Minggu, 4 Januari 2015
Yes. 60:1-6.
Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13. Ef. 3:2-3a,5-6
Mat. 2:1-12
SETIAP manusia, pada dasarnya, memiliki kerinduan mendalam untuk mencari Tuhan.
Kerinduan ini terukir dalam hati, seperti nyala api kecil yang terus mendorong kita untuk menemukan makna hidup yang lebih besar dari diri sendiri.
Pencarian ini tidak selalu mudah, tetapi Tuhan, yang penuh kasih, menyediakan banyak jalan untuk menuntun kita kepada-Nya.
Dalam sejarah umat manusia, kita melihat berbagai cara bagaimana Tuhan membimbing manusia: melalui alam, akal budi, ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, bahkan melalui agama dan tradisi yang berbeda.
“Saya pada awalnya hanya mengantar teman yang mau ikut screening calon bruder di kongregasi ini,” kata seorang bruder.
“Waktu itu, hampir satu minggu saya menemani sahabatku yang mengikuti tes dan aneka kegiatan screening. Daripada sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa maka saya izin untuk ikut kegiatan, termasuk doa harian.
Pengalaman mengikuti aktivitas itu, membuatku bergejolak perasaanku dan ada rasa ingin tahu tentang hidup membiara. Saya mencoba menakar keinginan diri sendiri. Apakah aku pantas dan bisa menjadi seorang biarawan?
Pertanyaan itu, menuntun aku untuk mencari bimbingan dan kemudian berusaha kontak via surat dengan pimpinan biara. Melalui korenspondesi yang teratur saya mendapatkan dukungan dan bimbingan serta pengarahan hingga muncul tekad untuk menjadi seorang biarawan.
Kemudian saya memutuskan, melamar dan ikut test serta screening. Saya diterima dan menjalani hidup membiara hingga saat ini,” syering bruder itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada.”
Kisah orang Majus yang datang dari Timur untuk menyembah Yesus adalah gambaran bagaimana kebijaksanaan manusia dapat menjadi sarana untuk mengenali kehadiran Tuhan.
Orang Majus, yang dikenal sebagai orang bijak, menggunakan ilmu pengetahuan mereka tentang bintang-bintang untuk mencari kebenaran yang lebih dalam.
Mereka menyadari bahwa bintang yang mereka lihat bukan sekadar fenomena alam, melainkan tanda ilahi yang memanggil mereka menuju Sang Raja yang baru lahir.
Orang Majus menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya berakar pada akal budi, tetapi juga pada keterbukaan hati untuk mengenali Tuhan yang hadir di tengah kehidupan.
Mereka tidak berhenti pada pemahaman intelektual, tetapi membiarkan pengetahuan mereka membawa mereka kepada iman.
Mereka dengan rendah hati bersujud di hadapan Yesus dan mempersembahkan yang terbaik, emas, kemenyan, dan mur, sebagai tanda penghormatan dan kasih.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menggunakan pikiran, hati dan perasaanku dalam mencari Tuhan?