Renungan Harian
Rabu, 11 Mei 2022
Bacaan I: Kis. 12: 24-13: 5a
Injil: Yoh. 12: 44-50
SORE itu, saya menerimakan Sakramen Orang Sakit kepada seorang bapak yang dirawat di sebuah rumah sakit.
Bapak itu sudah sakit yang cukup parah, meski usianya masih terbilang muda. Saat ibadat penerimaan Sakramen Orang Sakit, saya hanya ditemani suster perawat. Todak ada satu orangpun anggota keluarga yang menemani.
Suster perawat itu mengatakan bahwa keluarganya sudah diberi tahu akan adanya ibadat ini, tetapi semua sibuk sehingga tidak ada yang bisa datang
Setelah ibadat pengurapan orang sakit, saya ngobrol dengan bapak yang sedang sakit itu.
“Romo, inilah keadaan saya sehari-hari yang sesungguhnya. Saya selalu sendiri dan kesepian. Mereka semua sudah tidak peduli lagi dengan saya.
Saya rasa kalau saya meninggal lebih baik dan membahagiakan mereka semua. Sesungguhnya saya heran dengan mereka. Untuk apa saya diobati, kalau kematian saya membuat mereka bahagia.
Sering saya berpikir bahwa mereka mempertahankan hidup saya agar saya menderita lebih lama,” bapak itu bercerita.
Cerita bapak itu terputus karena kedatangan anak perempuannya yang membawa makanan untuk bapaknya.
Saya terkejut, saat anak perempuannya menyiapkan makanan yang dibawanya bapak itu marah dan membuang makanan itu di lantai sembari ngomel bahwa makan itu tidak layak untuk dirinya.
Anak perempuan itu nampak tenang, diam tidak menjawab semua omelan bapaknya. Ia menghubungi suster agar membantu membersihkan lantai. Melihat situasi yang tidak menyenangkan itu, saya mohon pamit.
Anak perempuan itu mengantar saya keluar.
“Maaf, Romo dengan sikap bapak saya. Bapak itu sejak sebelum sakit memang mudah marah. Kami, ibu dan adik-adik sudah kenyang dengan caci maki bapak yang tidak jarang disertai dengan sifat ringan tangannya.
Sesungguhnya kami sudah tidak tahan dengan sikap bapak, tetapi ibu selalu mengatakan apa pun itu beliau adalah bapak kami.
Ibu selalu berharap bapak suatu saat berubah.
Saya heran dan kagum dengan ibu yang tetap mau bertahan dan melayani bapak, meski diperlakukan amat tidak pantas. Bapak tidak bekerja setiap hari hanya berurusan dengan kesenangannya sendiri, sedang ibu yang membanting tulang untuk menopang kehidupan keluarga.
Ibu yang sudah kerja keras luar biasa, tetapi selalu mendapatkan luka batin dan fisik bila keinginan bapak tidak dipenuhi. Bahkan di saat bapak sakit, beliau tetap saja bertindak yang menyakitkan bagi kami seperti yang Romo lihat.
Tapi yang membuat kami sering menjadi lebih sakit, bapak selalu bercerita ke setiap orang bahwa kami tidak memberi perhatian kepada beliau.
Beliau selalu bercerita bahwa dirinya seperti habis manis sepah dibuang seolah semua hal yang kami dapatkan adalah hasil kerja keras bapak.
Jadi sering kami menjadi malu, kalau teman-teman bapak menasihati kami agar memberi perhatian ke bapak agar tidak menjadi anak-anak yang durhaka.
Untunglah semua keluarga bapak sudah tahu dengan “kelakuan” bapak,” anak perempuan itu bercerita.
Kesepian yang dialami bapak karena perbuatannya sendiri. Ia memilih cara hidupnya yang demikian.
Ia selalu merasa bahwa dirinya orang paling baik dan benar akibatnya dia tidak mampu melihat dan mendengar hal yang lebih baik dan lebih benar.
Dalam rasa sebagai orang paling baik dan benar, ia hidup di dalam kegelapan rasanya sendiri.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes:
“Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepadaKu, jangan tinggal di dalam kegelapan.”