Senin, 11 Juli 2022
- Yes. 1:11-17.
- Mzm. 50:8-9,16bc-17,21,23.
- Mat. 10:34:11:1
KELUARGA jadi satu bagian penting dalam kehidupan seseorang. Banyak orang meletakkan kebahagiaan keluarganya di atas segala-galanya.
Dari keluarga seseorang pertama kali bisa merasakan cinta kasih yang tulus. Keluarga juga jadi tempat pertama kali seseorang belajar makna kehidupan.
Memiliki keluarga yang harmonis dan damai menjadi idaman setiap orang yang berkeluarga.
Tetapi, Yesus memberi gambaran tentang perpecahan dalam keluarga.
Ada banyak contoh kasus di mana seseorang yang beriman kepada Kristus dimusuhi, dikucilkan, dibuang oleh keluarga, dan bahkan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.
Seorang ibu mensyeringkan, bahwa pilihan mengikuti Yesus menjadi orang Katolik harus disertai pengurbanan yang tidak kecil.
Ia harus meninggalkan keluarganya karena orangtua dan saudara-saudaranya tidak bisa menerima keputusan yang dia pilih. Bahkan sempat dia digundulin, supaya tidak pergi kemana-mana tanpa menggunakan kerudung.
Bahkan orangtuanya melabrak sebuah keluarga yang dianggap mengajak ibu itu masuk Katolik.
Ia merasakan bahwa setelah memutuskan hidup sesuai dengan standar kebenaran Kristus, ejekan dan cemoohan serta permusuhan muncul dari orang-orang terdekat yang tidak bisa menerima keputusannya.
Ia sangat sedih tetapi tidak merasa dendam dengan perlakuan mereka.
Situasi yang dihadapi justru menantang dirinya bahwa mengikuti Yesus itu menuntut totalitas, bahwa Yesus harus menjadi yang paling utama di atas segalanya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.
Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.”
Yesus menggunakan gambaran keluarga untuk menjelaskan betapa pentingnya totalitas penyerahan diri kepada-Nya.
Ia menghendaki agar diri-Nya menjadi yang terutama di atas segalanya.
Ketika seseorang mengasihi keluarganya lebih daripada mengasihi Yesus, sebenarnya mereka tidak layak untuk Yesus.
Karena mengikut Yesus dibutuhkan komitmen, tekad, dan pengosongan diri hidup secara total bagi-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku lebih mengutamakan Tuhan daripada kepentingan keluargaku?