KEBIASAAN, entah baik entah buruk, bisa menjadi kebudayaan. Kebiasaan berpikir kritis membentuk masyarakat yang kritis. Sikap tidak mau bekerja yang diulang-ulang menghasilkan budaya malas.
Kebudayaan itu menyangkut baik hal-hal internal mendasar maupun sisi luar atau lahiriah belaka. Ada orang yang suka mempertahankan budaya lahiriah yang sudah “out of date” alias tidak relevan. Tidak diperbarui.
Kaum Farisi dan para murid Yohanes bertanya kepada Yesus, “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (Mrk 2: 18).
Mereka ingin supaya para murid Yesus mengikuti kebiasaan mereka; berpuasa demi menaati aturan.
Sedangkan Yesus mengajarkan hal baru, yakni puasa yang meningkatkan relasi orang beriman dengan Tuhan.
Berpuasa itu bukan tindakan lahiriah, tetapi internal-rohaniah. Proses mendekatkan diri dengan Tuhan Allah.
Tuhan Yesus itu tanda kehadiran yang nyata di tengah umat manusia. Karena itu, ketika berada bersama dengan Dia tidak perlu orang berpuasa.
Yesus juga menegaskan bahwa orang tidak bisa menambalkan kain baru pada pakaian yang sudah usang. Kain yang baru akan merobek baju yang lama dan makin besarlah robeknya.
Dengan itu Yesus menegaskan bahwa untuk dapat menerima Dia orang mesti meninggalkan kebiasaan lama.
Inilah tantangan yang dihadapi banyak orang.
Ada orang Katolik yang masih hidup dalam mentalitas pra Konsili Vatikan II. Pergi misa hanya untuk memperoleh kesucian dan keselamatan pribadi, misalnya.
Padahal merayakan ekaristi berarti hadir bersama Kristus yang menyelamatkan dunia. Setelah itu siap diutus untuk membagikan keselamatan Kristus kepada sesama.
Senin, 17 Januari 2022