oleh Romo Bonifasius Djuana, Romo Albertri Danier dan Romo Ignatius Sukari.
Rencana Tuhan indah pada waktunya
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah umat pun juga turut bertambah. Umat Katolik yang berada di sejumlah desa terdekat ikut serta merayakan imannya dalam Ekaristi dan Ibadat Sabda di tempat ini.
Berdasarkan kondisi yang ada serta setelah melalui proses yang panjang akhirnya umat memutuskan untuk mencari dan membeli sebidang tanah yang letaknya strategis.
Akhirnya umat pun secara swadaya mengumpulkan dana dan membeli sebidang tanah pekarangan di Blok A Desa Sumber Rejeki. Rencananya di tempat itu akan dibangun gedung gereja yang baru sesuai dengan kebutuhan yang ada.
“Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalanKu, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).
Seruan dalam Kitab Yesaya ini menyadarkan umat bahwa segala sesuatu telah dirancang sesuai rencanaNya dan akan indah pada waktunya. Maka, atas dasar berbagai pertimbangan akhirnya umat memutuskan untuk mencari lokasi lain yang lebih strategis.
Umat pun akhirnya dapat membeli sebidang tanah di Kelurahan Sungai Lilin Jaya yang letaknya sangat strategis, berada tidak jauh dari jalur Jalan Lintas Timur Sumatera yang menghubungkan antara Kota Palembang dan Kota Jambi.
Sabtu, 20 Februari 2010 menjadi babak baru dalam upaya membangun gedung Gereja yang baru pun dimulai.
Di lokasi yang baru dibeli itu umat secara bergotong-royong mendirikan sebuah bangunan kapel sementara dengan tiang kayu dan dinding papan serta atap dari daun nipah. Atas usaha bersama akhirnya bangunan kapel ‘darurat’ itu pun selesai.
Selanjutnya, sembari menggalang dana untuk pembangunan gedung Gereja yang permanen umat pun bersiap untuk pindah dari tempat lama ke tempat yang baru.
Perayaan Jumat Agung pada 2 April 2010 menjadi perayaan terakhir di kapel yang pertama. Usai Ibadat Penghormatan Salib, umat bersama-sama memindahkan Salib dan perlengkapan lainnya ke kapel ‘darurat’ yang berjarak sekitar 4 km dari kapel yang pertama.
Perayaan Minggu Paskah pada 4 April 2010 menjadi Misa Perdana di Kapel ‘darurat’ beratap daun nipah.
Jumlah umat yang kian bertambah mendorong panitia pembangunan bersama umat untuk segera mewujudkan hadirnya gedung Gereja yang baru.
Romo Laurentius Rakidi selaku Pastor Paroki Talang Betutu kala itu memimpin Ibadat Peletakan batu pertama pembangunan gedung Gereja Katolik St. Paulus Sungai Lilin pada 28 Mei 2011.
Setelah melalui proses yang panjang dan atas dukungan banyak pihak gedung Gereja yang baru pun selesai dibangun dan diberkati oleh Mgr. Aloysius Sudarso SCJ pada 23 Juni 2013.
Salah satu yang ikut membantu adalah Albertus Gregori Tan. Melalui jaringan Program Peduli Gereja Katolik yang kini telah berubah nama menjadi Yayasan Vinea Dei, ia membantu menggalang dana dari banyak pemerhati sehingga kerinduan umat untuk dapat dengan nyaman merayakan imannya di dalam gedung Gereja yang baru pun terwujud.
Semua menjadi indah pada waktunya.
Menjadi pos pelayanan
Paroki St. Stefanus Talang Betutu melayani banyak Stasi yang tersebar di lima wilayah. Stasi terjauh dari pusat paroki berada di wilayah Kecamatan Bayung Lencir, dengan jarak mencapai lebih dari 230 Km.
