Home BERITA Kempling Itu Mengkilat

Kempling Itu Mengkilat

0
Sepatu kempling by Surya Malang

BANYAK orang tahu, “kempling” artinya mengkilat. Kosa kata Bahasa Jawa yang jamak dikenal orang. Sinonim yang jarang didengar adalah “meling-meling”.

“Kempling” biasanya untuk benda. “Meling-meling” juga untuk merujuk sikap dan sifat manusia.

Orang disebut “meling-meling” karena mempunyai sikap dan sifat terpuji. Auranya memancar. Bakatnya menonjol, allround. Nasib baik selalu menyertainya. Lebih dalam lagi, dia terberkati. “She (or He) is blessed”.

“Kempling” yang ni adalah nama panggilan untuk sahabat saya sejak 45 tahun lampau. Diharapkan dia memenuhi keduanya. Ya kempling, ya meling-meling.

Nama aslinya sudah dilupakan orang. Tak apa, “Kempling” menggantikan sejuta nama dan makna.

Minggu lalu, Kempling menyapa saya di grup WA alumni. Nadanya galau. Dia nitip sesuatu untuk ditulis dan disebarkan.

Tujuannya untuk menarik perhatian dan menggugah keprihatinan lebih banyak orang.

Kempling sedang gemes dengan perilaku masyarakat kita. “Kempling gusar terhadap budaya masyarakat yang kontra produktif”.

Katanya, banyak “people behaviour” yang kurang beretika. Mereka tidak memikirkan kepentingan orang banyak. Peraturan dilanggar, norma dipinggirkan, kebersihan dan estetika tak dihiraukan.

Kesantunan dan akal sehat dibuang entah ke mana.

Kempling memberi beberapa contoh, yang sudah sampai taraf menyedihkan.

Lihat saja sikap pengendara mobil dan motor. Penyeberang jalan yang sudah berada di tengah zebra cross tak diberi kesempatan untuk lewat. Karena merasa kuat, mereka tak peduli dengan kepentingan orang banyak. Keselamatan orang lain diabaikan. “Homo homini lupus”.

Masih tentang perilaku ugal-ugalan di jalan raya. Lihat saja drama yang kerap terlihat di pinggir jalan. Pengendara motor dan pedagang kaki-lima menguasai trotoar.

Sejatinya mereka tak berhak. Kalau tak ingin celaka, pejalan kaki yang empunya hak, harus mlipir mencari daerah aman. Tersisih dan sulit bergerak. “Sudah jatuh tertimpa tangga”.

Belum lagi pemandangan tak sedap tentang kendaraan yang melawan arus, menyerobot rambu-rambu atau motong jalan kendaraan lain seenak sendiri. “Ini dadaku, mana dadamu?”.

Tak hanya di jalan raya, di gedung mewah pun banyak yang tak peduli kepentingan bersama. Simak saja yang akan masuk lift.

Mereka menunggu persis di depan pintu. Saat lift terbuka, terjadi chaos. Yang di dalam tak bisa keluar, yang di luar tak bisa masuk. Kemruyuk. Pelayanan tertunda. Semua rugi.

Kisah lain adalah tentang rapuhnya orang dalam menjaga kebersihan. Pagi-pagi buta, pengendara motor dan mobil membawa kresek berisi sampah rumah-tangga.

Mereka membuangnya begitu saja di pinggir jalan sepi yang dilaluinya. Kejam sekali. Entah kemana larinya nasehat bijak soal betapa utamanya kebersihan.

“Kebersihan pangkal kesehatan” atau “Kebersihan adalah sebagian dari iman”.

Mungkin itu yang dimaksud Kempling dengan contoh “perilaku publik yang menyedihkan”. Kisah-kisah yang jamak terjadi di masyarakat. Semakin ke sini, bukan membaik, malah menjadi beragam dan parah.

Masih banyak kisah senada yang sering terlihat. Sering kita mengecamnya, kadang terlibat di dalamnya.

Meski banyak yang tahu bahwa itu kebiasaan jelek atau bahkan jahat, namun hanya sedikit yang berusaha menghentikannya, apalagi memperbaikinya.

Nampaknya Kempling sudah putus asa. Moga-moga tak sampai frustasi. “Kempling yang meling-meling, maaf, saya hanya bisa menulis. Saya tak mampu meredakan kegalauanmu”.

Saya menilai, rasa marah Kempling hanya berkutat di “lingkaran peduli”, yang lebih kecil dibanding “lingkaran pengaruh”.

Orang peduli sesuatu belum tentu mampu mempengaruhi sesuatu itu sampai berhasil memperbaikinya.

Yang harus dilakukan adalah memperbesar “lingkaran peduli” hingga mendekati atau menyamai “lingkaran pengaruh”.

Bila semakin banyak hal-hal yang dipedulikan bisa dipengaruhi perbaikannya, oleh semakin banyak orang, niscaya keadaan akan lebih baik.

Ada resep laris untuk mengatasi banyak macam jenis masalah. Seperti “obat sapu jagad” saja. “Kata ajaib” itu adalah “pendidikan”.

Kelihatannya sederhana, mudah dan cepat, karenanya orang sering terjebak dalam proses simplifikasi.

Pendidikan baru dikatakan mumpuni bila efektif dan bermartabat.

Pendidikan yang ideal harus dilakukan kolaboratif oleh empat pilar, yaitu keluarga, masyarakat, organisasi dan negara. Salah satu pilar absen, proses mahal tu, akan gagal menuai hasil. Aspek lain, ia harus holistik mencakup atitude, knowledge dan skill.

Dari sanalah, kemudian, empat pilar bergandengan tangan memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Negara membuat sistem, karena “system creates culture”.

Sistem yang benar-benar tegak mampu menertibkan perilaku masyarakat.

Organisasi merancang “great business process”, karena praktik yang sehat dalam organisasi ikut membangun karakter para anggotanya.

Masyarakat berperan aktif mendukung dan mengawasi, karena fungsi sosial beserta sanksinya mampu mengubah perilaku seseorang.

Dan last but not least, keluarga menciptakan kesantunan dan akal-sehat bagi anggotanya. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terbentuk dalam institusi terkecil ini.

Keluhan lempling tak mudah dipecahkan. Kegalauannya belum juga terobati. Pembentukan budaya adalah proses yang makan waktu, mahal dan terus menerus. Perlu tekad yang konsisten dan konsekuen dari semua elemen masyarakat.

“Sebuah bangsa dapat dibangun hanya melalui budayanya. Sementara budaya lahir dan besar karena kesadaran manusia-manusianya”. (Anonim)

@pmsusbandono, 10 Desember 2019

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version