Home BERITA Kebiasaan Ngayah di Gereja-gereja Katolik Bali

Kebiasaan Ngayah di Gereja-gereja Katolik Bali

0
Tradisi kerja bakti sosial di kalangan masyarakat Bali dikenal dengan istilah ngayah. Tradisi ini juga tetap hidup di kalangan umat Katolik Bali. (Paulus Subiyanto)

BEBERAPA hari terakhir ini, segenap umat Stasi Cemagi, Mengwi, Bali, terlihat aktif terjun ke lapangan. Sama-sama ikut bergotong-royong membersihkan gedung gereja usai selesai direnovasi.

Tua-muda, laki-perempuan, menyingsingkan lengan baju bahu-membahu melakukan pekerjaan besar. Mereka terlibat aktif membersihkan gereja; memasukkan kembali semua perabot agar gereja bisa digunakan untuk merayakan Pekan Suci Paskah tahun 2023 ini.

Selama beberapa bulan terakhir ini, bangunan gereja direnovasi. Karenanya, umat melaksanakan kegiatan peribadatan sementara di taman doa.

Tradisi lokal “ngayah”
Dalam masyarakat Bali ada kebiasaan “ngayah”, yakni bergotong-royong tanpa dibayar untuk kepentingan hidup bersama dalam banjar atau desa.

Ngayah bersifat wajib dan mengikat untuk setiap warga; bahkan diterapkan denda atau sanksi bagi yang tidak hadir.

Rupanya kearifan lokal ngayah ini masih dilakukan juga oleh umat Katolik yang berlatarbelakang Bali seperti di Palasari, Tuka, Cemagi, dan yang lain.

Umat Stasi Cemagi di Bali tengah bergotong royong membuat penjor untuk menyongsong Pekan Suci. (Paulus Subiyanto)

Sepi ing pamrih, rame ing gawe

Pekerjaan-pekerjaan dalam gereja yang membutuhkan banyak tenaga dilakukan secara bersama-sama dengan semangat ngayah. Sudah barang tentu, semangatnya adalah “Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe.”

Tentu dalam lingkungan Gereja, tidak diperlakukan denda atau sanksi bagi umat yang berhalangan hadir.

Mungkin bagi orang moderen yang berpikiran praktis-pragmatis, ngayah dianggap tidak efisien dan hanya buang-buang waktu. Lebih baik bayar orang untuk melakukan pekerjaan otot semacam itu sehingga waktu bisa digunakan untuk melakukan pekerjaan lain yang lebih produktif.

Tentu ngayah tidak bisa dinilai hanya dari aspek ekonomis saja. Karena di sini ada nilai sosial -bahkan eklesial- di dalamnya.

Unsur-unsur seperti kebersamaan dan keterlibatan sangat kuat dalam kegiatan ngayah, bahkan semangat membangun jemaat yang guyub dan saling membantu mendapatkan wahana yang tepat.

Melalui ngayah, semua umat tanpa memandang status sosial terlibat, merasa punya peran dan arti dalam hidup menggereja.

Nilai-nilai keadaban publik

Ngayah juga menumbuhkan sense of belonging, rasa memiliki dan tanggungjawab terhadap keberlangsungan (sustainability) dan pengembangan (development) Gereja.

Suasana kesetaraan (equality) juga tercermin dalam kegiatan ini.

Dokumen Gaudium et Spes Konsili Vatikan II, menegaskan pentingnya pembangunan jemaat melalui paguyuban atau komunio.

Umat Katolik di Bali membuat penjor tunggul. (Paulus Subiyanto)

Paguyuban semacam ini membantu umat beriman untuk menemukan Yesus dalam keterlibatan nyata baik dalam diri sendiri atau orang lain.

Oleh sebab itu, kearifan lokal masyarakat Bali bernama ngayah ini layak untuk dilestarikan dalam konteks umat beriman Katolik. Tentu dengan memberikan makna baru yang relevan dengan iman dan ajaran Gereja.

Ngayah dilakukan bukan semata kewajiban atau menaati aturan, atau takut sanksi. Melainkan didasari kesadaran untuk berperan serta aktif dalam membangun jemaat umat Allah yang guyub dan saling mendukung.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version