Home BERITA “Kemuning, Mempelai Berkalang Luka”, Theodicea dalam Paparan Kata dan Kekocakan untuk Sinergi...

“Kemuning, Mempelai Berkalang Luka”, Theodicea dalam Paparan Kata dan Kekocakan untuk Sinergi Lintas Kelompok

0
Drama musikal bertitel "Kemuning, Mempelai Berkalang Duka" naik pentas di Jakarta tanggal 11-12-Mei-2019. Drama teater ini hasil besutan sutradara Romo Harry Sulistyo, Ketua Komisi Komsos KAJ dan Pemimpin Umum Majalah Hidup. (Mathias Hariyadi)


PAHAM fundamental iman kristiani mengatakan bahwa Allah itu baik, pemurah, pengampun dan pada semua kategori sifat Allah itu senantiasa erat melekat kata “maha”.

Namun, konsep iman ini tidak berlaku lagi bagi Mawar, perempuan korban perkosaan massal sehingga ia mengandung the unwanted child di dalam rahimnya.

Jiwa Mawar bergolak hebat. Pikirannya memberontak. Ia langsung menegasi semua paham fundamental iman Kristiani itu. Semua pemberontakan itu sampai berujung pada pertanyaan eksistensial. Maka, Mawar pun lalu bertanya demikian ini.

“Bagaimana mungkin Alllah yang konon sering disebut begitu ‘maha’ dalam segala hal itu sampai tega hati telah menanamkan benih kehidupan (baca: janin) dalam rahimku dan kehadiran janin itu tanpa pernah ‘aku setujui’ sebelumya.”

Theodicea

Pertanyaan macam itu akan selalu menggelayuti setiap orang, setiap kali dia mengalami penderitaan, apa pun itu bentuknya.

Dalam teologi, diskursus tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental yang menyangkut pokok iman yang dikonfrontasikan dengan keberadaan penderitaan itu masuk dalam khasanah Theodicea.

Inti Theodicea sama yakni mempertanyakan segala ke-maha-an Allah (yang baik, berbelas kasih, pengampun, dll), tapi toh terkesan sengaja telah “membiarkan” penderitaan itu menimpa manusia.

Berkat nasihat-nasihat dokter, suster biarawati, dan pastor, maka –singkat cerita— Theodicea yang telah mendera Mawar itu berakhir happy-ending.

Ia melahirkan bayi –the unwanted child– itu dengan selamat dan kemudian anak “haram jadah” ini diadopsi oleh sebuah keluarga tanpa keturunan.

Kilas lanjutannya adalah Mawar berhasil “lahir kembali” menjadi “perempuan baru”.  Ia sukses hingga pergi melalang buana, meninggalkan Indonesia dan tinggal di Amerika meniti kesuksesan hidup di sana.

Cinta itu sungguh buta

Sungguh tak dinyana bahwa Kemuning mengalami kisah kasihnya dengan Xiaodan.

Selain beda etnis, keduanya juga “terpisahkan” oleh segregasi keyakinan iman. Karena itu, meski cinta mereka tak bertepuk tangan sebelah, namun derita batin Kemuning kian memuncak ketika kedua orangtuanya menolak kehadiran Xiaodan menjadi menantunya.

Begitu pula, Xiaodan harus menelan derita batin, ketika kedua orangtuanya menolak punya calon menantu beda keyakinan agama.

Dan penderitaan Kemuning itu semakin memuncak, saat di ujung kisah drama musikal bertitel Kemuning, Mempelai Berkalang Luka ini, teka-teki tentang siapa sebenarya ibu kandungnya mulai terkuak.

Rahasia keluarga itu pun tersingkap sehingga hal ini sungguh merupakan pukulan telak yang menohok kalbu. Tidak hanya bagi Kemuning, namun juga bagi Mawar.

Ada dua pokok “kabar sedih” ketika rahasia keluarga ini tersingkap bagi Mawar dan Kemuning dan itu menyentak kalbu, menggores luka tajam di sanubari keduanya.

Kemuning memberontak terhadap kenyataan bahwa ia anak haram jadah, menjalin cinta dengan saudara sekandung.
  • Ternyata, Mawar itu adalah ibu kandung Kemuning, sang ibu yang telah tega hati mencampakkannya keluar dengan tidak mau ngopeni namun memberikan “bayi” haram jadah ke keluarga lain.
  • Ternyata, Xiaodan itu adalah anak kandung pertama Mawar yang entah kenapa dinyatakan “hilang” saat terjadi kerusuhan sosial.
  • Ternyata, romansa Xiaodan dan Kemuning itu bagaimana pun juga harus segera berakhir karena keduanya adalah anak-anak kandung Mawar, lahir dari Rahim yang sama, meski berasal dari benih lelaki yang berbeda.

Itu adalah sebuah fragmen kehidupan keluarga yang bisa jadi  menelorkan diskursus theodicea yang rumit. Terutama, ketika fragmen tersebut merupakan peristiwa riil dan benar-benar telah terjadi “menimpa” sebuah keluarga di masyarakat.

Berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu

Apa pun solusinya, sang sutradara Romo Harry Sulistyo Pr – Pemimpin Umum Majalah Hidup dan Ketua Komisi Komsos KAJ- telah bisa dengan cerdik meramu konklusi diskusi theodicea ini dengan sebuah kesimpulan menarik.

Dan itu ditarik dari omongan Kemuning di ujung akhir pentas drama musikal sepanjang hampir 2,5 jam tanpa jeda ini.

Di panggung utama dan di tengah pentas, ibu dan dua anak kandung itu saling berdiri berangkulan tangan.

Pentas drama musikal “Kemuning Mempelai Berkalang Luka” – Kisah romansa terlarang antara Xiaodan dan Kemuning. (Mathias Hariyadi)

Tampaknya konklusi berkalimat “berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu” menjadi kunci mengapa ketiga manusia yang disaput theodicea itu akhirnya bisa saling berangkulan dan –seakan mau “melupakan masa lalu”—lalu beringsut bersama menjadi sebuah “keluarga baru”.

Meski harus berpisah sebagai kekasih, demikian kata Kemuning, namun tetap saja ada bias-bias kisah kasih masih terenda baik di hatinya. Dan Kemuning pun menggulung senyum.

Sinergi bersama

Pentas drama musikal Kemuning, Mempelai Berkalang Luka ini dalam proses produksinya telah melibatkan banyak orang. Kita mesti tak lupa menyebut Ria Probo yang tampil gemilang membawakan sosok perempuan muda yang rentan oleh theodicea bernama Mawar.

Sudah sejak 20 tahun silam, Ria Probo sudah sangat berjaya dengan dunia teater, berkat keterkaitannya dengann Bengkel Teater besutan WS Rendra. Karena itu, ia sangat menguasai panggung, piawai memadukan acting dengan “akrobat” suara ketika menyanyikan syair-syair lagu.

Di panggung juga ada Yatti Surachman, aktris layar lebar, yang kali ini bermain sebagai suster biarawati. Lalu juga ada dua pastor beneran yang didapuk menjadi imam “tukang kotbah” demi menenangkan jiwa Mawar yang bergolak dan lainnya harus menjadi “pseudo Xiaodan” yang oleh sang sutradara dikasting harus gagal mencuri cinta Kemuning.

Sebagai hiburan, sutradara Romo Harry Sulistyo asyik mengambil model-model gurauan slapstick kemasan khas yang biasa dibesut oleh Teater Koma dan Teater Gandrik di atas pentas.

Dan peran-peran dengan karakter perangai oon ini dengan apik telah ditorehkan oleh para pasien gendheng yang mahir berkata-kata lucu, berperingai kocak, dan meramu diri dengan khasanah berbahasa Sunda dan Jawa koek model Banyumasan yang ciamik.

Siapa sangka bahwa salah satu pasien gila dengan dandanan super norak itu bernama Herman, sementara dia melakoni peran sebagai perempuan dengan orientasi seks berbeda.

Kegilaan Herman yang suka menyebut dirinya bernama “Incest” ini membetot tawa penonton, termasuk duet pembantu perempuan yang satunya super genit, sementara lainnya super sewot.

Dan siapa sangka bahwa salah satu di antaranya itu adalah dokter spesialis RS Sint Carolus Jakarta.

A happy ending story — akhirnya ketiga pemeran utama yakni Mawar, Kemuning, dan Xiaodan bersedia menerima kenyataan dan memulai merajut hidup baru. (Mathias Hariyadi)
Pentas drama musikal ‘Kemuning Mempelai Berkalang Luka” di ujung pementasan. (Mathias Hariyadi)

Merangkul banyak orang

Pentas drama musikal Kemuning, Mempelai Berkalang Luka ini boleh disebut sebagai projek membangun sinergi bersama antara pihak hirarki Gereja Lokal bernama Keuskupan Agung Jakarta melalui Komisi Komsos-nya dengan elemen-elemen Umat Katolik yang eksis di panggung kehidupan yang berbeda.

Mereka yang dijawil mesra oleh Komisi Komsos KAJ ini dalam projek melahirkan proses kreatif seni drama teater ini adalah para artis, seniman teater, penyanyi, mahasiswi Akademi Sekretari Tarakanita, siswi-siswi SMA Tarakanita “Tarqi”, murid-murid SD-SMP besutan para suster CB, dan yang tak boleh ketinggalan perawat dan dokter di lingkungan kerja RS Sint Carolus Jakarta.

Ref: Daftar pemain dan hal-ikhwal drama musikal ini bisa diakses di tautan berikut:

https://issuu.com/home/published/kemuning_booklet_preview_020519/file

Mahfum jadinya, kalau pentas drama musikal Kemuning, Mempelai Berkalang Luka ini merupakan aksi nyata kepedulian KAJ untuk membantu para suster CB mengukir sejarah karya kesehatan baru mereka di Pulau Nias, Keuskupan Sibolga, Sumut.

Apalagi, kalau karya baru ini juga masuk rangkaian kisah sejarah peringatan 100 tahun Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta yang diampu oleh para suster CB.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version