Kondisi ini tentu membutuhkan pola pelayanan khusus agar reksa Pastoral dapat berjalan dengan baik. Akhirnya demi efisiensi dan efektifitas pelayanan, sejak Juni 2014 Stasi Sungai Lilin menjadi pos pelayanan pastoral bagi stasi-stasi yang ada di wilayah III Paroki St. Stefanus, yaitu:
- Stasi Santo Paulus Sungai Lilin.
- Stasi Santa Maria Ratu Rosario Karang Agung Ulu.
- Stasi Santo Thomas Air Tanggulang.
- Stasi Santa Maria Magdalena Sungai Jarum.
- Stasi Santo Lukas Mukut.
- Stasi Santo Petrus PTPN VII Bentayan.
- Stasi-stasi di wilayah IV yang berada di Kecamatan Tungkal Jaya dan Kecamatan Bayung Lencir.
Sejak saat itu, secara bergantian dalam rentang waktu tertentu imam akan tinggal di Sungai Lilin dan melayani umat di Wilayah III dan Wilayah IV.
Karena keterbatasan, maka Romo Laurentius Rakidi Pr, Pastor Paroki saat itu bersama umat berinisiatif untuk memanfaatkan sebuah ruangan gudang berukuran 4x4m yang ada di samping Gereja untuk menjadi tempat tinggal Romo.
Ruangan tersebut selain sebagai tempat tinggal juga sebagai ruang kerja, ruang pelayanan administrasi umat, ruang masak, ruang makan dan ruang rekreasi. Satu ruangan untuk semua aktifitas.
Terus berbenah nenata diri
Sebagai pos pelayanan umat Stasi Santo Paulus Sungai Lilin pun terus berbenah. Umat pun merencanakan untuk membangun sebuah Pastoran yang akan menjadi tempat tinggal bagi para romo yang berkarya di tempat ini.
Lagi-lagi secara swadaya umat kemudian berusaha menggalang dana untuk pembanguan pastoran.
Pada tanggal 3 Mei 2018, panitia menerima IMB Pastoran Sungai Lilin. Terbitnya izin ini ditanggapi dengan peletakan batu pertama oleh Romo Makarius Samandi pada 15 Agustus 2018.
Akhirnya, setelah melalui proses pembangunan yang melibatkan banyak orang, pada 26 Januari 2020 gedung Pastoran Sungai Lilin pun akan diberkati oleh Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, Uskup Keuskupan Agung Palembang.
Hadirnya gedung Pastoran tersebut tentu membawa sejumlah harapan dan fungsi.
- Pertama, menjadi tempat tinggal para romo yang berkarya dan melayani umat.
- Kedua, menjadi pusat kegiatan penggembalaan umat yang ada di wilayah III, IV dan V yang direncanakan akan menjadi satu unit pastoral pelayanan penggembalaan.
- Ketiga, karena letaknya hampir berada di pertengahan antara Palembang–Jambi, maka bisa menjadi tempat singgah dan istirahat bagi para romo atau umat yang sedang melakukan perjalanan dari Palembang ke Jambi atau sebaliknya.
- Keempat, sebagai antisipasi terhadap roda perkembangan pemerintahan daerah Kabupaten Musi Banyuasin yang merencanakan Sungai Lilin sebagai Ibukota Kabupaten baru.
Kawanan kecil menatap esok
Umat yang awalnya adalah kawanan kecil ini telah berkembang dari 6 KK menjadi 57 KK atau sekitar 230 jiwa.
Para perantau datang dari berbagai tempat, akhirnya para transmigran tak lagi merasa sendiri tetapi memiliki banyak saudara. Warna keragaman suku dan budaya begitu terasa. Ada Jawa, Flores, Batak, Timor semua menyatu dalam kebersamaan sebagai keluarga.
Banyak kisah telah terjadi, banyak mimpi yang masih hendak diwujudkan. Teladan hidup Santo Paulus yang militan, optimis, setia dan penuh daya juang menjadi kobaran semangat bagi seluruh umat untuk menyambut hari dengan penuh sukacita seraya mengucap syukur atas segala berkat yang Tuhan beri.
“Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” (2Korintus 4:7).