Kadang memang persahabatan itu terjadi bukan karena diundang atau diharapkan. Persahabatan itu mengalir bagaikan air sungai secara alamiah. Beberapa bulan yang lalu seorang bapak datang ke kantor paroki mau curhat.
Tanpa sungkan dia mengungkapkan kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Antara dia dengan isterinya terbentang suatu “jurang” terjal yang barangkali sudah agak sulit dipersatukan kembali. Di lain pihak saya hanya mendengar, mendengar dan mendengarkan saja.
Setelah ia puas melontarkan isi hatinya, kemudian saya hanya mengajukan dua pertanyaan kepadanya: “Apakah kamu masih mencintai isterimu dan apakah kamu masih mengharapkan bunga itu mekar kembali.”
Dengan sedikit malu ia menjawab “YA” untuk kedua pertanyaan saya. Kemudian
saya tutup pertemuan itu dengan doa dan berkat. Ada rasa keanehan karena ia sama sekali tidak membuat tanda salib. Pikiran saya ia tidak pernah ke Gereja sehingga sama sekali tidak tahu buat tanda salib.
Begitulah ia selalu datang untuk curhat sekali seminggu dan saya pun banyak tahu perkembangan suasana keluarganya.
Mengakhiri pertemuan saya selalu menutup dengan doa dan berkat dan selalu terjadi keanehan di mana ia tidak membuat tanda salib. Saya tidak terlalu pusing karena tujuan utama saya ialah mengutuhkan kembali bahtera itu. Karena saya merasa ada titik cerah bunga itu akan mekar kembali, saya memintanya datang bersama dengan isterinya.
Benar minggu berikutnya mereka datang bersama. Saya melihat raut wajah mereka yang tenang, sejuk dan penuh senyum. Hal itu pertanda bahwa riak dan badai keluarga itu barangkali sudah berlalu. Akhirnya memang, mereka sepakat kembali merajut kasih, menyulam cinta dan menyiram bunga yang sempat layu itu. Pertemuan ini pun saya akhiri dengan doa dan berkat.
Lagi-lagi saya heran, mereka berdua tidak membuat tanda salib. Merasa inilah pertemuan terakhir, saya beranikan diri untuk bertanya, “Mengapa kalian tidak membuat tanda salib?”
Dengan senyum mereka menjawab, “Kami bukan katolik pastor. Kami adalah protestan.” Saya berteriak dalam hati, “Oh my God.” Kemudian spontan saya mengatakan, “Kemesraan ini janganlah berlalu.” Mereka menjawab, “Ia pastor persahabatan dan persaudaraan kita akan tetap berjalan walau kita berada di rel yang berbeda.”
******
Saudara-saudari terkasih dan teman-teman sekalian. Sederhana saja mau saya ungkapkan bersaudaralah dengan semua orang. Jalinlah persahabatan tanpa memandang bulu; apa agamanya, siapa orangnya (kaya, miskin, terpandang, hebat, terkenal, dst). Kasih itu melewati batas dan sekat suku, agama, bengsa dan budaya. Janganlah alergi bila mendengar tentang atheis, jangan juga muak bila berbicara tentang Protestan atau Islam. Jangan ciptakan “bingkai” dalam hati yang mengajak kita untuk menanam kebencian satu sama lain.
Jangan juga menanamkan dalam hati bahwa mereka yang tidak se-perahu dengan kita adalah musuh. Ini tidak bagus untuk generasi muda kita nantinya. Benar bahwa terjadi gesekan dan salah pengertian di antara agama, suku yang berbeda, tetapi mari kita berdoa supaya masalah itu bukan “memblok” usaha damai dan kasih itu.
Mari kita jadikan agama kita menjadi pelopor, perdamaian, keadilan, persaudaraan dan persahabatan dengan siapapun bahkan dengan alam semesta. Bukankah Yesus mengajak kita untuk saling mengasihi dan bahkan mengasihi dan mendoakan para musuh-musuh dan yang menganiaya kita?
Dosen sosiologi saya, seorang Yahudi pernah mengatakan, “Fakta yang kita hadapi sekarang ialah pengkotak-kotakan yang nyata baik oleh status, tingkat ekonomi (miskin-kaya), budaya, kasta, dan tidak mustahil oleh agama yang berbeda. Yang satu merasa lebih hebat, pintar, luhur, terjamin, kudus, benar daripada yang lain. Hanya satu mungkin yang bisa mempersatukan kita kembali, yakni kalau alien dari planet lain menyerang dunia dan umat manusia, dan kita pasti bersatu melawannya. Intinya janganlah karena keterpaksaan maka saling menghormati, saling membutuhkan dan saling mendukung itu terjadi tetapi karena kita memang sungguh saling membutuhkan sebagai umat manusia dan terlebih sebagai saudara. Semoga.