“Milik seluruh Bangsa Indonesia. Dari dulu sampai kapan pun”.
Itu sepenggal dialog di acara talkshow, suatu stasiun TV, 1-2 minggu sebelum HUT kemerdekaaan ke-77 RI.
Saya sepakat. Penonton juga mufakat.
Yang menjadi isu, kemudian, adalah bagaimana membuat agar seluruh Bangsa Indonesia menjadi pemilik bersama Kemerdekaan NKRI.
Salah satu pembicara lain menyahut dengan pas.
“Kemerdekaan menjadi milik seluruh bangsa, bila bangsa itu menerima, menghargai dan merayakan perbedaan.”
Belum usai.
“Perbedaan dalam bentuk dan macam apa pun, seperti agama, ras, suku, status sosial, dsb, harus diterima apa adanya, sebagai modal membangun sebuah negara-bangsa, Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity.”
Ada dua kata-kunci
“Rayakan perbedaan” dan “galang persatuan Indonesia”.
Yang pertama menjadi syarat mutlak. Yang kedua menjadi syarat perlu. Keduanya ak bisa dipisah-pisahkan.
Mungkin itulah mengapa Bung Karno mengucapkan pidatonya di depan Konggres Amerika tahun 1956 dan di depan Sidang Umum PBB tahun 1960. Pidato-pidato yang memukau seluruh pemimpin dan masyarakat dunia.
Bung Karno meletakkan sila “Persatuan Indonesia” yang disebutnya sebagai Nationality sebagai sila kedua setelah sila pertama: Believe in God (Ketuhanan).
Berturut-turut kemudian Humanity (Kemanusiaan), Democracy (Kerakyatan), dan Social Justice (Keadilan Sosial).
Ya, “Persatuan Indonesia” diletakkan sebagai sila kedua.
Menjadi jelas mendengar uraian Dr. Baskara T. Wardaya SJ, ahli sejarah dan dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta di sebuah seminar di Jakarta, 2 Juni 2017.
Bung Karno “sengaja” meletakkan Nationality pada urutan kedua karena, Nationality atau Kebangsaan atau Persatuan Indonesia, adalah prinsip dan syarat yang sangat penting dalam penghayatan dan pencapaian kita sebagai warga negara dari sebuah nation state.
Setelah tujuh puluhtujuh tahun merdeka, bentuk masyarakat mulai menyesuaikan mengikuti pilar ideologis bangsa, yaitu Pancasila.
Suka atau tidak, setuju atau tidak, tatanan masyarakat, yang terdiri dari “keluarga-keluarga baru”,yang lahir setelah kemerdekaan, perlahan-lahan mulai menemukan bentuknya.
“Rayakan perbedaan” dan “galang persatuan”, bertahap mewujud dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia.
Banyak kisah sukses, tak sedikit kurang sukses atau bahkan gagal.
Salah satu kisah nyata yang tergolong sukses dan mendekati ideal dialami oleh keluarga sahabat saya satu angkatan dan jurusan, ketika kami kuliah di Bandung.
Kami punya panggilan lain, tapi teman-temannya asal Surabaya memanggilnya Anto.
Anto sering bangga menjadi bagian dari “Pemuda Perak Surabaya” yang katanya patriotis dan nasionalis.
Anto etnis Jawa, Islam, berkulit legam, dengan penampilan jauh dari necis. Setelah lulus, lama kami berpisah.
Jumpa lagi sekian puluh tahun kemudian. Anto kelihatan lebih parlente. Kariernya mulai mapan.
Yang menarik adalah Ita, isteri Anto. Ia berboru Siahaan, Protestan, dan aktif sebagai umat di GKI Maulana Yusuf, Bandung.
Mereka bertemu saat sama-sama aktif sebagai anggota GMNI di Bandung, tahun 1970-1980.
Dengan nada bangga, Anto bercerita bahwa seluruh keluarga besarnya asal Surabaya, termasuk ibu mereka (Anto menyebut ibunya sebagai taat Islam banget) sudah menunaikan Rukun Islam yang kelima.
Belum selesai.
Semasa kecil, kedua puteri-putera mereka, sekolah di lingkungan Katolik.
“Untuk menata disiplin dan tanggungjawab, serta kejujuran dan kasih.”.
Saat ini, puteri sulung Anto, penganut taat Adven, tinggal di Madiun.
Mereka merayakan Sabtu sebagai Hari Sabat, persis seperti yang jamak dilakukan bagaimana “Hari Sabat” dimuliakan.
Putera bungsu Anto dikenal aktivis Gereja Mawar Sharon, suatu aliran Teologi Kharismatik Pentakosta. Selain pendoa, ia memberikan pelayanan sosial di daerah Jabotabek.
Ada kisah lain yang senada. Kali ini tokohnya seorang komedian ternama, Desta.
Dalam suatu tayangan podcast Deddy Corbuzier, Desta menceritakan tentang dialog menarik dengan gurunya.
Ibu saya Nasrani. Ibu saya baik sekali sama anaknya. Sampai sekarang, ketika kami sudah menikah.
Dia begitu baik, masa saya harus berpendapat bahwa ibu saya tidak akan masuk surga.
Jawaban sang guru tak kalah menarik.
“Kamu ngga boleh punya pemikiran seperti itu. Antar ibu kamu ke gereja. Sebagai anak, kamu harus berbakti sama orangtua kamu. Itu tugas kamu sebagai anak. Urusan surga neraka bukan urusan kita. Itu urusan Allah.”
Terus terang, saya terhenyak mendengar petuah sang guru yang begitu mengesankan.
Masih banyak (sekali) pelangi indah di dalam keluarga Indonesia, seperti Anto dan Desta.
Sukunya beragam, agamanya idem ditto. Plus masih banyak variabel lain yang beraneka-rupa.
Mereka merayakan perbedaan dalam persatuan keluarga beriman yang kokoh. Inilah Indonesia.
Anto dan Desta belum pernah bertemu untuk merumuskan bagaimana caranya “merayakan perbedaan” dan “menggalang persatuan”.
Tapi langkah mereka seirama.
Mengingkari perbedaan dan kemudian menolak persatuan, identik dengan menggali kubur sendiri.
Pesan utama, mari susun bangunan Indonesia dengan menempelkan keping-keping yang berbeda menjadi lukisan mozaik yang indah dan kokoh perkasa.
Seberapa pun sederhananya, akan membuat Indonesia menjadi kuat dan sejahtera.
“The country is our home to be decorated with bits of accomplishments to commemorate its independence.” (AVM)
“Hiduplah Indonesia Raya.”
pmsusbandono
24 Agustus 2022