Kamis, 9 Januari 2025
1Yoh. 4:19-5:4.
Mzm. 72:2,14,15bc,17.
Luk. 4:14-22a
SETIAP orang hampir pasti punya kerinduan untuk pulang kampung. Pulang bukan sekadar perjalanan fisik menuju tempat kelahiran, tetapi sebuah perjalanan hati yang sarat dengan makna
Kerinduan untuk pulang sering kali muncul bukan karena fisiknya, tetapi karena memori dan perasaan yang melekat di dalamnya. Ada rasa rindu pada aroma masakan ibu, tawa keluarga di ruang tamu, atau bahkan pada jalan setapak yang dulu sering kita lalui.
Kampung halaman membawa kita pada rasa aman dan damai, sebuah tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri tanpa topeng.
Namun, di balik kerinduan ini, ada juga pesan mendalam: pulang kampung mengingatkan kita untuk kembali ke akar, kembali kepada nilai-nilai yang membentuk siapa kita.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sibuk, kerinduan ini seolah menjadi panggilan untuk berhenti sejenak, merenung, dan mensyukuri perjalanan hidup kita.
Ketika peristiwa “kembali” itu terlaksana, suasana yang diharapkan terjadi adalah perjumpaan yang hangat, banyak cerita dan canda tawa yang menggembirakan.
Yesus pun kiranya mengharapkan demikian. Ia kembali ke Nazaret, tempat Ia dibesarkan. Setelah dibaptis dan berpuasa di padang gurun dan sebelum meneruskan karya-Nya, Ia pulang kampung.
Tentu bukan untuk pamer tetapi Ia ingin agar orang-orang Nazaret menerima pengajaran-Nya dan mengalani mukjizat-mukjizat-Nya sebelum orang-orang yang lain.
Yesus berharap agar kedatangan-Nya mendapatkan sambutan hangat, bukan demi diri-Nya sendiri tetapi demi keselamatan mereka.
Sayang, harapan-Nya itu tidak terwujud. Meski mereka sempat membenarkan dan mengagumi-Nya, namun sekaligus mereka meragukan dan meremehkan-Nya. Bahkan, mereka mengusir-Nya dan hendak melemparkan Dia dari tebing.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
Ketika Yesus berbicara di sinagoga, semua orang heran akan kata-kata-Nya yang indah, penuh hikmat, dan kuasa. Namun, kekaguman itu dengan cepat berubah menjadi keraguan.
Mereka bertanya, “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Seolah-olah identitas keluarga-Nya, latar belakang-Nya yang sederhana, menjadi alasan untuk meremehkan-Nya.
Kita pun punya kecenderungan untuk menilai seseorang berdasarkan penampilan luar, asal-usul, atau latar belakang mereka. Kita lupa bahwa hikmat dan kuasa yang datang dari Tuhan tidak dibatasi oleh status sosial, pendidikan, atau keluarga seseorang.
Demikianlah proses beriman itu. Untuk menerima dan percaya penuh kepada Tuhan, tidak selalu sekali jadi. Kadang diawali dengan keraguan, bahkan penolakan.
Mungkin keraguan itu tidak muncul di awal kehidupan beriman kita tetapi di tengah. Baiklah, hal itu kita terima dan kita alami sebagai dinamika hidup beriman.
Namun yang jelas, jangan sampai kita menolak-Nya secara definitif, apalagi sampai mengusir Tuhan dari kehidupan kita seperti yang dilakukan orang-orang Nazaret.
Dalam dinamika iman kita tersebut, Tuhan selalu setia mendampingi. Setiap saat, Ia selalu datang dan kembali kepada kita, menunggu sampai kita benar-benar mantap dan tidak pernah ragu lagi untuk percaya dan menerima-Nya secara penuh, serta untuk mencintai-Nya dengan sepenuh hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mengubah keraguan menjadi kekaguman?