MINGGU BIASA 22, B; 30 Agustus 2015
Ul. 4:1-2.6-8; Yak. 1:17-18.21b-22.27; Mrk. 7:1-8.14-15.21-23
Najis dalam pengertian orang Yahudi adalah keadaan tidak bersih yang membuat manusia tidak layak untuk menghadap Allah dan berkumpul untuk beribadat bersama umat lain. Hal yang membuat manusia menjadi najis ialah menstruasi, habis bersetubuh, sakit kusta, bersentuhan dengan orang atau barang najis, makan babi atau makanan najis. Jadi yang membuat manusia menjadi najis adalah keadaan fisiknya, bukan nilai tindakannya, baik atau buruk. Jadi perempuan yang sedang menstruasi atau orang sakit kusta, pasti bukan karena kesalahannya, menjadi najis, tidak boleh beribadat; yang menurut pandangan orang Yahudi, tidak dapat memperoleh keselamatan. Sehingga akhirnya agama dilihat sebagai sejumlah tata ibadat yang harus dipenuhi untuk dapat selamat. Dalam kerangka pemahaman ini, Yesus mencela orang-orang Parisi dan Akhli Taurat. Sebagai lawan kenajisan badan, Yesus menunjukkan kenajisan yang sesungguhnya, kenajisan yang keluar dari hati yang jahat. Yang aneh, Yesus tidak menunjuk pada pelanggaran 10 Perintah, tentang ibadat, menyebut nama Tuhan dengan tidak hormat, Yesus hanya menyebut praktek-praktek pelanggaran perintah membunuh, mencuri, cabul, jinah dan hal-hal negatip lain, seperti licik, hawa nafsu, iri hati, hujat, sombong dan bebal. Singkatnya, Yesus menunjukkan hal-hal yang merusakkan hubungan manusia dengan sesamanya, sebagai hal yang menajiskan manusia; yang membuat manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah.
Sekarang ini, kita tidak punya masalah tentang kenajisan badan. Tetapi kita punya masalah dengan kesalehan. Kita menilai orang berdasarkan kesalehannya, praktek ibadatnya. Yang rajin doa, misa dan pertemuan lingkungan, dipandang baik. Yang aktip di Gereja, baik. Yang tidak seperti itu, seringkali dipandang jelek, salah. Kita masalahkan tempat mimbar, sikap lektor dan putra altar dsb. Hal ini tidak mengherankan. Kita menilai saudara-saudara kita seiman, berdasarkan apa yang kita lihat dari dia. Yang kita lihat adalah sejauh mana kita bertemu dengan dia; dalam lingkup hidup kita sebagai orang Katolik, di sekitar Gereja. Pesan Yesus hari ini menyadarkan kita, bahwa bukan itu yang dinilai penting oleh Tuhan. Bagaimana hati kita, itu yang penting. Tetapi dengan demikian, ada masalah: apakah ibadat dan kegiatan di Gereja, tidak penting? Yang aktip dan yang malas, sama saja di mata Tuhan?
Tentu bukan demikian. Yesus menanggapi sikap orang Parisi dan Akhli Taurat, yang menekankan, asal sudah menepati peraturan najis dan halal, sudah beres di hadapan Tuhan. Yesus menunjukkan masih ada hal lain, perhatian dan hubungan baik dengan sesama, juga penting. Hukum najis dan halal bertujuan untuk menjaga kemurnian iman bangsa Israel di tengah-tengah bangsa-bangsa lain yang tidak menyembah Allah. Juga menjaga kemurnian badan mereka. Tindakan-tindakan dosa tertentu membuat manusia menjadi najis. Kalau hubungan sex saja menajiskan, apa lagi jinah. Masalahnya timbul karena bangsa Yahudi tidak hanya merasa beda dengan bangsa-bangsa lain, tetapi melihat diri lebih baik dan menjadi puas diri. Saya lebih baik dari yang lain; jadi saya selamat. Doa, ibadat dan kegiatan di Gereja, tentu sangat baik. Kesalehan hendaknya membuat kita menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan bukannya membuat kita menarik garis pemisah antara kita dengan sesama. Saya baik, kamu dan mereka, jelek.
Qi Gong adakah seorang pelukis kaligrafi ternama; tidak sedikit orang yang meniru tulisannya untuk dijual di pasar. Suatu saat dia bersama temannya berjalan-jalan dan melewati sebuah toko yang khusus menjual tulisan dan lukisan orang ternama. Ketika Qi Gong memasuki toko tersebut bersama temannya, seseorang datang ke toko dan bertanya, “Saya mempunyai tulisan asli Qi Gong, apakah ada yang mau?” Qi Gong berkata, “Coba kamu ambil agar dapat kulihat?” Orang itu memberikan selembar tulisan kepadanya. Saat itu, orang yang datang bersama Qi Gong bertanya kepada penjual tulisan, “Apakah kamu mengenal Qi Gong?” “Kenal, dia adalah guru saya.” Jawabnya lugas. Teman Qi Gong langsung bertanya, “Saudara Qi, apakah kamu mempunyai murid seperti ini?” Begitu mendengar, pemalsu itu langsung tahu bahwa di depannya adalah Qi Gong asli. “Sungguh-sungguh saya melakukan hal buruk ini karena keadaan saya yang miskin, harap Tuan mengampuni saya.” Nadanya memohon. Qi Gong berkata,”Kalau karena keadaan yang memaksa, tetap tirukan saja, asal tidak boleh menggunkannya untuk melakukan hal-hal jelek dan berlawanan dengan pemerintah.” Orang tersebut langsung menundukan kepala dan pergi. Teman Qi bertanya,”Kenapa kau biarkan dia pergi?” Dengan nada bercanda, Qi berkata,”Kalau tidak melepaskan dia, memangnya mau diserahkan kepada yang berwajib? Orang lain menggunakan nama saya, karena dia memandang saya, apalagi, dia pasti hidup dalam kekurangan. Seandainya dia datang kepada saya untuk meminjamkannya uang, bukankah aku harus meminjamkan uang kepada dia?” Sungguh-sungguh bertoleransi dan berbesar hati dapat dikatakan sebagai batas tertinggi dalam hubungan antarsesama.[1] “Mengembangkan hubungan perseorangan yang baik, harus memiliki hati yang lapang, ramah dan toleransi.” – Sheng Yen –1
Yang dilihat Tuhan, bukan berapa banyak tindakan kesalehan kita, tetapi sikap hati kita, yang penuh cinta dan merangkul sesama. Berpusat pada Allah, menjadikan sesama lebih penting dari pada diriku; itu jalan keselamatan. Dari hati yang bersih akan mengalir kasih kepada Allah dan sesama. Amin.
[1] Today’s insight: Mengapa Harus Berhati Sempit?