Home BERITA Kematiannya Bukan sebagai Tumbal

Kematiannya Bukan sebagai Tumbal

0
Ilustrasi - Manusia dijadikan kurban tumbal. (Ist)

Sabtu, 23 Oktober 2021

  • Rm. 8:1-11.
  • Mzm.24:1-6.
  • Luk.13:1-9

SETIAP manusia pasti memiliki “sisi gelap” di dalam dirinya masing-masing dan salah satunya adalah senang melihat orang lain susah. 

Penderitaan orang lain seakan menjadi penghiburan atas kehidupan yang tengah dijalaninya.

Penderitaan orang lain tidak sampai menggerakkan hati untuk berbelarasa, tetapi malah menjadi bahan omongan atau sekedar gosip.

Empati adalah kemampuan untuk memahami perspektif atau pandangan dari orang lain, seolah-olah kita menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan.

Jika kita bisa berempati dengan orang lain, kita tidak mudah menghakimi kesulitan dan penderitaan orang lain.

“Sampai sekarang saya masih sedih jika ingat omongan orang atas kecelakaan yang merenggut nyawa anakku,” kata seorang bapak.

“Ada orang-orang yang berkomentar sinis, tanpa memperhatikan perasaan kami sekeluarga,” lanjutnya.

“Mereka menyebarkan berita bahwa meninggalnya anakku karena sebagai tumbal atas usahaku,” katanya.

“Mereka berpikir bahwa musibah yang merenggut nyawa anak kami adalah karena dosa-dosa kami kami pada alam dan sesama,” ujarnya.

“Kematian anakku dianggap sebagai tumbal untuk memperlancar rezeki keluarga kami,” lanjutnya.

“Saya bekerja dengan benar, tidak pernah merugikan orang lain, bahkan banyak orang tertumpang hidupnya dengan bekerja bersama kami,” katanya lagi.

“Maka omongan bahwa anakku menjadi tumbal sungguh menyedihkan dan menyakitiku,” ujarnya.

Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian.

“Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah kurban yang mereka persembahkan. 

Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu?”

Yesus berkata bahwa bencana di Galelia bukanlah semata-mata sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka tetapi terutama sebagai peringatan kepada siapa saja bahwa hidup kita itu tidak pasti, tidak abadi.

Tuhan mengajak kita menerima tantangan dan menghasilan berkat. Kita hendaknya membuat hidup kita semakin berbuah dan bermakna.

Tuhan akan tetap bersabar dan memberi kita peluang, hingga akhirnya kita bisa berbuah.

Kesabaran Tuhan adalah suatu keajaiban, bagi kita yang mudah jatuh dan gagal dalam menghasilkan buah kebiakan dalam hidup ini.

Bagimana dengan diriku?

Apakah aku punya hati yang tulus bagi mereka yang menderita?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version